07. Memilihnya

158 26 18
                                    


Pagi itu Hazel terbangun sebab dingin yang mencekal setiap inci kulitnya. Tetapi bukan hanya kaca jendela yang berembun, kedua netra bersihnya pun turut berembun, saat ia tangkap sosok perempuan yang tengah tertidur di kasur single yang berseberangan dengannya. Dan entah bagaimana bisa, selimut merah jambu kesayangannya malah tersampir menutupi tubuh perempuan itu. Itu milik Hazel! selimut yang tidak boleh disentuh siapapun selain Hazel, kalau pun ada yang boleh menyentuhnya ya itu cuma Aran, karena Aran yang selalu menyimpan benda itu didalam mobil milik lelaki itu. Sedari dulu sekali, Aran pernah bilang selimut itu hanya boleh digunakan oleh Hazel.

Ini Bandung, Hazel tau itu, ia ingat ketika semalam Aran bersikeras membawanya ke Bandung saat situasi diantara mereka sedang canggung dan cukup tak baik. Tapi kenapa? kenapa ada perempuan itu? perempuan yang sama sekali tak ingin Hazel temui apalagi terjebak bersamanya.

Dengan langkah tegas dan terburu, Hazel berjalan keluar kamar tanpa peduli bantingan pada daun pintu kamar yang ia ciptakan dapat membangunkan perempuan cantik yang tengah bermimpi indah di dalam sana. Ia tak lagi memperdulikan penampilan rambutnya yang sedikit acak sebab bangun tidur, satu hal yang menjadi tujuannya adalah seorang pria yang kini tengah asik berbincang dengan satu pria lainnya di meja makan.

Kedua pria itu tentu sadar dan menoleh setelah mendengar suara pintu yang dibanting kuat dari arah salah satu kamar. Berbeda dengan Dean yang tertegun dan mendadak gugup dengan raut wajah Hazel, di sisi lain Aran masih menatap dengan wajah tenang pun seperti siap menyambut kemarahan dari gadis itu.

Sesampainya Hazel di meja makan, ia menatap tajam seolah ingin menguliti wajah Aran yang turut menatapnya tanpa celah. Seolah tau dan sudah mempersiapkan momen ini.

"Maksud lo apa, Aranzha?" Hazel menatap nyalang ketika yang didapati hanya keterdiaman dari sang lawan bicara.

"Pulangin gue."

Aran hanya menggeleng ketika kalimat dingin itu keluar dari belah bibir sahabatnya itu. Melihat reaksi itu, tentu saja Hazel semakin murka. Ia merampas roti panggang dari tangan Aran dan melemparnya ke tempat semula ketika lelaki itu baru hendak menyantap sarapannya.

"Maksud lo apa, hm?" Hazel masih bertanya dengan nada yang tidak meninggi. "Bisa lo jelasin, Aranzha?"

Aran berusaha meraih tangan Hazel untuk diajak duduk, namun gadis itu lebih dulu menepis dengan mantap.

"Nggak ada maksud apa-apa kok, bukannya bagus kita bisa kumpul kayak gini—"

"Kita siapa maksud lo?" Gadis itu lebih dulu menyela dengan emosi. "Kalau yang lo maksud kita itu termasuk cewek yang lagi tidur di kamar dengan selimut jelek murahan itu—"

"Apa-apaan sih, Zel."

Aran bangkit, sekali lagi berusaha meraih lengan Hazel namun tetap tidak diizinkan oleh sang empu. "Kenapa harus semarah ini sih? gak seharusnya kamu bersikap sampai segininya. Rara aja gak keberatan sama sekali waktu semalam aku bawa kamu kesini bareng sama Dean juga."

"Ya gue yang keberatan lo bawa kesini. Lo anggap gue segampang itu ya, Ar? sampe lo bisa seenaknya sama gue. Lo gak nanya pendapat gue lebih dulu!" Gadis itu marah, hingga kedua matanya berkaca-kaca serta hidungnya yang memerah menarah murka.

Dean yang sedari tadi menyaksikan hanya bisa bungkam, ini bukan pertama kalinya ia menjadi saksi perdebatan antara dua sejoli itu, namun tidak disangka kali ini cukup membuat keributan yang berarti.

"Lo jahat banget, Ar..." Jemari Hazel menyugar rambutnya sendiri, mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik pergi meninggalkan Aran juga Dean yang masih ditempat.

Sedangkan Aranzha, tidak tau mengapa kali ini ia tidak berusaha mencegah kepergian gadis itu. Padahal Hazel pergi dengan perasaan yang kacau, harusnya ia punya kekuatan untuk menahan sahabatnya itu dan berucap kata maaf. Memang benar ia akui bahwa keputusannya untuk membawa dua gadis tersebut secara bersamaan adalah tindakan yang sebetulnya egois.


Bintang Di langit PetangWhere stories live. Discover now