Bab 8: Rahasia (1)

20 2 0
                                    

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Matahari pagi perlahan membagi sinarnya, menghangatkan tanah lapang. Burung-burung lincah terbang kesana kemari dengan kicau yang terdengar bersahutan. Angin bertiup pelan di seputaran tanah lapang, menggoyang dedaunan, mencipta tarian alam.
Mangga Golek menatap sekeliling tanah lapang. Setelah berhari-hari dihabiskan untuk mencari pengganti tetua, ia akhirnya bisa tenang sekarang.

Tanah lapang tidak akan berjalan tanpa ada sesepuh yang mendampinginya. Pohon yang bisa memutuskan solusi terbaik bagi permasalahan yang ada.
Mangga Golek masih melayangkan pandang ke tanah lapang tempat ia lahir, tumbuh besar, tua dan akan mati nanti.

Semua penghuni terlihat menikmati mandi sinar mentari pagi. Beberapa anak sudah datang dan bermain sepakbola.
Kutilang dan Prenjak kembali hinggap di dahan Sengon Muda. Awalnya, pohon kayu itu sudah bersiap mengusir mereka. Mangga Golek mencegahnya.

"Aku yang meminta mereka datang, Sengon. Ada satu hal penting yang butuh kusampaikan padamu. Biar mereka menjadi saksi." Tetua tanah lapang itu berkata lembut namun tegas. Sukun memandang tajam sengon.

"Hei, kau harus berjanji untuk tidak jadi tukang omel lagi setelah kematianku, Sengon. Kalau tidak, aku akan menghantuimu sehingga hidupmu tidak tenang."

Sengon Muda menatap Sukun tidak percaya. Apa maksudnya itu? Tidak cukupkah kemungkinan ada jin atau kerajaan jin di tubuhnya? Mangga Golek melerai.

"Itu kita bahas nanti, Sukun, jangan membuatnya tegang. Dan kau Sengon, tenanglah, dia hanya bercanda. Sekarang dengarkan aku baik-baik." Semua perhatian tertuju ke Mangga Golek.

"Sengon, kau pernah dengar tentang sang penjaga, sahabat tanah lapang ini kan?" Tetua tanah lapang itu menatap si pohon kayu lekat. Sengon Muda mengangguk.

"Tapi aku belum tahu siapa dia. Hujan harus segera pergi ketika aku tanya." Mangga Golek kembali mengarahkan pandang ke tanah lapang.

"Apa yang dilakukannya, lebih penting dari siapa dia. Dia adalah sesepuh, tetua pertama di tanah lapang ini." Pandangan Mangga Golek berubah seperti melamun.

"Awalnya, ia pohon kayu biasa sepertimu. Bertahun berlalu menjadikannya tumbuh besar, kuat dan berdaun rimbun. Ia penjaga, sahabat tanah lapang ini. Tempat semut bersarang, burung berteduh atau membangun rumah, anak-anak bermain di bawah rimbun daunnya, penghasil oksigen terbanyak, tetua bagi penghuni tanah lapang."

Angin yang bertiup di sekitar sengon menambahi. "Penghasil kayu terbaik. Karena itu mereka menebangnya."

"Dan ia rela dengan itu semua. Ia sepertimu sekarang, Mangga Golek, berkata sudah hidup cukup lama dan tidak lagi muda. Kalau bukan karena petir yang menyambar batangnya, ia tidak akan ditebang." Matahari mengenang kembali sahabat lamanya. "Ia melindungi anak-anak yang bermain saat itu, sehingga petir menghantam batangnya."

Mangga Golek mendengarkan Matahari sembari melihat anak-anak yang bermain sepakbola. Sesepuh tanah lapang itu kembali menatap Sengon Muda.

"Lima tahun sudah ia pergi tapi kenangannya masih tersimpan dalam ingatan kami. Kisahnya menjaga damai tanah lapang ini akan abadi. Kami berjanji membagi cerita sang penjaga dari generasi ke generasi agar semakin banyak yang bisa meniru perbuatan baiknya." Mangga Golek menghela napas dalam. Mencoba mengusir bayangan yang melintas, si Sengon Muda yang suka mengeluh dan menggerutu.

"Ia tumbuh tinggi besar, kuat dan berdaun rimbun. Ia sahabat bagi penghuni tanah lapang. Kau tidak ingin menjadi sepertinya, Sengon? Besar, kuat dan rimbun? Sahabat bagi banyak orang dan makhluk Tuhan lainnya?" Mangga Golek kembali menatap sengon lekat.

"Aku eh, ehm, aku eh aku ingin, Mangga Golek." Akhirnya pengakuan jujur itu pun terlontar. Sengon Muda rindu berteman dan bersahabat dengan penghuni tanah lapang yang lain. Ia lelah merasa sepi dan sendiri di tengah tanah lapang yang selalu ramai.

"Apakah kamu benar-benar ingin, menginginkannya?" Kali ini Mangga Golek meminta kepastian. Sengon Muda sedikit tersinggung. Apa-apaan ini? Mangga Golek tidak percaya dan menganggapnya berbohong?!

"Tentu saja aku ingin seperti dia! Punya banyak teman dan jadi andalan tanah lapang. Kau pikir aku bahagia selama ini? Tidak ada yang mau berteman denganku. Bahkan kalau bisa mereka tidak mau berurusan denganku, tukang omel nomor satu!" Pohon kayu itu menjawab sedikit emosi.

"Bagus kalau kau punya keinginan itu, Sengon. Karena itu jugalah harapan kami padamu." Mangga Golek masih menatap sengon lekat. Pohon kayu itu tidak mengerti apa maksud sang sesepuh.

"Kami ingin kau tumbuh besar, kuat dan rimbun seperti dia, Sengon. Kami berharap, kelak kau akan menjadi seperti dia. Tapi ... jalan ke sana tidak mudah." Sesepuh tanah lapang itu berujar.

"Kau harus selalu siap ketika Angin meniupmu kuat, menggoncang tubuhmu. Kau juga harus rela ketika Matahari membuatmu seolah terbakar karena teriknya. Begitu juga, kau harus mau terguyur Hujan yang membuatmu kedinginan, basah kuyup dan kotor." Mangga Golek berhenti sejenak.

"Itu semualah yang menjadikanmu kuat, Sengon Muda. Semua hal yang tidak kau suka, tidak menyenangkanmu selama ini, semua itulah yang akan membentukmu menjadi pohon terkuat dan terhebat di tanah lapang ini."
Hening seketika tercipta. Tidak ada yang berbicara. Semua pandangan tertuju pada Sengon Muda.

TQS Al Baqarah [2]: 216


Kisah Pohon Kayu (KPK)Where stories live. Discover now