00. Prolog

302 40 6
                                    


Deru ombak rendah mengisi heningnya suasana malam, pantai Ancol menjadi tempat persinggahan terakhir dua sejoli itu dari panjangnya perjalanan cerita hari ini. Ditemani dengan senandung dari Banda Neira, dengan judul sekaligus doa bagi dua sejoli yang tengah berbagi headset di satu telinga masing-masing. Sampai jadi debu.

Mungkin sudah kehabisan topik sebab sedari tadi sibuk berbincang tentang kepolosan serta kebodohan di masa lalu. Sibuk tertawa dan bertingkah konyol bersama. Hingga saat ini yang tersisa hanya sunyi dengan isi kepala masing-masing. Sahabat sejati? atau sahabat sehidup semati? Entahlah, salah satu diantara mereka bahkan sudah mulai merasa ragu.

"Jadi gimana, Tuan putri? masih belum mau ngeluarin semua unek-uneknya?"

Gadis itu menoleh dengan netra teduh, ia kemudian tersenyum dan menggeleng. Pertanda bahwa tidak ada hal yang perlu disampaikan, meyakinkan pada lelaki itu bahwa semua yang ada pada dirinya saat ini baik-baik saja.

Namun sayangnya yang sedang coba dilobi adalah seorang Aranzha Malik Admajati, orang yang mungkin paling mengenal seluk beluk gadis itu. Sehingga mudah saja bagi Aran untuk menembus setebal apapun topeng yang sedang gadis itu kenakan.

"Nggak baik dipendam terus-terusan. Kamu punya orang ganteng yang bersedia dengerin keluhanmu, masa dianggurin gini?"

Hazel tersenyum simpul, tangannya mengusap lengannya sediri, kedinginan. "Nggak ada masalah yang serius kok Ar. Jangan lebay gitu menanggapinya, aku ini udah dewasa."

Justru kali ini Aran yang malah terkekeh. "Bukan soal seserius apa masalahnya Zel, yang namanya problem itu pasti punya kesan tersendiri, ya minimal bikin migrain sedikit lah."

"Kayanya nggak penting buat di ceritain deh Ar, masalahku nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan—"

"Buat apa juga ngebandingin masalah kamu sama masalah orang lain. Zel, semua problem itu nggak ada yang bisa dijadiin tolak ukur siapa yang paling menderita, aku cuma pengen nyadarin kalau kamu itu nggak pernah sendirian."

Gadis itu termenung, lelaki disampingnya ini sangat mengenal kekhawatirannya. Kalau sudah begini Hazel bisa apa selain jujur?

"Masih ada aku disini."

"Ar, jangan ngomong gitu ah, aku jadi mellow nih.." Ucap Hazel seraya terkekeh garing.

"So, how are you going to live your life over the next ten years?"

Gadis dengan rambut disanggul acak itu menoleh sebelum akhirnya menghela nafas berat. "The next ten years? am i still alive?" Lalu tersenyum hangat mengalahkan sepoi angin dari pantai.

"Pada akhirnya semua yang aku anggap kebahagiaan tuh cuma sementara. Apa kamu juga bakalan jadi sementara buat aku?"

"Nafas dulu atuh Zel." Aran mengubah posisi duduknya. "Bukan berarti karena sekarang semua masalah kamu datang secara bersamaan, itu tandanya nggak akan ada kebahagiaan buat kamu."

"Kamu salah Zel kalo mikirnya gitu."

Kemudian Aran melepas jaket yang terpasang di tubuhnya, menyisakan sehelai kaos hitam berlogo ceklis, merk dari kaos tersebut. Hazel melirik saat jaket milik pria itu disampirkan ke bahunya.

"Nggak semuanya harus selesai sekarang Zel, semua ada waktunya masing-masing. Kamu bukannya dipaksa untuk jadi kuat, tapi kamu dari awal memang udah terlahir kuat. Tuhan tau kamu sanggup, makanya dikasih semua ini."

"Zel.." Pandangan Aran berpendar ke segala penjuru pantai. "Kalo ada apa-apa, please cerita ke aku terus ya. Sebisa mungkin aku bantu dan nyari solusinya."

Bintang Di langit PetangWhere stories live. Discover now