6. Istimewa

12 2 0
                                    


.
.
.

💙💙💙

Assalamu'alaikum....

Tetep semangat karena lebaran semakin dekat!!

Uwuuu.... 🤍

Jangan lupa istiqomah ngaji dan baca buku Qyn, hehehehe... :)

Jaga kesehatan yah readers!

💙💙💙

Selamat Membaca!!!

"Hanya ada dua alasan untuk bersikap baik yang berlebihan, antara ketulusan atau ada suatu kecurangan."


     Menjalani kehidupan bersama banyak orang bukanlah hal buruk bagi Anin, dari masa sebelas tahun silam sampai sekarang. Bahkan, mungkin ia benar-benar telah lupa bagaimana rasanya berkumpul bersama keluarga.

     Ah, sial! Ia melupakan wajah kakaknya. Tidak! Ia masih ingat di waktu kecilnya, tapi bukankah pertumbuhan seseorang selalu menunjukkan perubahan? Apalagi dengan jarak yang begitu jauh, rasanya ia tak mungkin mengenal kakaknya lagi.

     Dan satu lagi yang membuatnya gelisah, bagaimana caranya ia bertemu sang kakak? Kalau keduanya saja tidak saling berkomunikasi, tidak berkabar, dan tidak tahu di mana bertempat tinggal.

     Jadi, kala dirinya tiada, kakaknya juga tidak akan tahu yah? Eh, tapi sang kakak tidak meninggal, ‘kan?

     “Hey! Ngelamun aja, dari tadi aku panggil kamu malah diem. Ada masalah? Mau makan di ndalem aja?” tawar Aisy disertai tawa geli, melihat Anin melototkan kedua matanya.

    “Mau ngulang hukuman perdananya?”

     “Aih! Padahal aku mau cetak rekor sebagai santri teladan, gara-gara kamu nih!” kesalnya main-main.

     “Eh, gara-gara kamu juga kita malah berakhir dalam antrean panjang gini,” sebal Anin serius, melihat barisan di dapur makan yang sangat penuh dengan orang.

     “Maafin lah, kan aku juga nggak tahu kapan perutku sakit.”

     Anin mengembuskan napasnya kasar, ia tentu saja tidak bisa menyalahkan Aisy sepenuhnya, mengingat Aisy yang bergegas keluar setelah salat subuh selesai. Tapi, melihat antrean panjang ini membuatnya butuh pelampiasan.
“Aku maafin, tapi ada syarat?”

     “Astaghfirullah! Nyesel aku temenan sama kamu,” ucapnya main-main.

     “Yaudah, aku pergi!” Anin sudah bersiap melangkahkan kaki sebelum suara mikrofon terdengar di seluruh penjuru.

     ‘Dimohon kepada santri baru yang bernama Anin, ditunggu di ndalem. Sekian, terima kasih.’

     “Aisy ….”

     “Apa? Katanya mau pergi?” Aisy bersikap jutek, membuat Anin merengek di depannya.

     “Aku takut, Aisy! Temenin yuk, kan kita teman,” bujuknya dengan menarik-narik pinggiran baju Aisy.

Senja KelamWhere stories live. Discover now