Bab 3: Hujan

21 4 4
                                    

"Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya."

Guruh dan halilintar menggelegar. Suaranya seakan membelah angkasa. Suara takbir kembali terdengar di seputaran tanah lapang.

Sengon Muda memandang ke langit mendung yang sekarang diterangi oleh kilat disusul guruh yang mengguntur. Pohon kayu muda itu tersadar, burung-burung telah agak lama menghentikan kicauannya.

"Duh Gusti, paringana sabar, beri kesabaran. Aku pasti akan kedinginan dan basah kuyup lagi kali ini." Sengon Muda lekat menatap langit yang tertutup awan mendung. Dengan melihat jenis awan yang menutupi tanah lapang, Sengon Muda tahu bahwa hujan akan turun dengan lebat.

Benar saja. Tetes-tetes air hujan mulai jatuh. Awalnya gerimis namun seketika berubah menjadi deras seperti air terjun yang jatuh dari langit.

"Aduh, kenapa aku tumbuh di tengah tanah lapang ini? Hujan lebat akan membuatku kedinginan dan mengotori batangku dengan cipratan airnya yang bercampur tanah." Sengon Muda memandang tepian tanah lapang. Di sana berdiri beberapa pohon buah yang tumbuh berdekatan.

"Meski mereka dingin dan basah, setidaknya ada teman di dekat mereka." Si pohon kayu berkata pelan. Ada sedih melintas di hati. Ia kemudian melihat Sukun, pohon yang paling dekat dengannya.

"Sukun selalu menentangku. Ia seperti musuh, paling membenciku." Sengon Muda menghela napas dalam-dalam. Terlihat olehnya Mangga Golek, pohon yang dituakan dan paling dihormati di tanah lapang.

"Kenapa ia tidak lagi menegurku akhir-akhir ini? Biasanya Mangga Golek tidak bosan menasehatiku." Sengon Muda semakin sedih. Ia merasa sendiri.

"Hai, hai, halo Sengon Muda yang gagah. Tumben kali ini kamu diam saja. Kamu baik-baik saja kan meski aku mengguyurmu begitu deras?" Hujan menyapa si pohon kayu. Ia sedikit heran. Biasanya tidak satu kali pun ia datang tanpa terdengar omelan Sengon Muda.

"Aku mau mengomel seribu kali pun, percuma kan Hujan? Kamu pasti akan bilang, tenang saja Sengon Muda, setelah ini, kamu akan punya simpanan air yang berlimpah. Bukan begitu?" Sang sengon menanggapi hujan dengan malas dan tidak ramah.

"Wah, tidak sia-sia aku bersabar menanggapi omelanmu selama ini Sengon yang gagah. Mangga Golek benar, kau mengingat sesuatu!" Hujan bahagia dan semakin membuat Sengon Muda basah kuyup dengan curahan air yang ditumpahkannya.

"Berapa banyak lagi air akan kau siramkan kepadaku, Hujan?! Lihat, sudah hampir semua tubuhku terkena lumpur!" Sengon Muda tersulut amarahnya.

Sang hujan tidak mengurangi guyuran airnya malah semakin memperbanyak curahan air yang menimpa batang Sengon Muda dan sekelilingnya.

"Hai, hai, kusiram kau sebanyak-banyak yang aku bisa dan diijinkan-Nya, Sengon Gagah. Itulah yang dulu selalu aku lakukan untuk sahabat tanah lapang ini, Sang Penjaga. Dan ... aku akan melakukan hal yang sama untukmu, khusus untukmu." Hujan membalas gerutu sengon dengan senyum manisnya.

"Berhenti menyebutku Sengon Gagah. Kau mengejekku! Aku tidak gagah sama sekali, kau tahu itu!" Pohon kayu itu kembali marah dan merasa tidak berdaya. Sama seperti ketika dia berhadapan dengan angin yang membuatnya meliuk ke sana kemari, menjadikannya pegal di seluruh badan.

"Hai, hai, kau akan gagah satu saat nanti, Sengon Muda. Ingat itu. Karenanyalah, aku akan selalu memanggilmu Sengon Gagah." Hujan menjawab dan mulai mengurangi deras air yang menyiram pohon kayu itu.

"Eh, kau hampir berhenti. Kau sudah akan pergi? Kau tidak akan bercerita padaku siapa sahabat tanah lapang ini?" Sengon Muda tersentak kaget.

Ia tidak menyangka Hujan akan cepat pergi, tidak seperti biasanya. Sayangnya, Sengon Muda mendadak teringat satu hal itu, keingintahuannya tentang siapa sebenarnya sang penjaga, ia yang disebut sahabat tanah lapang.

"Oh, maafkan aku Sengon yang gagah. Hujan kali ini adalah agar kalian semua bisa bersimpati atas apa yang terjadi dengan wilayah Gunung Merapi. Kami sekarang harus bergegas ke puncaknya, mendinginkan lahar. Itu tugas utama kami." Hujan bersiap pergi.

"Tunggu, aku ingin tahu siapa sahabat tanah lapang ini!" Sengon Muda kembali berteriak meski hujan sudah reda dan gemuruh suara jatuhnya yang begitu deras tidak lagi terdengar mengetarkan hati serta gendang telinga.

Hujan tersenyum manis sekali. "Selamat tinggal Sengon Gagah, maafkan aku." Hujan pergi, secepat kedatangannya.

* TQS An Nur [24]: 43

Selamat week end semua, KPK siap menemani malam minggu kalian, A God blesses all of you, terima kasih sudah berkenan baca lho, ya 🤗🙏🏼💪🏼😇💖💖

Kisah Pohon Kayu (KPK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang