Part 1 : The Box

69 12 4
                                    

Pay Me High

×××××

"Kudengar kau memiliki kehidupan sempurna. Sesuatu yang tidak adil bagi segelintir orang. Menurutmu dia senang melihatmu bahagia?"

×××××

Gemerlap malam kota Seoul masih menjaga kesadaran ratusan insan pemburu kebahagiaan. Peraturan tak tertulis perusahaan memaksa para pegawai duduk lebih lama menyelesaikan tumpukan tugas sebelum tenggat waktu mencekik nafas. Mereka yang putus asa terhadap keadaan finansial harus mencari cara lain mendapatkan pundi-pundi uang, sementara Lee Gahyeon berdiri diam membiarkan es krim coklatnya meleleh mengalir melewati sela-sela jari. Penampilan band bernama Orion di seberang jalan terlalu menarik untuk diabaikan. Perpaduan antara petikan gitar serta suara indah tiga orang vokalis menjebak Lee Gahyeon dalam lamunan bagaikan sihir.

Mereka tidak datang dari agensi hiburan ternama penghasil idola papan atas. Tidak juga hadir sebagai penyanyi pemilik album kurang laris. Hanya kelompok kecil yang memanfaatkan kemampuan bermusiknya untuk mendapatkan lebih banyak lembaran uang melalui usaha mereka mengunggah penampilan di situs berbagi video. Siapa sangka ada begitu banyak pasang telinga sudi berdiri berkerumun mendengarkan melodi yang mampu mengukir senyum, mengundang air mata serta menenangkan jiwa.

Embusan angin malam musim semi datang menerpa helai rambut panjang Lee Gahyeon bersama untaian terakhir sepenggal lirik sendu vokalis perempuan band di seberang jalan. Es krim coklat telah sepenuhnya meleleh menetes sampai ke aspal. Lee Gahyeon mendapatkan kembali kesadaran ketika seseorang di sebelahnya berseru keras sambil bertepuk tangan memberikan apresiasi terhadap permainan musik band Orion.

"Jika kau ingin ikut bertepuk tangan, lupakan saja. Tanganmu penuh dengan es krim. Memalukan." Pemuda berkulit tan yang mengenakan jaket hitam berucap pelan tanpa mengalihkan pandangnya dari Orion. Namanya Lee Haechan, seorang kenalan sejak usia balita yang tumbuh tidak hanya sebagai sahabat, tapi keluarga.

Mulai terasa lengket di antara jemari. Seharusnya es krim mampu mendinginkan rongga mulut serta setidaknya satu sel dalam otak setelah semua pikiran kalut yang berlalu-lalang. Lee Gahyeon hanya menghela berat nafas melihat kondisi menjijikan telapak tangannya sendiri. Beruntung karena ketanggapan Haechan masih tersisa hari ini, membentuk pergerakannya membuka salah satu botol air mineral dari kantong belanjaan dan menggunakannya untuk membersihkan tangan sang sahabat.

"Umurmu bahkan sudah dua puluh tahun, Gahyeon-ah," sindir Haechan.

"Waktu yang tepat untuk berkencan?" Gahyeon membalas acuh.

"Waktu yang tepat untuk dianggap gila karena berantakan saat makan es krim." Haechan menjawab ketus.

"Lalu kapan waktu yang tepat untuk berkencan?"

Ada banyak waktu menyebalkan menanggapi segala tindak-tanduk termasuk rentetan kalimat seorang Lee Gahyeon, sama halnya seperti bagaimana Haechan hampir memukul keras lengan gadis itu jika tidak lupa posisinya di tengah keramaian. Botol air mineral kini telah memasuki tempat sampah terdekat. Gahyeon sedang sibuk menyeka tangan basahnya menggunakan lembaran tisu ketika Haechan mulai bercicit mengenai kisah lampau pembentuk luka di mana gadis bermata besar itu menangis semalaman karena ulah sang mantan kekasih.

"Apa tidak ada waktu lain untuk mengungkitnya?" Gahyeon terusik. Dia berusaha menghentikan ocehan sang sahabat.

"Kau selalu mendapatkan pasangan yang tidak cocok, Lee Gahyeon. Bosan mendengarmu mengeluh. Jadi apa kau membiarkan es krim itu meleleh hanya karena memikirkan laki-laki?"

Pay Me HighWhere stories live. Discover now