21. Rabu yang Menyedihkan

2 3 4
                                    

Manusia itu hidupnya selalu bersisian dengan karma.

* * *

"Rin, kamu duluan aja, ya, ke kelas. Aku harus ke ruangan Pak Bondan dulu," kata Abhi selagi aku melepaskan pengait helm.

"Mau rapat?" tanyaku yang sudah hafal mengapa Abhi sering dipanggil Pak Bondan ke ruangannya. Sebenarnya bukan cuma Abhi, tapi semua personel Angkasa Band masuk ke sana.

"Iya. Rapat buat konser malam perpisahan belum kelar soalnya."

"Oh, yaudah. Aku duluan." Mengingat angkatan kami sudah di penghujung semester, maka hal-hal kecil seperti ini akan sering terjadi. Bahkan berikutnya kami akan semakin disibukkan oleh jadwal les atau rangkaian ujian kelulusan lainnya.

Melupakan Abhi yang berbelok ke koridor lain, aku melanjutkan langkah ke tujuanku yang sebenarnya. Ini adalah hari Rabu, dan harapanku hanya satu. Semoga kesialan yang Tuhan berikan masih berada dalam lingkup kesanggupanku. Walau malam tadi Abhi mengatakan tentang kebaikan Tuhan yang menguji manusia tidak melebihi batas kesanggupan. Namun, sesekali aku pasti merasa bahwa cobaan yang Tuhan berikan sangat berat. Seolah mati adalah pilihan tepat yang menuntaskan semuanya.

Berada di dalam keramaian pada hari yang paling dibenci, aku waspada karena kesialan bisa datang dari arah mana saja. Aku tidak tahu sejak kapan Rabu menjadi hari yang paling menyebalkan. Sejak bisa mengingat, aku hanya tahu jika hari itu datang, maka kesialan pasti aku rasakan.

Sangat memuakkan bukan?

Beruntung kelas yang aku lalui berjalan baik-baik saja. Aku melewati empat jam mata pelajaran tanpa teguran walau sebenarnya aku lebih banyak melamun daripada memperhatikan. Permasalahanku dengan mama masih berlanjut. Suasana di sekitar kami masih terlalu dingin walau untuk sekadar menyapa. Awalnya kupikir mama akan membuka obrolan, tapi ternyata dia juga memilih diam. Aku tidak tahu apa yang tengah mama pikirkan saat itu. Mungkin saja dia telah menyetujui penawaran yang wanita tua itu berikan. Mungkin mama akan meninggalkanku dan hanya mengirimi uang sesuai yang aku butuhkan. Karena bagaimanapun, wanita tua renta itu tetaplah ibunya. Dan bukankah seorang anak harus selalu berbakti kepada orang tuanya?

Aku tertawa kosong. Ternyata bukan cuma papa yang pergi, tapi sepertinya mama juga.

Kenyataan ini membuat rasa laparku menghilang. Aku bahkan tak ingin ke kantin walau Abhi mengabarkan ia sudah berada di sana. Aku benar-benar lelah, nyaris menangis menghadapi semua masalah.

"Hai, Arin."

Telingaku menangkap kalimat sapaan. Kepala yang awalnya kurebahkan di atas meja, perlahan terangkat hanya untuk menemukan Amanda dengan senyum lebar. Aku mengernyit ketika gadis itu menduduki kursi kosong di sebelahku. Dengan tangan menopang kepala, ia berkata, "Kemarin gue jalan-jalan, lho, sama Abhi. Walaupun cuek, tapi dia asik juga ternyata. Gue jadi suka, deh, sama pacar lo itu."

Sial. Untuk inikah ia mendekatiku?

"Abhi udah cerita belum kalau kita udah deket banget akhir-akhir ini? Soalnya orang tua kita itu saling kenal. Gue bahkan udah beberapa kali mampir ke rumahnya. Lo udah pernah belum? Mamanya baik banget, Rin. Suka ngajakin gue masak bareng. Bahkan sama orang tuanya, gue udah dibolehin buat masuk ke kamar Abhi."

Aku refleks menatap Amanda yang tersenyum lebar dengan sorot menatap ke depan. Dari gesturnya, dia tampak berusaha mengingat momen bahagia yang telah dilewati. Dia sengaja melukaiku dengan ceritanya. Membuatku marah dan cemburu akan kedekatannya dengan keluarga Abhi. Jika memang ini benar, kenapa Abhi tidak pernah cerita? Kenapa selama ini Abhi seolah terlihat risi jika di belakangku mereka bisa sedekat itu?

"Abhi itu benar-benar ganteng kalau lagi tidur, Rin. Tau gak, ternyata perutnya ada roti sobek, lho. Keren banget. Makanya gak heran kalau pelukan Abhi bisa sehangat dan semanis itu. Bikin kangen, Rin. Pas di pesta, dia perlakuin gue kaya ratunya. Sampai semua orang berpikir kalau kami itu pacaran. Lucu, ya?"

Lucu apanya?! Aku memukul meja, muak mendengar semua bualan Amanda. "Pergi! Gue gak butuh didongengin sama lo," bentakku hingga Amanda berhenti bercerita. Satu dua yang memilih tinggal di kelas menatap ke arahku. Bahkan Saras yang saat itu hendak keluar refleks menghentikan langkah saat aku berteriak.

Namun, aku tidak peduli.

"Oh, sorry banget kalau kesannya gue kaya mau bikin lo cemburu. Seharusnya gue ucapin belasungkawa buat lo. Kan papa lo baru meninggal." Bukannya hengkang, Amanda malah semakin gencar memanasiku. Kali ini dia membahas tentang kepergian papa. Sebuah obrolan yang membuatku ingin mati jika terus-terusan mendengarnya.

"Lo yang sabar, ya. Ini pasti berat banget. Tapi yang namanya kenyataan memang gak selalu manis seperti yang kita harapkan. Gue tebak, pasti papa lo gak sanggup dipenjara, makanya dia nekat bunuh diri. Miris, ya, Rin? Gak nyangka kalau keluarga lo bisa sekacau ini akhirnya."

Kesabaranku telah mencapai batas. Aku menarik kerah Amanda untuk memaksanya berdiri. Setelah itu, sebuah tamparan melayang dari tanganku. Aku tidak peduli jika gadis ini syok dan memegangi pipinya yang terasa panas. Aku tidak peduli pada Saras yang spontan berlari ke arah kami dengan tatapan cemas. Aku tidak peduli pada keadaan sekitar. Di saat semuanya telah berantakan, kenapa Amanda harus menambah kerusakan? Dia bukan hanya membuatku marah, tapi juga mengundang air mata untuk jatuh di depannya.

"Jaga omongan lo, Amanda. Kenapa, sih, lo gak bisa diam aja? Kenapa lo harus selalu ngehina keluarga gue? Apa cuma itu yang buat lo happy?"

Sementara Amanda masih terdiam, aku menyeka kedua pipiku dengan kasar. "Ingat, Amanda, manusia selalu hidup bersisian dengan karma. Lo gak selamanya berada di atas. Karena roda kehidupan itu selalu berputar. Dan semoga, apa yang lo rasain bakalan lebih pedih nantinya."

Puas karena Amanda kehilangan suara, aku memilih pergi dari hadapannya. Kini langkahku sangat lebar dan cepat dengan kantin menjadi tujuan satu-satunya. Bukannya ingin makan atau minum, tapi aku membutuhkan Abhi untuk meredam amarahku.

Pada sebuah sudut, aku mendapati laki-laki itu yang melamun seraya menopang dagu dengan telapak tangan. Dia bahkan tampak kaget begitu aku menduduki kursi di hadapannya tanpa menyapa terlebih dahulu. "Arin, akhirnya kamu ke sini juga. Aku tunggu kamu dari tadi."

Aku berusaha menelan ludah dan mengatur napas sejenak saat mengetahui gelagat Abhi sedikit berbeda. Kalau tebakanku benar, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tak biasanya ia tidak menanyakan keadaanku walau sangat jelas aku sedang tidak baik-baik saja. Untuk itu, aku menunda membicarakan tentang 'dongeng' Amanda.

"Soalnya aku mau ngomong sesuatu sama kamu."

"Mau ngomong apa?"

"Kita harus putus, Arin."

* * *

LostWhere stories live. Discover now