7. Sebuah Kisah Tentang Rela

7 8 0
                                    

Kali ini kamu diharuskan membaca sebuah buku. Tentang dia si pengemis belas kasihan. Tentang luka yang berkepanjangan.

* * *

Melihat banyaknya polisi yang berkeliaran, membuat bulu kudukku meremang. Saat ini aku berada di kantor polisi dengan seragam putih abu-abu melekat di tubuhku. Aku duduk berhadapan dengan Papa yang mengenakan seragam tahanan warna biru. Kepalaku menoleh ke berbagai arah, berusaha melihat apa saja yang ditemukan oleh netraku.

"Tadi ke sini naik apa?" Papa bertanya saat donat pemberianku habis tak bersisa.

"Ojol," jawabku dengan mengangsurkan sebotol air mineral. Namun, Papa tidak langsung menerimanya.

Matanya mengawasi gerak-gerikku, berusaha mencari titik kebohongan. Terbukti saat ia bertanya, "Gak dianterin laki-laki itu, 'kan?"

"Abhi? Ya enggaklah, Pa. Bisa-bisa nanti Papa jadi manusia buas di penjara ini. Aku gak mau, ya, kasus papa jadi bertambah."

"Buas? Emangnya Papa begitu orangnya?" tanyanya dengan kening berkedut, menyatu bersama kerutan lain yang mengisi wajah lelahnya.

"Lho, Papa gak sadar, ya?"

"Kamu ini!"

Papa menarik hidungku saat aku tertawa mengejeknya. Tapi, serius. Aku ke sini memang dengan ojek online. Abhi mendadak tidak bisa mengantarku. Karena begitu pulang sekolah, ia mendapat telepon penting yang mengharuskannya untuk segera pulang. Itu tak masalah bagiku. Toh, ojek online bertebaran cukup banyak di sini.

"Masih punya uang gak, Rin?"

"Masih, Pa. Cukup, kok, buat jajan aku sehari-hari," jawabku jujur.

"Baguslah." Kepala Papa tertunduk, menatap kotak donat yang kosong di mejanya.

"Papa kapan bebasnya?"

Spontan ia mengangkat kepala untuk kemudian menjawab, "Tunggu sidang dulu, Rin."

"Emang sidangnya kapan?"

"Besok."

"Arin boleh dateng gak, Pa?"

"Enggak!"

"Lah, kok gak bisa?" tanyaku memberenggut kesal.

"Kamu harus sekolah, Arini."

"Libur sehari, 'kan, bisa, Pa. Aku mau tau tentang kasus Papa."

"Tetap enggak!"

"Papa gak asik, ah!" Aku berdecak dan menatap wajah Papa tanpa minat. Mungkin sama sepertiku, kini Papa juga ikutan menunduk dan menatap lama ke bawah sana. Aku tidak tahu apa yang sedang Papa pikirkan. Yang pasti, Papa menghela napas panjang berkali-kali selagi aku masih diam dan menatap ke arahnya.

"Sekolah kamu gimana?"

"Ya, masih gitu-gitu aja."

"Gitu-gitu aja gimana? Kamu gak di-bully, 'kan? Dijauhin karena Papa kamu masuk penjara?"

"Aku gak di-bully separah apa yang Papa pikirin, kok. Tapi kalau dijauhin, pasti ada." Aku bukan tipe manusia yang pintar menyembunyikan rahasia. Sejak dulu, aku terbiasa berbicara apa adanya. Karakter ini melekat sangat erat denganku. Membuat Papa kembali menghela napas berat untuk kesekian kalinya.

"Jadi kalau teman-teman kamu pada menjauh, kamu di sekolah sendirian aja?"

Aku tersenyum lebar, lalu menggelengkan kepala dengan semangat. "Enggak. Aku temenin Abhi, Pa. Terus diajak gabung juga sama temen-temennya."

"Temennya cowok-cowok semua?"

"Iya, dan mereka semua baik banget. Kapan-kapan aku kenalin, deh, ke Papa," cakapku seraya mempertahankan senyum agar selalu terlihat lebar.

Awalnya kukira Papa akan kembali mengomel. Namun, sepertinya tidak. Dia hanya mendengkus dan berkata, "Mulai sekarang, kamu harus pinter jaga diri. Walaupun mereka baik, tapi kamu harus tetap jaga jarak dan menghindari kontak fisik yang berlebihan dengan mereka. Karena kita gak bisa menjamin sebaik apa dia dan setulus apa niat dia berteman dengan kita."

"Iya, Pa. Aku akan inget pesan Papa. Jadi, besok sore boleh gak aku jalan-jalan sama Abhi?"

Papa melotot. Sepertinya jawaban Papa adalah tidak.

* * *

Mengunjungi supermarket di malam hari telah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini. Bermodalkan sisa uang dalam tabungan, aku memutuskan berbelanja beberapa bahan untuk membuat bolu pisang. Aku memang tidak pintar memasak, tapi setingkat penganan itu, aku bisa. Bahkan, sudah beberapa kali Abhi memakan bolu pisang buatanku. Katanya enak dan cocok dijual ke orang-orang.

"Aduh!"

Mataku spontan mencari sumber suara. Ketika asal itu aku temukan, hatiku mendadak dibuat bergetar. Hanya karena Saras yang saat itu tampak memungut barang dan menyusun kembali ke dalam rak, kegiatanku terhenti detik itu juga.

Apa kabar, Ras?

Pertanyaan itu akan selalu tertahan di tenggorokan. Bukan karena aku tidak berani menyuarakan, hanya saja aku tengah menuruti Saras yang meminta untuk menjalani hidup tanpa saling bersinggungan. Kalau boleh jujur, aku masih tidak percaya dengan tindakan Saras yang luar biasa gila. Dia setega itu menyakitiku, membuatku tersingkir dalam lingkaran persahabatannya.

Papa benar. Sampai kapan pun, kita tidak akan pernah bisa menjamin sebaik apa seseorang dan setulus apa niatnya untuk berteman. Dari Saras aku belajar satu hal. Jangan pernah menaruh harapan pada sebuah hubungan. Karena yang baik belum tentu kekal. Yang kita anggap selamanya, ternyata tak mampu bertahan dalam waktu yang lama.

Abhi pernah berkata kepadaku beberapa waktu yang lalu. Saat itu, kami menghabiskan kelas tanpa guru di sebuah taman dekat gudang──tempat aku melihat Abhi untuk kali pertama. Sambil memangku gitar, laki-laki itu menyanyikan sebuah lagu pilu berjudul Jera. Usai melantunkan bait-bait pedih dengan suara indahnya, Abhi tersenyum dan menghela napas panjang. Ia berkata, "Titik tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Entah rela ketika dia pergi, atau rela saat dia menemukan pengganti. Intinya, merelakan dan mendoakan, adalah cara terbaik jika kita ingin menyembuhkan hati. Kita ini masih terlalu muda, Arin. Mencintai diri sendiri itu perlu. Dan setelah hal itu dilakuin, maka boleh kalau kita ingin serahin hati kepada orang lain. Ingat, serahinnya sebagian aja. Karena kalau tidak, kamu akan terluka dengan sengaja."

Lihat, aku bisa mengingat dengan baik setiap kata yang Abhi katakan. Kupikir aku sudah menerapkannya dalam hubunganku dan Saras. Tapi ternyata tidak. Hanya aku yang menyayanginya. Hanya aku yang mengharapkannya. Sementara Saras, mungkin sudah lupa tentang semuanya. Terbukti dari dia yang tidak menoleh saat melewatiku. Seolah tak menganggapku ada. Seolah aku hanya sosok tak kasat mata baginya. Hatiku sakit hanya karena mengetahui bahwa Saras tetap terlihat baik-baik saja walau aku tidak lagi bersamanya.

Saras, semudah itukah kamu lupa bahwa kita pernah bahagia dalam waktu yang lama?

* * *

LostWhere stories live. Discover now