Semua orang sibuk mondar-mandir, memeriksa kelengkapan teman-temannya. Walaupun berjumlah ratusan orang, mereka sudah seperti satu keluarga besar yang saling mengenal satu sama lain.

     “Apa ada teman kalian yang nggak terlihat?” tanya salah satu petugas berseragam merah, setelah berhasil memadamkan api sebagian.

     Para ketua asrama saling menghitung dan mengumpulkan anggotanya, dengan teliti mereka berusaha memastikan penghuni panti dalam keadaan aman.

     “Sepertinya sudah, Bunda!”

     “Lengkap, Bunda!”

     Masing-masing ketua asrama dari ratusan kamar, melaporkan anggotanya. Zahra bernapas lega melihat semuanya selamat tanpa ada korban nyawa, walau ada sebagian terluka yang sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.

     “Bunda!” Salah satu ketua mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan berteriak panik.

     “Ada satu penghuni yang tak terlihat, kamarnya di pojok lantai atas yang menghadap ke timur,” teriaknya lantang membuat petugas pemadam kebakaran berlari cepat seraya mengkonfirmasi pada timnya melalui handy talky yang ia genggam.

     “Bergerak cepat, masih ada korban di atas! Bereskan api di gedung yang menghadap ke timur, sisanya nanti setelah korban berhasil di temukan!”

     “Siap, Ketua!”

     “Siapa?” tanya Zahra dengan suara yang amat terdengar lemah, seolah ketakutan untuk mendengar namanya. Ia bahkan menghentikan napasnya sesaat, mengurangi kecemasannya yang berlebihan.

     “Tidak! Tidak mungkin dia dalam bahaya! Dia tidak boleh mengalami kejadian yang sama!”

     “Anin! Anindya Salsa!”

     Deg ….

     Tidak! Ia memang tidak salah dengar, tapi membenarkannya jelas bukan itu yang ia inginkan. Sosok wanita yang terkenal kuat mulai jatuh tanpa sadar, membuat penghuni panti langsung bergerak cepat membantunya.

     Anin, anak yang sangat istimewa baginya sejak sebelas tahun lalu dia tinggal di panti asuhan. Satu-satunya penghuni panti yang sudah Zahra anggap sebagai anak kandungnya sendiri, sayangnya dia tidak pernah mau untuk tinggal bersama dengan dirinya.

     Petugas lain yang bagian memeriksa keamanan, menghampiri pemilik panti, membawa beberapa bukti yang diduga sebagai penyebab kebakaran.

     “Sepertinya ada beberapa kamar yang listriknya mengalami korslet dan kebetulan dekat dengan alat-alat yang mudah terbakar. Masalahnya, bahan-bahan dapur yang berpusat di tengah gedung, memicu api semakin besar di waktu tengah malam, saat semua penghuni sudah terlelap,” jelasnya seraya membeberkan foto-foto yang ia ambil dari dalam gedung, meski semuanya terlihat menghitam, bagian dapur adalah yang paling berpeluang besar membuat api semakin berkobar.

     Namun, tidak ada yang bisa membuat pemilik panti cemas, meski tahu mendapat total kerugian yang amat besar, selain menunggu Anin yang masih belum ditemukan.

     “Bip … bip … satu korban berhasil diselamatkan, tapi kondisinya kritis. Tolong siapkan ambulan dengan cepat!”

     Terdengar suara HT dari salah satu petugas tadi, membuat Zahra bernapas sedikit lega, meski masih bercampur dengan rasa khawatir.

     Penghuni panti yang berkerumun segera membuka jalan, membiarkan beberapa petugas lewat membawa tubuh Anin yang lemah di atas alat pandu.

     Sang pemilik panti tak bisa menahan air matanya, melihat wajah cantik Anin yang biasanya tersenyum ramah itu memucat. Pakaiannya nampak lusuh berantakan.

     “Maaf, Bu Zahra. Kami terlambat menyelamatkannya hingga berakhir dia pingsan di dalam. Tangannya yang terluka, kemungkinan terjadi karena dia sempat berusaha keluar, tapi gagal. Kami segenap petugas pemadam kebakaran menyatakan permohonan minta maaf atas kerja kami yang lamban,” tegas ketua tim petugas pemadam kebakaran seraya menunduk hormat penuh penyesalan.

     “Tidak apa-apa, terima kasih. Kalian sudah menyelamatkan kami semua. Biar saya yang bertanggung jawab dengan keselamatan penghuninya sekarang. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih,” balasnya ikut menunduk sopan.

     Petugas pemadam kebakaran kembali berpencar, memastikan kinerja mereka lebih baik, memeriksa sekali lagi dengan teliti sisa-sisa api yang berhasil dipadamkan, serta memberi garis tanda bahaya di kawasan panti untuk menghindari resiko reruntuhan kayu dalam bangunan.

     Matahari mulai meninggi dari ufuk timur, sinar terangnya bersamaan dengan asap hitam yang masih mengepul. Gedung panti yang rusak mulai terlihat jelas sekarang, tidak ada lagi sisi bangunan yang layak untuk ditempati, hanya tersisa lantai bawah yang tentu saja tidak bisa dipastikan aman akibat resiko reruntuhan kayu yang mungkin masih berkelanjutan.

     Zahra dibantu beberapa penghuni senior mengamankan barang-barang yang masih bisa dipakai dan mengungsikan semua penghuni panti ke dalam rumahnya untuk sementara.

     Sesaat dia termenung di halaman, memperhatikan sekali lagi kebakaran panti yang baru saja terjadi, seolah semua mengingatkannya pada kejadian sebelas tahun silam. Akankah ini suatu pertanda kehidupan baru bagi Anin?

Senja KelamWhere stories live. Discover now