05. Jangan jadi jahat

178 26 12
                                    

3650 hari. Tepatnya sudah satu dekade Hazel harus hidup dibawah naungan tangan, kaki dan pundaknya sendiri. Jika disimpulkan lebih mudah, sudah sepuluh tahun ia hidup bersama kewarasannya yang jauh tertekan ke dasar. Sang Ayah yang seharusnya menjadi cinta pertama, nyatanya malah berperan sebagai sang pencipta luka paling luar biasa.

Kurang ajar. Hazel bahkan tidak punya alasan untuk memanggilnya dengan sebutan Papa. Entah mengapa, kadang dibenaknya terlintas pemikiran bahwa tidak akan ada penyesalan sekalipun ia mati tanpa sempat bertemu dengan laki-laki itu, memeluk laki-laki itu, dikecup, dilontarkan permintaan maaf, dan mendapatkan kasih sayang dari laki-laki itu. Laki-laki yang seharusnya ia panggil dengan sebutan Papa.

Mamanya menderita bipolar. Seorang Ibu yang seharusnya menjadi perisai satu-satunya yang tersisa disini, tetapi malah menjadi rintangan yang harus Hazel hadapi setiap hari. Setelah Ayahnya pergi dengan kertas laknat yang mengantarkan perpecahan keluarga kecilnya, Mamanya semakin menjadi-jadi, setiap hari semakin sulit mengontrol emosi bahkan tidak segan bermain tangan dan menggunakan kekerasan.

Mungkin sakitnya Mama menjadi salah satu penyebab mengapa Papa meninggalkan kita semua.

Dan mungkin ketidakpedulian Papa menjadi salah satu penyebab semakin buruknya penyakit Mama.

Meski kerap kali memikirkan opini tersebut, namun Hazel tidak pernah sekalipun mengungkapkan itu pada Orang tuanya. Terlalu tidak tega atau mungkin terlalu enggan dan malas memulai perdebatan yang akan berakhir sia-sia. Ayahnya tidak akan pernah mau kembali. Dan kini, gadis itu hanya sedang mencoba menjadi anak yang berbakti dengan merawat dan memahami kondisi Mamanya, setidaknya ia harap baktinya kepada Mama akan menutup dosa kebencian akan Ayahnya.

Bunyi pecahan gelas kaca bukanlah hal tabu lagi dirumah ini. Baik Hazel maupun Kinaya tidak punya cukup tenaga untuk merasa terkejut atau pun takut, kulit mereka bisa dibilang sudah berteman akrab dengan pecahan kaca dan sebagainya. Siang ini, saat Hazel pulang dengan kantung berisi tiga bungkus nasi goreng ditangannya— kericuhan lah yang menyambut kedatangan gadis ringkih itu.

Yang ia lihat adalah wajah sembab adiknya dan raut keras Mamanya— saling menatap tajam. Hazel hanya menghela nafas, masuk tanpa mengucapkan salam maupun sapaan—lalu menahan Mamanya yang akan melayangkan satu kali lagi tamparan dipipi adiknya yang telah memerah.

"Ma.. Hazel bawa nasi goreng telor setengah matang nih, kesukaan Mama." Tangannya menyapu peluh di dahi Livia (Mamanya).

Nafas wanita paruh baya itu masih menggebu, tatapannya masih nyalang menusuk sepasang mata diseberang sana yang tak kalah membara. Saat Hazel menoleh ke belakang, ia bisa dapati Kinaya yang tampak berantakan dan tentunya jauh dari kata baik-baik saja. Matanya memerah dengan jejak air mata yang belum mengering, ditambah lagi cetak gambar tangan yang menimbulkan merah dipipi lembut itu.

"Nay.."

Kinaya segera menoleh, melemparkan seonggok berkas yang sudah tak karuan bentuknya ke lantai. Hazel bergeming, ia tampak tak asing dengan tumpukan kertas itu.

"Mama sobek semuanya, Kak. Berkas-berkas untuk beasiswa aku!" Ucap Kinaya tersengal.

Hazel pun kembali menaruh atensi ke arah Livia. "Ma.. kenapa?"

"Adikmu itu kurang ajar, dia jadi suka melawan semenjak masuk kuliah. Mama yakin dia pasti ketemu sama Papamu diam-diam diluar sana, minta uang Papamu untuk foya-foya dengan alasan kuliah. Tetangga bilang, Kinaya itu sering mabuk—"

"Aku gak pernah mabuk-mabukan!" Pekikan itu terdengar nyaring. Kinaya menarik rambutmu frustasi.

"Aku capek, Ma. Mati-matian belajar demi pertahanin beasiswa ku, ini juga supaya aku gak nyusahin Mama sama Kak Hazel. Aku ke perpus kota cuma karena aku gak mampu beli semua buku-buku yang aku butuhkan."

Bintang Di langit PetangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang