2. Kehilangan

17 3 0
                                    

.
.
.

♡´・ᴗ・'♡

💙💙💙

Gimana kabar kalian? Semoga sehat-sehat terus yah... :)

Alhamdulillah... Akhirnya bisa update setelah melalui banyak kendala.

Mohon dukungannya temen-temen, Qyn serius pengen bareng cerita ini sampai tamat 🤍

Selamat Membaca!!!

💙💙💙


"Saat kematian menjadi garis akhir pertemuan, maka seberat dan selama apapun tidak akan ada yang bisa mengobati kerinduannya."


     Deruan mobil bergerak lambat sampai akhirnya berhenti di depan gerbang tinggi, bertuliskan huruf arab atas nama pesantren. Sosok pasangan paruh baya tampak berdiri di halaman depan, seolah memang menantikan kedatangan seseorang.

     Zahra bergegas keluar dari mobil, diikuti Anin yang berjalan di belakangnya. Setelah sepuluh hari tidak sadarkan diri di rumah sakit, Zahra sudah memutuskan untuk memasukkan Anin ke dalam pesantren.

     Secara mendadak dan tanpa persetujuan siapapun, tapi tentu saja tidak akan ada yang menolak keputusannya. Ia memutuskan begitu saja, setelah menerima kedatangan tamu yang tak pernah disangka kedatangannya.

     “Assalamu’alaikum, akhirnya kita bisa ketemu lagi,” sapa Zahra seraya berpelukan singkat sebagai awalan salam.

     Wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu nampak tersenyum senang, “Wa’alaikumussalam, perjalanannya lancar, kan?”

     “Iya, nggak ada kendala. Oh iya Anin, ini Ning Kamilah, pengasuh pesantren sekaligus penanggung jawab kamu sekarang di sini, dia pernah jenguk saat kamu masih belum sadar di rumah sakit,” jelas Zahra mengenalkannya.

     Anindya Salsa, gadis cantik yang dipanggil Anin itu hanya tersenyum singkat, lalu berdiam tanpa ekspresi. Kerudung biru yang dikenakannya sedikit berkibar akibat terpaan angin, tapi tak bisa mengalihkan pandangannya yang menelisik lingkungan pesantren.

     Ketiganya akhirnya masuk ke dalam rumah sembari terus berbincang, kecuali Anin yang akhirnya memilih duduk terpisah. Tempat baru ini terlihat nyaman, tapi entah kenapa dirinya tak bisa merasakannya.

     Sebenarnya, bangunan pesantren tak beda jauh dengan tempat panti ia tinggal sebelumnya. Memiliki gedung tinggi tiga lantai yang sama, satu aula besar, dan halamannya yang rindang.
Bedanya, di sini tidak akan ada tangisan bayi atau keluhan lansia yang menyerupai rengekan anak kecil. Seharusnya itu lebih bagus untuk ketenangannya, tapi justru ada yang lebih mengusik hatinya.

    Ia akan bertemu dengan banyak teman sebaya yang mungkin atau paling tidak, sangat beruntung dari dirinya! Memiliki orang tua!

     Memikirkannya saja sudah membuat Anin kehilangan harapan, tidak ada lagi kepercayaan dalam benaknya tentang suatu kebahagiaan. Seolah ia sudah mati di waktu kejadian. Di masa silam!

     Sebelas tahun silam, saat ia masih berusia tujuh tahun, masa yang penuh keingintahuan. Berkat ayahnya yang selalu mengajari seni keterampilan, Anin berhasil memenangkan lomba menghias gambar antar Sekolah Dasar.

     Pertama kalinya, ia mengenal apa arti piala bagi sebuah lomba. Kedua orang tuanya terlihat sangat senang dan bangga, bahkan memberi tawaran hadiah yang sangat diinginkannya.

     “Karena anak Ayah yang hebat ini juara, kita akan pergi ke tempat yang indah, kamu mau?” tawar Raffa, sang ayah yang sangat tidak mungkin untuk ditolak.

     “MAU!”

     “Gimana kalau ke pantai, Anin suka?” tanya Aurel, bunda Anin.

     “Pantai? Yang banyak airnya?”

     “Iya.”

     “Suka! Yeay, kita liburan!” girang Anin berteriak senang dalam gendongan sang ayah seraya mengacungkan piala yang dipegangnya.

     “Bunda, Kakak nggak ikut?” tanya Anin pelan dengan menarik-narik ujung pakaian bundanya.

     Sang bunda tersenyum, lalu berbisik lirih setelah mensejajarkan tubuhnya, “Coba bujuk ayah buat nelfon kakak.”

     Anin tersenyum senang ikut memainkan perannya, ia menjawab tak kalah lirihnya seraya memberi kedua jempol tangannya, “Siap, Bunda!”

     “Apa nih, bisik-bisik tanpa Ayah?” tanya ayah main-main, berlagak tersakiti sembari mengusap dadanya dramatis, membuat Anin tertawa lalu kembali masuk dalam gendongan sang ayah, “hm … cepet banget ganti bajunya kalau mau liburan.”

     “Hahaha … geli Ayah, jangan digelitik perut Anin,” ucap Anin dengan tertawa tanpa henti seraya memegangi perutnya.

     “Yah, Kakak nggak ikut?”

     “Ikutlah! Katanya dia ingin bertemu dengan adik kesayangannya ini yang dapat juara! Nanti, kita ketemuan langsung di pantai.”

     “Yeaayy! Ketemu Kakak!”

     Ekspresi senang Anin menular pada kedua orang tuanya, apalagi Anin adalah anak yang selalu menunjukkan semua ekspresi perasaannya tanpa disembunyikan.

     “Sayang sama Ayah Bunda!” Anin mencium pipi orang tuanya bergantian.

     Perjalanan yang cukup lama, membuat Anin tertidur di dalam mobil, hingga samar-samar ia mendengar kedua orang tuanya berteriak bersamaan, lalu ia merasa tubuhnya terpental dan berguling-guling tanpa henti.

     Kejadianya berlalu dengan cepat, kesadarannya yang begitu tipis tak mampu melihat kedua orang tuanya dengan jelas. Tubuhnya terasa berat ia gerakkan, kedua matanya juga tak bisa ia buka, hanya telinganya saja yang masih menangkup suara di sekitarnya.

     “Ini adalah kecelakaan paling tragis yang disebabkan anak muda dan gadis kecil ini harus kehilangan kedua orang tuanya.”

     Ucapan kalimat yang tidak ingin didengar oleh siapapun. Pernyataan kehilangan yang tidak pernah dibayangkannya dengan waktu yang amat singkat membuat Anin terpukul berat hingga ia mati rasa, seolah ikut meninggal bersama kedua orang tuanya.

     “Silakan diminum, Anin!”

     Ucapan Ning Kamilah menyadarkan Anin dari lamunan panjangnya. Nyatanya, ia tidak benar-benar meninggal waktu itu, hanya saja trauma kecelakannya sangat membekas dan memberikan pengaruh besar dalam kehidupannya.

     Kepribadiannya yang paling jelas berubah, bukan lagi Anin yang mengekspresikan semua perasaannya, melainkan sosok yang berbeda!

Senja KelamWhere stories live. Discover now