37. Prabu Kana

Mulai dari awal
                                    

Saras pulang lebih dulu bersama Gilang. Selesai berberes buku dan menjejalnya ke dalam tas, aku mencangklong benda tersebut di bahu kanan. Menyusuri koridor tanpa satu pun siswa, aku dikagetkan dengan salah salah satu kelas yang pintunya terbuka dan Bu Dini terlihat di dalamnya. Guru tersebut tampak menyusun banyak buku, tapi malah kesulitan saat membawanya.

"Permisi, Bu. Boleh saya bantuin gak?"

Karena ketukan sekaligus sapaan dariku, Bu Dini menoleh dan menjawab, "Boleh, Arini. Tolong bawakan buku-buku ini ke meja saya, ya."

Aku mengangguk, lalu berusaha secepat mungkin menyusul Bu Dini yang duluan berlalu. Selesai meletakkan setumpuk buku di mejanya, aku pamit pergi dengan ucapan terima kasih sebagai salam perpisahan.

Sewaktu melintasi koridor yang sama, kedua ujung alisku nyaris dibuat menyatu karena menemukan sebuah buku kecil tergeletak. Sepertinya ini salah satu buku milik Bu Dini. Mungkin terjatuh ketika aku membawanya tadi. Saat mengambilnya dengan niat mengembalikan ke empunya, sebuah foto yang terselip pada lembaran buku terjatuh di ujung sepatuku.

Lagi-lagi aku menunduk, memungutnya agar bisa disimpan ke tempat semula. Tapi coretan-coretan pada bagian belakang foto sedikit banyak menarik perhatianku. Di sana terdapat sederet angka yang kuyakini sebagai tanggal kapan foto ini diambil. Secara tak langsung mengatakan kalau ini adalah foto jadul yang berusia tiga belas tahun. Juga terdapat tulisan singkat bertinta hitam. Isinya, 'Sebuah foto yang diambil saat hari terakhir ujian kita di SMA Angkasa. Ini menyenangkan dan aku berharap kesenangan ini tidak cepat pudar. Bisakah kita selalu bersama?'

Dini Daniar - Prabu Kana

"Prabu?" Ini bukan nama yang asing buatku. Untuk memastikan siapa sosok di balik foto ini, aku perlu melihatnya. Benar saja, kebingungan ini semakin bertambah, bahkan suaraku sampai hilang dibuatnya.

Wanita berseragam SMA ini adalah Bu Dini. Dia terlihat muda dan manis bersama senyum lebar di wajahnya. Sementara laki-laki seumuran dengannya, yang juga tersenyum sama lebar merupakan sosok yang begitu kukenal. Penglihatanku tidak salah. Ini memang benar Prabu, laki-laki yang selalu kutemui di rooftop setiap hari Rabu. Tapi bagaimana bisa dia berfoto bersama Bu Dini di tiga belas tahun yang lalu? Sedangkan saat ini, Prabu masihlah pemuda yang berumur dua puluh tahun.

Apa ada yang tidak kumengerti di sini? Fakta apa yang telah kulewatkan? Lalu apa tadi namanya ... Prabu Kana?

Kedua kakiku lemas. Berbagai fakta buruk dan cerita tentang laki-laki bernama Kana terputar dan saling berkaitan di kepala. Tidak. Tidak mungkin Prabu sudah meninggal.

"Arini."

Aku berbalik, kaget bukan main saat seseorang menyentuh pundakku.

"Bu Dini, ada apa, ya?" Aku berbalik, refleks menyembunyikan buku tersebut lengkap dengan lembaran foto di belakang badan. Dengan senyum yang dipaksakan selebar dan setenang mungkin, aku berusaha menarik napas secara normal.

"Maaf kalau saya ngagetin kamu. Tapi kenapa masih belum pulang?"

"Oh, ini baru mau pulang. Yaudah, saya duluan, ya, Bu. Sampai ketemu besok." Tanpa mendengar balasan Bu Dini, aku bergegas dan meninggalkannya begitu saja.

Ini buruk, benar-benar buruk. Kisah ini menjadi misteri dan penuh teka-teki. Kalau aku mau tau jawabannya, maka buku ini akan menjelaskannya.

* * *

Sesampai di rumah, tak menunggu lama untukku masuk kamar dan membuka buka kecil dengan sampul cokelat tersebut. Aku meyakini ini adalah diarinya Bu Dini. Karena jika dilihat dari sampulnya, buku ini sudah cukup lama dan sedikit tua. Dari sini mungkin aku bisa menemukan beberapa informasi.

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang