Bab 2: Angin

15 5 0
                                    

"Dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan."

Beberapa hari setelah itu, selepas Subuh langit seketika diliputi awan. Mendung, berawan, suasana remang-remang.

Sengon Muda gelisah. Ia mulai merasakan dingin sementara sebelumnya ia sudah membayangkan betapa hangatnya pagi hari. Meski tidak suka dengan teriknya sang mentari, tetapi Sengon Muda hobi berjemur.

Tetapi pagi ini, desau angin terdengar. Embusan angin mulai terasa. Semakin lama semakin kencang. Angin mulai meniup pohon, tanaman dan apa saja yang ada di tanah lapang.

Ia berputar-putar di tengah tanah lapang membentuk beliung kecil. Embusan berikutnya menerjang deretan mobil yang terparkir di tepian tanah lapang, mengangkat selubung hujan yang melindungi mobil-mobil itu.

Pepohonan yang berada di tepi tanah lapang bertahan untuk tidak meliuk terlalu keras atau kehilangan cabangnya, patah. Angin meniup pohon-pohon sehingga desirannya terdengar, dahan-dahan pohon bergerak tertiup ke sana kemari.

Angin seakan menari, menggoyangkan apa yang dilewati. Meski ada yang ngeri mendengar suara tiupan angin dan hembusannya yang kencang. Mereka memikirkan akibat yang akan terjadi. Termasuk Sengon Muda yang berada di tengah tanah lapang.

Ia susah payah menahan diri agar tetap berdiri tegak. Angin berhasil menggerakkan daun, ranting, cabang dan bahkan batangnya!

Pohon kayu muda itu meliuk ke sana kemari tidak berdaya mempertahankan diri tetap tegak berdiri.

"Angin! Hentikan tiupanmu ini! Stop! Stop!" Sengon Muda berteriak di tengah embusan angin yang kencang, menggoncangkan.

Angin melirik Sengon Muda namun tidak menghentikan gerakannya yang seolah menari. Tarian yang membuat takut beberapa penghuni tanah lapang.

"Siapa kamu berani menyuruhku berhenti, Sengon Muda?" Sang Angin tetap bertiup kencang ke sana kemari.

Sekarang jendela di rumah-rumah yang mengelilingi tanah lapang mulai bergetar karena ulah angin. Atap-atap rumah berderak seakan hendak terbang. Suara menyebut asma Alloh mulai terdengar di sana sini. Listrik padam seketika.

"Aku bertiup bukan karena kehendakku sendiri Anak Muda, kau tahu itu." Angin mulai berputar-putar di seputar Sengon Muda. Ia membuat si pohon kayu merasa begitu dingin, ketakutan dengan dahan yang meliuk cepat dan kencang tak beraturan ke sana kemari.

"Hentikan! Tolong, berhenti!" Sengon Muda kembali berteriak. Kali ini dengan suara bergetar, tidak selantang sebelumnya.

"Nah, kau mengucapkan kata ajaib itu, baiklah, atas nama-Nya kau berhasil menyelamatkan diri kali ini." Angin menghentikan tiupan kencangnya ke Sengon Muda.

Angin sudah lama mengenal dan tahu kebiasaan mengomel sang pohon kayu. Itulah yang membuatnya sering menggoda si sengon. Membuat pohon itu meliuk-liuk, merasakan tidak berdaya karena tiupannya.

Sudah banyak berita yang sampai kepada angin betapa menyebalkannya Sengon Muda. Tindakannya meniup kencang sang sengon dianggapnya salah satu pelajaran agar pohon kayu itu jera mengomel dan menggerutu seenaknya sendiri.

Tetapi sepertinya pelajaran dari angin tidak mempan. Sengon Muda masih suka mengomel dan mengeluh.

Sekarang, pohon kayu muda itu terdiam karena takut dan marah. Ia takut akan tumbang tertiup angin. Sudah sering ia protes, mengeluh karena tiupan angin yang tidak tahu diri, lebih kuat dan kencang menerpanya daripada pohon-pohon lain di tepi tanah lapang.

Tetapi protesnya tidak pernah ditanggapi. Angin malah semakin sering dan kencang meniupnya, mengguncang seluruh badan Sengon Muda.

"Dasar Angin, selalu membuatku kesal. Tidak kemarin, hari ini juga. Membawa-bawa nama Tuhan untuk perilaku buruknya. Huh." Sang sengon menggerutu. Seluruh badannya terasa dingin dan pegal karena tertiup ke sana kemari.

Sengon Muda melihat ke sekitar tanah lapang. Sepertinya tidak ada yang lebih parah tertiup angin selain dirinya. Sang sengon menyesal kenapa lahir dan tumbuh di tengah tanah lapang. Tiupan angin yang terkuat sering menimpa karena letaknya di tengah-tengah tanah lapang.

"Tuhan, kenapa aku harus tumbuh di sini? Aku ingin berada di tepi tanah lapang sana." Mendung yang menutupi daerah sekitar tanah lapang membuat Sengon Muda semakin sedih.

"Hei, siapa yang ingin tumbuh di tepi tanah lapang dan menyesal terlahir di tengah tanah lapang ini? Kaukah itu Sengon Muda?" Angin yang sedang berembus lembut di antara deretan rumah para pensiunan itu berbalik arah.

"Bukan urusanmu, Angin. Kenapa kau masih ada di sini?" Sengon Muda ketus menanggapi.

"Kamu benar-benar menyebalkan, Anak Muda. Kalau tidak melihat dan mendengar sendiri, aku masih tidak percaya. Kau sama sekali berbeda dengan dia, sahabat penghuni tanah lapang ini." Angin menatap tajam Sengon Muda kemudian berembus cepat ke arah lain.

"Dasar pengacau." Pohon kayu itu berkata sembari mendongak. Awan mendung masih setia menutupi matahari.

TQS Al Baqarah [2]: 164

Kisah Pohon Kayu (KPK)Where stories live. Discover now