32. Cupcake

4 6 0
                                    

Kebahagiaan itu ada. Kamu hanya perlu usaha untuk mendapatkannya.

* * *

Sore ini aku menjadi perempuan paling sibuk di dunia. Karena sedari tadi telah berkutat dengan tepung, telur, gula pasir, cokelat bubuk, bahkan beberapa butir ceri merah segar. Mama bahkan sampai menertawai penampilanku yang sedikit berantakan. Wanita itu mendekat, sejenak membersihkan noda tepung pada pipiku. "Mau buat apa, sih, Rin? Perasaan gak selesai-selesai?"

"Mau buat cupcake, Ma. Ini udah hampir jadi kok. Nanti Mama cobain, ya. Kalau enak, rencananya bakalan aku jual."

"Kamu mau jualan?"

Aku yang baru saja memasukkan cupcake ke dalam oven beralih memandangi Mama sejenak. "Iya, Ma. Boleh, 'kan?"

"Boleh. Tapi jangan sampai ganggu waktu belajarnya, ya."

Mendengar kalimat persetujuan itu, aku lekas mengacungkan jempol seraya tersenyum lebar. Di dalam oven, aku memanggang kue tersebut 30 menit lamanya. Saat waktu yang ditentukan cukup, aku mengeluarkannya dan membiarkan dingin di meja. Setelah itu, aku menyemprotkan topping yang sudah dimasukkan ke dalam piping bag dengan spuit berbentuk bintang kecil. Terakhir, aku menghiasnya dengan cokelat serut dan sebutir ceri merah segar di atasnya.

Kesibukan ini belum berakhir.

Setelah siang dan sore berada di dapur, malamnya aku sibuk di kamar bersama ponsel di tangan. Berulang kali aku mengubah tatanan cupcake yang tersusun rapi di atas karpet tebal dengan printilan estetik bertaburan di sekitarnya. Begitu menemukan sudut yang pas, aku menekan layar dan cupcake lezat buatanku terpotret dengan sempurna.

Di luar sedang hujan deras, dan cupcake cantik dengan ceri merah segar di atasnya menjadi sasaran mulut laparku. Aku berbaring usai menghabiskan tiga kue sekaligus. Menggunakan ponsel, aku kembali menyibukkan diri mengedit hasil jepretan yang benar-benar keren.

Begitu selesai, aku pun memamerkan hasil kerja kerasku di sosial media lengkap dengan harga satuannya.

Selang beberapa menit selagi aku menghabiskan sisa cupcake, bunyi pesan masuk pun terdengar. Aku mengambil benda persegi panjang itu dengan semangat, membaca pesanan cupcake yang sebagian besar dari murid sekolahan.

* * *

Sebulan belakangan ini, hidupku nyaris berjalan tenang dan baik-baik saja. Walau tak sama persis seperti sebelumnya, setidaknya orang-orang telah berhenti bicara buruk tentang keluargaku.

Kalian pasti tidak menduganya. Lima hari lalu Pak Hamdan akhirnya memenangkan kasus korupsi papa di pengadilan. Dia berhasil menemukan pelaku sebenarnya lengkap dengan bukti kuat yang menjebloskannya ke penjara. Pelakunya adalah teman kantor papa sendiri. Bermotif kesal karena papa naik jabatan, dia akhirnya menumpahkan semua kejahatan miliknya kepada orang lain.

Nama baik papa sudah kembali seperti semula. Tapi sayangnya, papa sudah tidak ada untuk merasakan kebahagian ini bersamaku dan mama.

Misteri lain pun bermunculan. Siapa Pak Hamdan sebenarnya? Siapa yang menyuruhnya membantu kami menyelesaikan kasus ini? Berulang kali aku bertanya, bahkan sampai memaksa, tapi Pak Hamdan hanya tersenyum dan mengunci mulut rapat-rapat. Akhirnya Pak Hamdan pergi, meninggalkan kenangan baik untuk kami.

Setiap hari Rabu, aku memaksakan diri datang lebih pagi agar bisa mengobrol lama dengan Prabu. Tapi karena suatu hal, aku terlambat bangun, dan berakhir tiba di sekolah menjelang sepuluh menit sebelum kelas pertama dimulai. Padahal sebelumnya aku selalu bangun awal. Jangan tanya kenapa. Sudah menjadi kebiasaan jika hari Rabu aku mengalami nasib sial.

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang