08. Wahai bintang jatuh

170 25 10
                                    

Wahai bintang jatuh
Kemana perginya cahaya disekelingmu
Dari mana datangnya redup pada wajahmu

Wahai bintang jatuh
Bagaimana rasanya jatuh terhempas
Bagaimana cara agar sakitnya hilang

Wahai bintang jatuh
Aku tau kau lelah

Wahai bintang jatuh
Beristirahatlah.

Saat matanya terbuka, ia harap semuanya akan menjadi sedikit lebih baik. Hatinya tengah lebam. Lalu ada rumpang yang tak bisa dijelaskan bagaimana bisa hadir, ada timpang yang tak bisa dijabarkan dan bagaimana keras kepalanya tidak mau pergi, pula ada pincang yang tak bisa diiringi dengan validasi beserta putih dan abu-abunya.

Ia layaknya rusa tertatih mencari putih, setiap hari menangisi letihnya yang tiada ujung pun berakhir. Memejam guna mencari hitam yang mengantarkannya pada istirahat sejenak.
bukan malam yang ia takuti, bukan pula pagi yang ia nanti-nanti. Ia hanya butuh lapang untuk hatinya yang sempit, sesak, tak bercelah.

Helaan nafas keluar dari bibir kering itu, meratapi tiga huruf C yang terpampang pada layar ponsel yang menampilkan portal akademik. Semester genap ini nilainya turun drastis, banyak hal yang ia korbankan hanya untuk menafkahi Ibu dan adik perempuannya.

Tenaga, waktu tidur, perkuliahan, masa muda, impian dan mungkin masih ada hal lain yang telah ia korbankan. Sebab kehidupannya bukan lagi tentang masa lalu dan masa nanti melainkan diseret untuk terus bertahan di masa kini, dimana ia harus terus berpikir dan melakukan banyak hal agar mereka tidak hidup dipinggir jalan.

Tiga hari setelah cerita pulang dari Bandung yang membawa perkara itu, Hazel jatuh sakit sebab selama tiga hari itu pula ia membantai tubuhnya dengan bekerja terlalu keras, maka tepat pukul satu malam sang adik yang saat itu terbangun sebab ingin buang air kecil mendengar suara erangan sakit dari arah kamar mandi dan benar saja, ia menemukan sang kakak yang sudah bersandar di dinding kamar mandi sembari meringis menahan sakit.

Hazel tidak terlalu mengingat apa dan bagaimana bisa ia sudah terbaring diatas ranjang rumah sakit sesaat setelah matanya terbuka kala itu. Yang ia ingat hanyalah raut datar sang Ibu yang terduduk di sofa sembari memandang ke arah luar jendela.

Raut sang Ibu sangat kacau, pekat warna kantung mata cukup kontras dengan warna kulit Ibunya yang putih. Meski sempat terkejut, diam-diam Hazel tersenyum tipis dan merasa senang saat Ibunya ternyata peduli dan ada disini untuknya. Maka ia tidak merasakan sakit apapun lagi, sebab kehadiran Ibunya disini sedikit banyak membuatnya merasa dipedulikan lagi setelah sekian lama.

Rasa-rasanya ia belum mau tertidur, inginnya menatap lama wajah Ibunya yang tenang, tetapi matanya menolak untuk tetap terjaga hingga ia jatuh kedalam gelap yang mengantarkannya pada alam bawah sadar.

Tatkala angin masuk melalui jendela yang terbuka lebar, matanya yang berat terbuka dengan celah yang tak banyak, menatap langit luar yang menampilkan jingga bercampur biru. Sejenak ia termenung dengan tubuh yang terbaring menyamping, ah sudah berapa lama ia tertidur, setaunya tadi langit masih menjadi pagi.

Sayup-sayup rungu menangkap suara tangisan lemah dari arah belakang tubuhnya, tangis yang ingin membuatnya segera berbalik untuk sekedar merengkuh. Belum lagi tubuh bergerak, sebuah kalimat mengalun diiringi isakan lemah.

"Kalau kamu sakit begini, kita semua kesusahan." Ia kenal suara itu. Suara yang biasanya selalu meninggi saat berbicara dengannya, suara yang biasanya selalu merendahkan bahkan membentaknya dengan tega.

Itu suara Ibunya. Suara Mama yang sedang menangis lemah.

"Kenapa kamu harus sakit? kenapa tega menyusahkan Mama seperti ini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bintang Di langit PetangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang