Bab 7: Tumbuhan

12 2 0
                                    

"Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu."

"Aku tidak apa-apa, Prenjak. Tidak usah khawatir. Kamu sendiri bagaimana? Sudah mendapat tempat baru sebagai sarang?" Mangga Golek lembut berkata, seolah tidak akan terjadi apa-apa.

"Hm, alhamdulillah, pohon nangka bersedia menjadi sarang baru untukku, Mangga Golek. Tapi ... benarkah kau tidak apa-apa? Akhir-akhir ini sepertinya ada yang berbeda." Prenjak masih menatap cemas.

"Tidak apa-apa bagaimana?! Jelas kami merasa sedih, Prenjak. Kami akan mati! Kau dengar itu, mati! Itu berarti, kami akan berpisah dengan kalian semua. Kami tiada dari ada." Sukun meluapkan emosi. Ia baru saja mendengar tentang penebangan itu dari Mangga Golek.

"Sepertinya, hanya Bulik Welas dan keluarganya yang menginginkanku tetap ada. Sementara yang lain, tidak peduli aku ada atau tidak." Sukun berkata sedih.

"Itu tidak benar, Sukun. Kami juga tidak ingin melihatmu ditebang! Tapi bapak-bapak itu, mereka bilang buahmu berbahaya jika jatuh dan terkena anak-anak atau orang yang sedang lewat di bawahmu. Juga ... " Prenjak tidak melanjutkan bicara.

"Mereka ingin membangun jalan, tempat parkir bagi mobil mereka di tempat kamu berdiri sekarang, Sukun." Mangga Golek menggenapi komentar Prenjak. Sukun menghela napas.

"Selalu begitu, kan? Kita selalu kalah oleh kebutuhan manusia." Pohon itu menatap sedih buah-buahnya. "Tidak lagi berguna buah yang kuhasilkan. Hanya Bulik Welas yang antusias mengambilnya untuk digoreng atau direbus sebagai camilan."

"Jangan berkata seperti itu, Sukun." Prenjak terbang dan hinggap di dahan Sukun. Ia merangkulkan sayapnya ke batang pohon berdaun lebar itu.

"Aku akan selalu mengingatmu, menceritakan ke anak cucuku nanti betapa baiknya dirimu. Selalu senang ketika aku datang berteduh atau bermain di dahanmu." Burung berkicau itu masih memeluk Sukun.

"Aku juga akan mengenangmu, Sukun. A a aku ... aku akan kehilanganmu." Sengon Muda kaget dengan dirinya sendiri. Tapi benar, ia pasti merasa kehilangan si bawel itu nanti.

Mangga Golek tidak memperhatikannya beberapa hari saja ia merasa sendiri. Sekarang, si bawel itu akan pergi? Siapa lagi yang akan berani mengomelinya, si tukang gerutu nomor satu?

"Apa-apaan ini? Kau akan kehilangan aku, Sengon?! Yang benar saja! Bukankah selama ini kau membenciku, terganggu kalau aku mengusilimu?" Sukun memandang tak percaya.

Prenjak dan Mangga Golek tersenyum. Begitu juga Kutilang yang masih bertengger di dahan sengon.

"Ia telah sadar kalau sebenarnya kau telah memperhatikannya, Sukun. Meski caramu aneh dan terasa menyebalkan." Mangga Golek memandang sukun sayang.

"Ahai, kalau begitu aku akan bisa pergi dengan tenang. Setidaknya salah satu tugasku telah berhasil dengan baik. Bukan begitu, Mangga Golek?" Sukun melirik sang sesepuh.

Ya, telah beberapa lama Mangga Golek, Sukun dan penghuni tanah lapang mencari cara agar Sengon Muda mengurangi atau bahkan menghilangkan kebiasaan buruknya mengeluh, mengomel dan menggerutu.

"Selalu ada manis di balik sesuatu yang pahit, ketika kita mau bersabar. Semoga setelah ini, kita tidak akan mendengar lagi Sengon Muda mengomel sendiri, menggerutu tak henti." Mangga Golek memandang penuh harap ke sengon.

"Eh, ehm ... ehm, itu ... itu." Sengon Muda tidak bisa menjawab. Ia ragu dirinya bisa berhenti mengomel atau mengeluh dalam waktu yang singkat.

"Apa itu eh ehm, eh ehm tidak jelas, Sengon?! Kamu harus berjanji sebelum aku mati. Kamu, Sengon Muda, tidak akan gampang mengeluh, mengomel dan menggerutu lagi. Bikin suasana buruk saja tahu!" Sukun sekarang berkata tegas.

Sengon Muda hanya bisa diam, tak mengeluarkan sepatah kata. Prenjak dan Kutilang memandang iba.

"Jangan khawatir, Sukun. Kami akan memastikan itu terjadi. Bukankah kau juga akan mati sepuluh atau 20 tahun lagi, Sengon?" Kali ini Kutilang mengingatkan pohon kayu itu.

"Ya, kau tidak ingin mati dengan kenangan buruk kan?" Prenjak menambahi. Sengon Muda hanya menunduk.

Angin berkesiur datang. Matahari ikut bergabung.

"Kami mendengar kabar itu, Mangga Golek juga Sukun. Kami ikut prihatin dan berduka." Angin pelan berkata.

"Ya, kami akan kehilangan dua orang teman baik kami, pencipta damai di tanah lapang ini." Matahari ikut bersuara. Sinarnya sudah tidak lagi terik karena senja.

"Terima kasih Angin, Matahari. Aku sudah rela. Toh, usiaku sudah tidak lagi muda. Aku berharap Beringin akan bisa menggantikan tugasku di tanah lapang ini." Mangga Golek berkata.

"Ia akhirnya mau, Mangga Golek. Setelah ia memastikan sebagian besar penghuni tanah lapang ini memang memilihnya. Dia menitip pesan kepadaku tadi," ucap Kutilang sang pengumpul informasi

"Akhirnya aku bisa lega ketika nanti saatnya tiba, meninggalkan tanah lapang ini." Mangga Golek tersenyum.

TQS Abasa [80]: 25-32

Kisah Pohon Kayu (KPK)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu