5. Malapetaka

12 9 2
                                    

Apakah aku berhak bahagia?

* * *

"Arin, bokap lo udah bebas belum?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang terdengar saat aku memasuki kelas. Pada deretan sebelah kanan bangku kedua, tampak Amanda dan Sisil yang sama-sama tengah menyeruput jus kotak. Sementara di belakangnya, Saras tampak serius menyalin catatan pada buku Amanda. Aku ingat, hari ini Pak Reno akan memeriksa catatan Kimia. Dan lagi-lagi, Saras adalah korban dalam hubungan pertemanan mereka.

"Yang nyuruh lo ngurusin hidup gue siapa?"

Amanda tertawa, lalu melirik Sisil yang tengah melakukan hal yang sama. "Gue gak habis pikir, deh, sama lo. Bokap lo belum bebas, tapi lo sesantai ini, ya, pergi ke sekolah? Gak malu lo, Rin?"

"Enggak!" Perlahan-lahan, aku mendekati meja yang Amanda tempati. Melalui sudut mata, aku menyadari kalau Saras menghentikan aktivitasnya. Dia menatap ke arahku dengan cemas. Takut-takut aku termakan amarah dan mengamuk seperti kemarin. "Asal lo tau, ya. Bokap gue bukan koruptor. Tapi percuma aja, sih, ngomong sama orang berotak udang kaya lo. Sampai mati pun lo gak bakalan paham."

Amanda berdiri tepat di ujung kalimatku. Matanya melotot marah seiring dengan deru napas yang tidak beraturan. Kemudian, Sisil dan Saras juga bangkit. Mereka sama-sama menatap ke arahku yang mati-matian berusaha untuk tidak membalas tatapan Saras. Aku sadar, sekali saja mataku bertembung dengan maniknya, maka pertahananku akan runtuh segera. Saat ini, Saras adalah kelemahanku. Aku tidak bisa melihatnya menggeleng seraya memintaku untuk tidak mengatai Amanda. Karena pada dasarnya, aku masih sesayang itu pada gadis berkacamata kotak ini.

"Arin, kamu lagi apa?"

Panggilan yang berasal dari arah pintu membuat kami kompak menolehkan kepala. Abhi berdiri sambil tersenyum kaku dan menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi. "Lagi sibuk, ya, Rin?" tanyanya lagi.

"Enggak, kok, Bhi." Menatap Amanda melalui ekor mata, aku lantas berbalik dan mengambil paper bag dari mejaku. Aku menemui Abhi yang sudah berdiri di luar kelas. Tanpa basa-basi, aku menyerahkan benda itu ke tangannya. Membuatnya tersenyum selagi matanya masih terpaku pada kotak bekal nasi goreng dengan dua telur mata sapi di atasnya.

"Thanks, ya, Rin. Temenin aku sarapan di kantin, yuk? Nanti aku beliin milo kotak buat kamu."

"Tapi belinya tiga, ya, Bhi? Gue haus parah soalnya," tawarku.

Abhi menaikkan salah satu alisnya, tapi tidak membantah karena raut wajahku yang tampak kesal. Alhasil, laki-laki itu menganggukkan kepala. Dan dalam sekali tarikan, tanganku sudah berada dalam genggamannya. Kami melangkah menuju kantin dengan aku yang berusaha tenang saat bisik-bisik sialan itu sesekali terdengar.

Sepertinya Abhi menyadari kemarahanku. Selain genggaman tangannya yang terasa semakin erat, dia juga berusaha untuk mengajakku berbicara hingga akhirnya tiba di tempat tujuan. Aku langsung mencari meja, sedangkan Abhi memilih membelikan milo kotak sesuai pesananku. Ajaibnya, laki-laki baik hati ini tidak membelikanku tiga, melainkan lima kotak sekaligus.

"Kok banyak banget, Bhi? Bisa kembung, dong, aku nanti," protesku.

"Abisin aja dulu sampai mood kamu baik lagi. Dan kalau gak abis, bisa kamu simpen buat nanti," jelas Abhi seraya membuka kotak bekal, lalu berdecak kagum setelahnya. Satu per satu, Abhi melahap makanan tersebut. Sesekali ia meringis kepedasan, tapi mampu membuatnya bertahan sampai suapan terakhir.

"Tadi di kelas kenapa marah-marah, Rin?" Nasi goreng tandas tak bersisa. Abhi menutup kotak bekal, lalu menyimpannya lagi di tempat semula. Kemudian, dia mengeluarkan permen karet dari saku baju. Ia membuka bungkusannya, lalu mengunyahnya seperti biasa.

Aku yang baru menghabiskan milo kotak kedua seketika mengembuskan napas panjang. Kenapa di saat mood-ku hampir membaik, Abhi harus menanyakan hal menyebalkan itu lagi? "Tau tuh Amanda. Suka banget bikin orang kesel. Padahal tadi mau aku gampar, lho, pipinya, Bhi. Tapi kamu malah keburu dateng."

"Gak baik kasar-kasar gitu, Arin. Segala sesuatu harus diselesaiin dengan kepala dingin."

"Dih, mana bisa gitu? Aku gak sesabar itu, ya, orangnya. Apalagi topik penghinaan dia itu papa aku," jelasku tak terima.

Sekilas Abhi menganggukkan kepala, berusaha menyudahi perdebatan kami dengan kepala dingin seperti katanya. Abhi memang sesabar dan sebaik itu orangnya. Jika terlanjur marah pun, dia selalu berusaha tenang dan memilih diam hingga amarahnya menghilang. "Sore nanti jalan, yuk, Rin? Makan bakso di warung tenda pinggir jalan deket supermarket baru. Kata Gilang, bakso di sana enak."

"Gak bisa, Bhi. Sore ini aku mau jenguk papa di penjara."

"Oh, malemnya aja gimana? Kamu pasti bisa, 'kan?"

"Tetep gak bisa." Laki-laki bernama lengkap Abhimanyu Winata itu terdiam. Senyum semangatnya menghilang, digantikan dengan kerutan-kerutan bergelombang pada sekitaran dahinya. Sebelum ia bertanya, aku lebih dulu menjelaskan, "Selama papa masih di penjara, aku gak bisa sesantai itu buat jalanin hidup. Aku gak mau jadi anak yang kaya gak ada beban, sementara papa berjuang mati-matian di sel sana. Aku butuh keputusan hakim, Bhi. Keputusan bahwa papa gak bersalah. Setelah itu, baru aku bisa tenang."

"Oh, gitu, ya, Rin. Padahal aku mau banget ngabisin waktu sama kamu sebelum ...." Abhi tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Suaranya menghilang dan wajahnya berubah tegang. Abhi persis seperti orang yang tak sengaja membuka rahasia besar di saat hal tersebut harus disimpan rapi olehnya.

"Sebelum apa, Bhi?"

Kini raut muka Abhi berubah total. Ia menatapku dengan sorot yang berbeda. Tak lama, karena setelahnya, manik kecokelatan itu terlihat berpencar ke semua arah. Abhi menghindari bersitatap denganku. Fisaratku mengatakan ada sesuatu yang sedang Abhi sembunyikan.

Beruntung, dering ponsel menyelamatkannya dari serangan mataku. Abhi buru-buru pergi ke ruangan Pak Bondan usai berbicara sepatah dua kata dengan Gilang. Dia sempat mengajakku pergi, tapi aku menolak dengan dalih bahwa aku masih ingin di sini. Alhasil, aku mendapatkan sedikit usapan ringan pada rambut panjang milikku. Laki-laki itu juga mengingatkan agar aku tidak terlambat masuk kelas. Tentu saja. Tentu aku akan mengingatnya. Sama seperti raut ketakutan yang kutangkap pada wajahnya.

Jika memang ada yang Abhi sembunyikan, apakah hal itu akan baik untukku? Atau malah sebaliknya? Bahwa selama ini, malapetaka sedang menungguku di depan sana.

* * *

LostWhere stories live. Discover now