3. Anak Baru

11 2 0
                                    

.
.
.

💙💙💙

Assalamu'alaikum....

Gimana kabarnya? Semoga sehat selalu :)

Masih semangat puasa, kan?? Istiqomah juga ngajinya, kan?

Eh...

Jangan lupa juga! Istiqomah baca ceritanya Qyn 🤩

Salam kenal semua!!!

Wassalamu'alaikum....

💙💙💙


"Merasa sepi di tengah keramaian, layaknya sendirian di saat ada banyak orang! Lantas kepada siapa ia bersandar jika kepercayaannya saja sudah hilang?"



     “Hey, antre dulu sini! Main masuk aja!”

     “Duh! Lagian kan tadi udah dibilangin, angkat jemuran dulu, keburu hujan nanti!”

     “Makan aja yuk, daripada capek berdiri nungguin di sini!”

     Gema suara yang saling bersautan tertangkup dalam telinga Anin, ia menyelusuri pesantren ini sendirian, berjalan tanpa arah hingga berakhir di bagian belakang, antara tempat makanan, jemuran, dan kamar mandi yang saling berhubungan, lebih tepatnya satu arah jalan.

     Zahra, sang pemilik panti sudah menitipkannya di pesantren dan langsung pulang setelah memberinya beberapa nasihat, satu jam yang lalu.

     “Mulai sekarang, pengasuh pesantren ini yang akan membimbing kamu dan bertanggung jawab di sini. Jaga diri baik-baik dan sering-sering tersenyum yah.”

     Kalimat terakhir yang mungkin sudah sakral dalam pikiran Anin, nasihat yang sering kali diucapkan setiap ia berada di tempat lain. Tidak heran, mengingat dirinya yang tak mudah bersosialisasi.

     Lebih tepatnya tak mau membuka diri! Karena semakin banyak mengenal orang, Anin semakin takut mengalami rasa trauma yang sama. Tentang kehilangan!

     Beberapa menit berlalu, Anin masih berdiri terpaku. Ia memandang beberapa gerombolan yang saling bercanda tawa, mendorong sesamanya, lalu berlarian di sekelilingnya, dengan wajah datar.

     Ternyata ia sedikit salah menilai, mereka sama dengan penghuni panti asuhan yang suka usil dan banyak tertawa, seolah dunia adalah tempat yang indah.

     Namun, perhatiannya mendadak teralihkan. Satu perempuan berjalan dengan cepat, terlihat buru-buru, menenteng setumpuk pakaian di atas ranjang. Sesekali dia mendorong orang lain untuk menyingkir tanpa peduli jika ada yang terjatuh.

     Anin merasa tertarik, penasaran dengan alasan perempuan itu tergesa-gesa hingga berjalan dan menerobos yang lain tanpa pandang. Bahkan, tidak ada yang menegurnya, mereka yang terjatuh saja lebih memilih menggerutu lirih daripada memarahinya.

     Perempuan itu jelas-jelas salah, tapi tidak ada yang menegurnya. Sungguh. Ia memang tidak tahu banyak tentang pesantren, ia juga bukan orang yang pantas untuk membicarakan kesopanan, tapi bukankah pesantren sangat menjunjungnya?

     Sebelas tahun bertempat tinggal di panti, tentu saja membuat Anin terbiasa hidup bersama, meski tidak ikut menggabungkan diri dengan penghuni lainnya. Bunda Zahra yang termasuk lulusan pesantren selalu menekankan kesopanan, bahkan kepada anak kecil sekalipun.

     “Ish! Kenapa dirinya jadi peduli?” batinnya mengabaikan. Ia kembali terus berjalan dan memilih duduk di joglo yang paling ujung sembari memperhatikan orang-orang sekitarnya.

     “Al-Marwah”, termasuk salah satu pesantren terbesar di Indonesia, berpusat di Jakarta dan memiliki belasan cabang yang sudah menyebar di beberapa kota lainnya.

     Anin menempati satu-satunya pesantren cabang yang dekat dengan pusatnya di Jakarta, sama-sama berfasilitas lengkap dan mewah, hanya saja lebih terbatas jumlah santrinya.

     Fasilitas yang dimiliki pesantren Al-Marwah sangat memadai, terdapat satu aula besar dan tiga gedung utama, terdiri dari asrama, sekolah, dan olahraga. Setiap gedung memiliki tiga lantai, yang setiap lantainya berisi sepuluh ruang.

     Gedung sekolah dan olahraga menempati halaman depan pesantren, dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang lainnya, seperti perpustakaan, laboratorium, ruang audio visual, hingga restoran ala pesantren.

     Berbeda dengan gedung asrama yang ada di belakang, lebih ditekankan sebagai tempat istirahat yang nyaman. Memakai corak nuansa alami, pohon-pohon yang rindang, serta taman yang memiliki kolam ikan.

     Anin paling menyukai joglo, tempat ia duduk sekarang. Menikmati waktu ditengah keramaian adalah kesukaannya, seolah … ia tidak hidup di dunia dengan sendirian.

     Perlahan ia menutup kedua matanya, menenangkan jiwanya yang kini dilanda kerinduan dalam setiap detik hembusan napasnya. Sejujurnya, ia tidak mampu melihat orang lain tertawa bersama. Tidak! Bukan benci, hanya saja ia akan semakin merindukan orang tuanya yang sudah tiada.

     “Hhh … astaghfirullah! Nih anak ke mana coba? Bukan orang Jakarta juga! Dia nggak mungkin kabur, ‘kan?”

     Deruan napas yang tak beraturan, dengan gerutuan tak jelas mulai terdengar di telinganya. Iyah! Anin tertidur di saat memejamkan kedua matanya, tertelungkup dalam kedua tangan yang berada di atas lututnya, mungkin fisiknya benar-benar lelah setelah melakukan perjalanan panjang.

     Suara seseorang di samping, tanpa sadar telah membangunkannya. Ternyata, matahari sudah mulai condong ke barat, tidak ada anak-anak yang bergerombolan, keramaian tadi sudah berganti menjadi kesunyian.

     Ia melihat perempuan yang berjalan terburu-buru tadi, mengusap wajahnya kasar, seperti sedang frustasi dengan masalahnya.

     “Ekhem!” Anin berdeham, karena ia bingung mau mengucapkan kalimat apa? Kenal saja, tidak! Dan mengajaknya kenalan itu lebih jelas lagi kalau tidak mungkin!

     “Astaghfirullah! Sampai nggak sadar kalau ada orang,” tukasnya sembari mengelus dada.

     “Eh, sebentar! Wajahnya kok asing, kamu … anak baru?”

     Anin hanya mengangguk saja. Tanpa bertanya pun seharusnya dia sudah tahu.

     “Akhirnya!” Dia berteriak keras kegirangan, seolah menemukan harta yang paling berharga. Sedangkan Anin, jangan ditanya lagi, raut wajahnya masih datar walau sedikit penasaran.

     “Kamu dicariin sama Ning!” ucapnya merasa lega, ia menutup mata seraya menghembuskan napas untuk melanjutkan ceritanya, “dari tadi, aku cariin kamu ke seluruh pondok, ternyata malah tidur di sini! Loh, loh ….”

     Tanpa sadar kalau Anin sudah pergi terlebih dahulu sejak kalimat pertama diucapkan, apalagi dia sudah bisa menebak tujuan sang pengasuh mencarinya.

     “Astagfirullah! Jangan kabur dulu, anak baru!”

Senja KelamWhere stories live. Discover now