"Ibu kenapa harus ikut ginian sih?" Tanya Mahesa terlihat khawatir pada wanita tua di depannya.

"Marsya kenapa kamu bolehin ibu ikut demo gini? Ibu harusnya sekarang di rumah sakit buat operasi kan?" Tanya Mahesa pada Marsya.

Marsya hanya diam tak menjawab pertanyaan Mahesa. Ia terlihat sedang menahan tangis lalu mengkode Mahesa agar memasukkan ibunya ke mobil. Mahesa paham, ia menuntun ibunya untuk masuk ke mobil lalu berhadapan dengan Marsya.

"Kenapa? Ada yang salah?" Tanya Mahesa.

"Ibu gak bisa dioperasi kak, dokter yang harusnya operasi ibu malah nolak kak. Ibu di keluarin dari rumah sakit secara paksa, hanya karena kita pake kartu kesehatan perilaku mereka ke kita beda banget." Jelas Marsya pada akhirnya menangis.

"Sekarang kita ke rumah sakit ya? Kakak ada uang buat operasi ibu." Mahesa menarik tangan Marsya agar naik ke mobil tapi Marsya tolak dengan bersikeras jika ibunya sudah tidak bisa dioperasi lagi. Ia makin menangis di depan Mahesa dengan aduan tentang perilaku rumah sakit pada ibunya.

"Sekarang jalan satu-satunya kita harus tagih pesangon dari pembangunan gedung ini kak. Dua tahun gedung ini dibangun dengan meratakan rumah kita dan orang lain, mereka bohong soal pesangon yang layak. Kita harus tagih kak, ibu udah cukup ngeluarin banyak uang buat kakak jadi polisi. Kakak harusnya bantuin ibu dengan profesi kakak itu." Marsya menatap Mahesa sendu.

"Tapi kakak baru di angkat dek, orang-orang bahkan belum tentu tahu kakak. Kalo kakak melakukan sesuatu yang melanggar aturan kakak bisa dikeluarin."

"Terserah kakak." Marsya akhirnya masuk mobil.

Mahesa terlihat bingung sendiri, di satu sisi ia juga ingin membantu ibunya tapi di sisi lain pekerjaannya tidak mendukungnya. Ia harusnya mengamankan pendemo bukan malah ikutan demo. Mahesa melihat kepala kepolisian yang baru saja sampai. Ia langsung berlari ke arah kepala kepolisian itu dan memberi hormat.

Kepala polisi tersebut mengangguk lalu berjalan ke arah gedung diikuti oleh beberapa polisi lain dan Audrey. Mahesa turut ikut di belakang kepala polisi tersebut, ia melihat ke arah kerumunan pendemo sebentar. Saat di dalam, kepala polisi tersebut melihat juga ke arah pendemo sambil berdecak kesal.

"Bukannya perusahaan harusnya beri kompensasi daripada menghadapi pendemo terus menerus." Ucap Audrey.

"Perusahaan sudah memberikan apa yang mereka janjikan, apa masih kurang? Mereka ini contoh pencuri uang, jika kekurangan uang harusnya mereka kerja bukan demo di sini." Jawab kepala polisi.

"Tapi mereka bilang belum menerima kompensasi sama sekali, bukannya kita harus mendukung mereka untuk mendapatkan kompensasi?" Kali ini Mahesa ikut berpendapat.

"Apakah kamu dewan rakyat? Kita ini polisi negara, tugas kita hanya melindungi, mentertibkan dan mengamankan bukan menyampaikan suara rakyat! Jika ingin menjadi penyampai suara rakyat keluar saja dari polisi, jadi anggota dewan saja sana." Kepala polisi itu terlihat marah pada Mahesa lalu pergi masuk ke dalam gedung.

Audrey tersenyum pada Mahesa, ia mencoba memberikan kata penyemangat agar Mahesa tidak tersinggung dengan kepala polisi tadi.

"Tentang apa yang pak kepala ucapkan, jangan sampai di masukkan ke hati ya. Dia cuman agak kesal sama semua ini, saya akan mencari cara yang terbaik agar para pendemo mendapatkan apa yang wajib mereka dapat." Audrey menepuk pundak Mahesa lalu masuk ke dalam gedung.

Bima SaktiWhere stories live. Discover now