Ruang

45 8 4
                                    

Berselang beberapa tahun setelah hujan Mei mengguyur rumah Ibu Pertiwi kita, semua orang yang mengenal Baskara tak pernah melihat lagi tangisannya, entah karena terlalu kuat atau telah mati rasa. Mungkin sang sutradara kini sudah menjadi orang tua, dia lupa lakonnya 10 tahun lalu.

Di sudut ruangan cafe terukir banyak kenangan, walau sang pemilik tak lagi mendatanginya. Di Samping kanan kursi paling belakang, pemuda dengan keahlian melukisnya kembali menghidupkan kenangan itu, meski di luaran sana banyak sekali ribuan manusia yang menghilang demi menghapus kenangan itu sendiri.

"Tuk, tuk, tuk", suara high heels wanita menghampiri pemuda itu.
"Sudah lama menunggu disini?", tepukan tangan teman karibnya menepuk pundak Baskara.
"Tidak, tidak terlalu lama", tepisan senyum tipis Baskara kearah Christi.
"Maaf terlambat", kata Christi memohon.

Dia adalah Christi, mahasiswa angkatan 1995 teman karib Baskara dari masa lalu.

"Tidak apa-apa, silahkan duduk", dentuman suara lirih Baskara menimpali ucapan Christi kembali.

Ia lantas duduk disebelah kursi Baskara sambil berpura-pura mengeluarkan suara batuk untuk menghentikan rasa canggung diantara dirinya dan pemuda itu. Pandangan Christi kembali berdebar bertemu dengan seseorang yang selama ini ia tunggu kehadirannya.
Dalam benak Christi terbayang kembali masa itu, ia dihadapkan kembali dengan secangkir kopi kesukaan teman karibnya walaupun ia tahu Christi tak sesuka itu pada kopi. Pikirannya kembali menyulap dihadapkan selembar lukisan yang setengah lukisan itu tertutupi selembar surat.

Tak ragu, ia lantas menanyakan sambil mengerutkan dahinya,
"Kau bahkan belum melupakannya?",
Baskara tak menyahut pertanyaan Christi, lantas Christi mengulang kembali pertanyaannya,
"Kau bahkan belum melupakannya?",
Baskara tetap diam dan hanya menundukkan kepala nya ke arah lukisan yang tersimpan di meja itu.
Christi hanya bisa termangu dengan sesekali melirik kembali ke lukisan itu.
Ia bergumam dalam hatinya,
"ini sudah 10 tahun tapi ia tetap sama".

Tangan Baskara mengambil secangkir kopi itu dan meneguknya, ia berucap dengan mata yang tetap mengarah pada lukisan itu,
"Seharusnya pertemuan kita diawali dengan ucapan bertukar kabar bukan? ", lagi-lagi Baskara menepis ucapan Christi dengan senyum tipisnya.

"Hukk (suara batuk), bagaimana cara aku melupakannya?, aku mencoba melupakannya namun dia tetap tak bisa hilang", lontaran perkataan Baskara membuat Christi kembali bertanya.

"Bukankah kau bilang kau hidup untuk ibumu, bukan untuk dia?, dan saat kuulang kembali pertanyaan ini jawabanmu tetap sama, ini berarti selama ini kau tak bisa melupakannya kau belum bisa melupakan peristiwa itu bukan?", tak bimbang ia berucap dengan mata berkaca-kaca.

"Aku hanya bisa melupakan kejadian kecil itu..", ucap Baskara yang dihentikan Christi.

"Kejadian kecil?", Christi membungkukkan badannya menatap mata Baskara sambil menggelengkan kepalanya.
"Orang-orang itu juga tak bisa melupakannya, namun mereka tetap melanjutkan hidupnya hanya untuk menepati janji pada mereka yang berkorban!", Ujar Christi dengan nada nyaringnya.

"Kau tak usah bertanya kembali mengenai hal ini karena jawabanku akan tetap sama!", tegas Baskara.

Kini, jawaban Baskara hanya membuat Christi terdiam sembari mengibaskan rambutnya.
Tangan Christi mengepal, raut wajahnya merah padam. Ternyata, Christi berharap jika ia menanyakan cerita di masa lalu jawaban yang diberikan Baskara tak akan berulang kali sama. Namun, lagi-lagi ia salah Baskara tetap seperti dulu dan akan seperti itu.

Pembicaraan keduanya terhenti sebentar, Baskara hanya duduk diam sambil sesekali meneguk kopi.

"Sang legenda" akan tetap sama, meski usia merenggut masa mudanya.

Marah Christi mulai reda, ia kembali bertanya,
"Baskara", Christi kembali berbicara dan sesekali menerka-nerka air matanya yang hampir menetes.

"Aku tak menemui mu selama 2 tahun saja serasa sangat lama, bagaimana kau menahannya selama 10 tahun?", ucap Christi.

Baskara menatap Christi sebentar , lalu menjawabnya,
"Dia berjanji akan menungguku di suatu tempat, katanya aku harus menunggu sampai hujan reda... (Ucapannya seolah-olah terjeda, ia seperti masuk kembali ke dunia paralel itu dan kejadian bersama wanita itu terbayang kembali).

"Untuk apa menangis? bahkan air matamu sendiri dikalahkan guyuran hujan, aku akan menunggumu untuk melihat tangisan itu benar-benar berhenti...".

Baskara menyalin kembali ucapan wanita itu disertai senyum kecilnya.
"Untuk apa menangis? bahkan air matamu dikalahkan guyuran hujan, aku akan menunggumu untuk melihat tangisan itu benar-benar berhenti", senyum pemuda itu terbuka kembali mengingat ucapan itu.
Bagaimana tidak, ungkapan yang diucapkan wanita itu tak lain adalah Amita. Orang yang selalu Baskara tunggu sampai 10 tahun, tak ayal orang-orang heran melihat perjuangan Baskara yang tak meninggalkan Amita meski ia sendiri tahu, kekasih yang ia kasihi takkan kembali lagi.

Setelah pertikaian terjadi, Christi hanya bisa menghela nafas sambil menutup matanya. Sementara Baskara hanya terdiam.

Christi kembali melebarkan matanya kemudian berbicara kembali,
"Ada seorang wartawan wanita yang ingin mencari tahu cerita pada malam itu", ungkap Christi memalingkan percakapan awal.

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkannya kembali,
"Aku bertemu dengannya dua hari yang lalu, ia menyampaikan permintaan untuk bertemu denganku agar aku menceritakan peristiwa itu. Namun, aku menolaknya karena aku belum sanggup untuk bisa menceritakannya kembali, jadi.." Christi diam sesaat.

"Jadi?apa?", jawab Baskara mengerutkan keningnya.

"Aku ingin biar kau saja yang menceritakannya padanya, cerita Amita, ibu, dan mereka semua..", Christi lagi-lagi terhenti bicaranya karena ia ragu apakah Baskara setuju dengan permintaannya.

"Aku tahu ini juga pasti sulit untuk kau melakukannya, tapi orang-orang itu butuh keadilan. A-aku mohon (Christi melipat kepalan tangannya di dadanya).

Lagi-lagi jawaban Baskara hanya diam. Wajah Baskara memerah menahan amarahnya atas permohonan Christi. Lantas, ia menghentakkan kakinya begitu keras dan segera pergi keluar dan tak memperdulikan Christi.

"Baskara!", (teriak Christi yang sama sekali tak dapat jawaban dari Baskara),
"Baskara, Baskara!, Baskara!..".

Suara Christi nyaris tak terdengar lagi. Begitupun sebaliknya, Christi tak melihat lagi tubuh serta bayang-bayang tubuh Baskara, dan ia meninggalkan Christi.
Air mata Christi berderai, ia jatuh tersungkur dan mengingat kejadian penzarahan itu kembali.


Next chapter Minggu depan yaa, see u🌻
*Halo semuanya, mohon maaf untuk bab selanjutnya dan seterusnya bakalan dipublish dihari Minggu yaa, stay tune semua

Jendela 1998Место, где живут истории. Откройте их для себя