FWB : 13

6.7K 168 2
                                    

Friends with Benefits °•° Part 13 by girlRin



Beberapa menit setelahnya, Jefian kembali dan melihat kalau Azura dan Cakra sudah mulai makan terlebih dahulu. Segera saja pemuda itu duduk dan mulai memakan makanannya, mengabaikan pandangan penuh tanya dari Cakra.

“Lama banget lo. Ngapain aja di sana?” tanya Cakra.

Jefian menoleh sekilas dan melirik Azura yang terlihat acuh tak peduli. “Berak,” balasnya. Akibat ucapannya, Cakra dan Azura langsung menatapnya kesal.

“Jangan ngomongin tai depan makanan,” tegur Cakra. “Bahasa gue masih bagus, ya. Lo malah ngucapin kata kuncinya lho, Bang!” Jefian membela diri.

“Lha, iya juga ya?” gumam Cakra baru menyadari. Azura menarik napas panjang dan menatap kedua laki-laki di depannya dengan tatapan serius, “ini restoran. Jangan bikin malu. Jangan kayak orang kampung yang semuanya kudu dibicarain di depan makanan. Gue yakin, kalian pasti udah pernah diajarin tata krama dan table manner, jadi jangan kayak orang miskin.” Gadis itu memberikan teguran.

Jefian menyipitkan matanya jengah, “iya deh si paling kaya raya,” balasnya. Mendengar itu, Azura menatapnya sinis, “bagus deh kalo si paling iseng nyadar,” ucap gadis itu.

“Udah, jangan dilanjutin. Kalo kalian masih ribut, gue kawinin kalian!” lerai Cakra.

“Abis itu langsung gue talak dia,” sahut Jefian. Cakra mendelik kesal, “heh! Mulut! Enteng banget ngomong talak! Hati-hati lho,” tegurnya.

“Trus mulut lo enteng banget lho, Kak. Ngomong kawin, nikah dulu baru kawin. Lo kira binatang, apa-apa langsung kawin.” Azura menyahuti ucapan Cakra.

“Nah, tuh! Dengerin!” ucap Jefian.

“Agak ngeri sih sebenernya denger lo setuju sama gue, tapi gapapa. Kali ini aja.” Azura membalas.

“Gue juga males setuju sama lo, tapi bener. Cuma kali ini aja.” Jefian menyetujui.

“Lihat, 'kan? Kalian kalo nikah tuh beneran bakal cocok. Gue enggak bisa bayangin gimana julidnya ntar anak lo berdua.” Cakra bergidik ngeri.

“Yang pasti, bikin dulu baru punya anak.” Jefian menyahut.

“Makan aja deh. Gosah banyak cincong!” tegur Azura.

“Iya, iya. Galak amat!” Jefian bergumam kecil.

.
.
.

Setelah makan siang bersama, Cakra tiba-tiba saja pergi karena katanya harus bertemu teman lama. Jefian yang malas pulang pun mengatakan akan pergi bermain ke rumah teman-temannya, meninggalkan Azura yang memilih pulang, katanya mau tidur siang.

Azura benar-benar tidur setelah sampai di kamarnya siang itu. Ia merasa begitu mengantuk setelah makan dan bahkan tanpa berganti pakaian, ia langsung merebahkan diri di atas kasur nan empuk tersebut. Mengabaikan ponselnya yang berdering menampilkan panggilan masuk dari Ibunya.

Sekitar jam empat sore, Azura terbangun karena ingin buang air kecil. Setelah selesai dengan panggilan alamnya, ia memilih membasuh wajahnya dengan air dingin. Mencoba tersadar dan menyadari kalau matanya masih memerah mungkin karena tidur terlalu lama. Begitu ia keluar kamar, ia menyadari ada pesan masuk dari Ibunya yang mengatakan kalau Azalea mengadu kepadanya dan Panji kalau tadi Azura membuat adiknya malu di restoran. Tentu saja Azura membalas pesan tersebut dengan menjelaskan apa yang terjadi kepada Ibunya dan bersyukurlah, Nadine selaku Ibunya pun paham dan mengatakan akan menjelaskannya kepada Panji nanti.

Azura berjalan keluar kamar, niat awalnya ia ingin turun ke dapur untuk memasak makanan. Tiba-tiba saja ia merasa lapar. Namun, begitu keluar ia malah mendapati pintu kamar Jefian terbuka. Iseng, gadis itu mencoba mengintip. Kamar pemuda itu masih bersih sepertinya pemuda itu belum pulang.

“Ngapain lo ngintip kamar gue?” Suara nan berat tersebut mengalun indah di telinga Azura hingga ia hampir saja tersungkur ke depan jika saja ia tak lekas berpegangan pada kenop pintu kamar Jefian. Ia menoleh dan mendapati Jefian berdiri tepat di belakangnya tanpa jarak yang cukup. Bahkan Azura bisa merasakan deru napas pemuda itu di belakang lehernya.

“Jadi, babuku sayang. Ngapain ngintip ke kamar majikan?” Lagi, Jefian bertanya kali ini dengan seringai di bibirnya.

“Ma–mau ngecek aja. Siapa tau berantakan, biar gu–gue beresin. Iya, gue beresin tadinya gitu tapi masih bersih.” Azura menjawab dengan perasaan gugup. Entah kenapa kalau berada di dekat Jefian dalam jarak sedekat ini, rasanya Azura tuh lemas seperti jeli.

“Oh, mau ngeberesin rupanya. Duh, pinter banget babu gue. Karena lo pinter, gue kasih hadiah.” Azura merinding begitu melihat seringai di wajah Jefian. Ia baru akan berancang-ancang kabur jika saja Jefian tak mendorongnya masuk ke dalam kamarnya dan langsung menutup pintu. Azura hampir berteriak ketika Jefian langsung mengukungnya di antara pintu dan langsung membekap mulut gadis itu dengan tangan kirinya sementara tangannya yang lain mencengkram bahu gadis itu.

“Kira-kira hadiah apa yang cocok buat lo?” ucap Jefian.

Azura menggeleng pelan. Ia tidak butuh hadiah, yang ia butuhkan hanyalah kabur dari kamar pemuda ini. Ia benar-benar merasa harus kabur segera.

Menyadari kalau gadis di depannya ini gugup, Jefian mendekatkan wajahnya dan berbisik tepat di telinga gadis itu dengan suara berat. “Lo inget tingkah lo tadi di koridor toilet restoran? Lancang banget lo nyium gue dan jadiin gue alat buat lo ngadepin mantan lo.”

Azura merinding dan mencoba melepaskan tangan Jefian dari mulutnya. “Gue enggak sengaja. Sumpah! Gue cuma enggak kepikiran rencana apapun, trus lo tiba-tiba aja dateng. Jadinya gue enggak bisa mikir apa-apa saat itu.” Gadis itu membela diri.

“Jef, please. Gu—eughh!”

Azura membungkam mulutnya begitu Jefian menggigit daun telinganya. Menahan desahan yang hampir keluar dari bibirnya. Ia benar-benar merasa kelakuan Jefian benar-benar seperti orang kelebihan hormon. Namun, sialnya ia justru menyukai apapun yang Jefian lakukan padanya. Ia berusaha mempertahankan kewarasannya dengan mencoba mendorong dada Jefian agar pemuda itu menjauh tapi rasanya tenaganya benar-benar seperti jeli yang bahkan untuk mempertahankan posisinya berdiri pun hampir susah. Azura menggeliat kecil saat Jefian melepaskan gigitannya dari telinganya dan malah beralih mencumbu lehernya.

Astaga! Jefian ngapain?! Batin Azura panik.

“Je–Jef! Nanti Kak Cak—eumm!” Sialan, gue bahkan enggak bisa nyelesain omongan gue. Umpatnya dalam hati.

Jefian menghentikan cumbuannya dan menyeringai menatap wajah memerah Azura, “semua kamar kedap suara kalo pintunya di tutup. Kamar dia juga jauh dari sini. Santai aja dan nikmati hukuman—oh, hadiah lo.”

Saat Jefian kembali mencumbu lehernya hingga ke tulang selangka gadis itu, Azura langsung menahan pundak pemuda itu. Terengah-engah, Azura menatap Jefian dengan mata berkabut, “gu–sialan! Pindah ke kasur! Gue enggak kuat lama-lama berdiri!” ucapnya terdengar tak sabaran.

Jefian di sisi lain, justru menyeringai dan langsung membopong gadis itu menuju kasurnya dan langsung menindihnya. “Shall we?” bisik pemuda itu dengan nada menggoda.

Azura mengalungkan kedua tangannya ke leher Jefian dan langsung mendekatkan wajah mereka, “shut up and fuck me already!”

Jefian menyeringai dan langsung mencumbu bibir merah menggoda milik Azura.



°•° To be Continued °•°



Next part mau ngapain? ಠಿ⁠_⁠ಠ

FRIENDS WITH BENEFITS ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora