Prolog

8 0 0
                                        

————

Seorang gadis berperawakan tinggi sedang menguncir rambutnya yang sudah sepanjang pinggang di depan cermin. Tangannya merapikan kaos polos abu-abunya dan celana lengging panjang hitam yang ia kenakan hari ini untuk jogging Minggu pagi bersama ketiga sahabatnya yang sudah datang sejak lima menit lalu dan sedang menunggu dirinya di ruang tamu.

Laras meraih ponselnya di nakas lalu bergegas melangkah keluar kamar menuju ruang tamu setelah mengunci pintu kamarnya dan kuncinya diletakkan di pot tanaman yang terletak di meja setinggi pahanya di luar kamarnya.

"Jam berapa sekarang?" Laras menyenggol tangan Sarah yang sedang memainkan ponselnya. Hampir saja terjatuh kalau Sarah tidak buru-buru menggenggam erat ponselnya. "Lo punya jam, kan?" Sungut Sarah membuat Laras tertawa kecil melihat sahabatnya yang emosi pagi-pagi buta begini.

Matanya menyusuri dinding rumahnya sampai akhirnya berhenti di jam dinding berwarna silver yang terletak di arah baratnya. Jarum jam panjang sudah hampir mengarah di angka enam, ia langsung bangun dan menarik napas panjang sebelum memulai olahraga paginya.
Nahda, cewek yang paling keibuan di antara persahabatan mereka menghela napas sebelum akhirnya bangun dari sofa dan mengajak yang lainnya untuk bersiap memakai sepatu masing-masing. "Yuk, keburu matahari terbit," katanya sambal menarik lengan Sarah dan Laras mersamaan.

"Gue gak diajak, nih?" Mereka bertiga menengok ke belakang secara bersamaan dan melihat Fia yang sedang menunjuk dirinya sendiri seraya rebahan di sofa. "Mending gue tidur lagi aja tadi, mah," sambungnya sambil memeluk bantal sofa rumah laras yang lumayan besar seperti ukuran guling.
"Udah ayo cepatan! Jangan tiduran mulu lo mah." Sarah mulai angkat suara.
Fia mengulurkan tangannya ke arah ketiga sahabatnya yang sedang menatapnya agak malas, "bangunin."

Laras mendengus sebal melihat kelakuan salah satu sahabatnya ini yang sangat malas. Kebiasaan, pikirnya. Dia paling tidak suka dengan orang yang bergerak lambat. "Kalo bukan sahabat gue, udah gue tinggal sumpah," ucap Laras sambl menarik pelan lengan Fia dan yang lengannya sedang ditarik hanya nyengir-nyengir tidak jelas.

*****

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Matahari sudah dengan semangatnya menyinari bumi Bekasi yang super panas ini. Lalu nasib keempat cewek yang sedang jongging itu seperti setengah tepar semuanya. Mereka duduk di bawah pohon besar yang berada di pinggir lapangan umum. Rasa haus dan keringat yang bercucuran membuat napas mereka semua terengah dan ngos-ngosan.

"Panas, ih," protes Fia seraya tangan kanannya mengipas-kipas wajahnya yang sudah memerah sejak tadi. "Untung gajadi pake hoodie tadi, astaga." Sarah mengubah posisi duduknya jadi mengarah ke lapangan besar itu. Lapangannya dipenuhi daun kering berserakan yang terbang terbawa angin. Kalau dipikir-pikir lagi, walaupun cuaca panas begini rasanya tetap lumayan sejuk karena angin tetap mondar-mandir menemani siapapun yang sedang diterpa teriknya matahari.

Lalu tiba-tiba suara motor berhenti di seberang sana. Kurang lebih ada 10 motor yang berhenti tepat di pinggir lapangan dengan pengendara dan teman-temannya sekaligus. Gerombolan cowok-cowok itu kira-kira ada hampir 15 orang dan dua diantaranya membawa bola basket di tangannya. Suara mereka semua bising sekali. Dari yang bicara soal uang taruhan hingga menanyakan keberadaan kunci motor, itu terdengar jelas hingga kuping Laras.

Sedangkan Laras, gadis itu yang tadinya sedang bersantai menghirup udara yang masih lumayan segar ini tertarik perhatiannya untuk menatap ke arah lapangan juga seperti Sarah. Matanya tidak berhenti menatap ke arah para cowok itu yang sedang hom-pim-pa dan berteriak riuh bahagia. Kedengarannya sangat ramai dan asik kalau dilihat-lihat, pikirnya.

Tak lama, Nahda menepuk pundak Laras dan Sarah bersamaan untuk menerima air mineral yang sebelumnya ternyata sedang dibelikan olehnya. Laras mengangguk dan menenggaknya setelah berterima kasih dan melirik ke arah Fia yang ternyata sedang enak minum es teh diam-diam. Pantas saja cewek itu tidak mau bergabung duduk dengannya dan Sarah.

"Fia, enak banget tuh es teh kayaknya," ucapnya dan membuat gadis itu sedikit terkejut lalu menyodorkan es tehnya ke arah Laras. Ia meraihnya dan langsung menenggaknya tanpa basa-basi sampai Fia berteriak kencang agar esnya tidak dihabiskan sabahatnya yang tidak tau diri ini.

"Jangan diabisin bangke!"

"Lagian beli es ga ngajak-ngajak."

"Ih, yaudah sana beli sendiri!"

"Gak, gue mau minta punya lo aja."

"Rese banget ih lo, mah!" Tangan Fia terulur untuk menarik es teh miliknya dari tangan Laras di depannya yang masih mengenggaknya.

Sedangkan Laras tersenyum licik sengaja ingin menghabiskannya, namun rasa tidak tega dalam dirinya tetap ada setelah melihat wajah Fia yang memelas dan ingin membuatnya tertawa. "Maka—"

Duk!

"Aduh!" Laras mengaduh sambil mengusap belakang kepalanya yang terasa panas.

Kepalanya yang pusing seketika dan badannya yang disusul dingin. Nahda dan Sarah yang tadinya sedang seru menatap kedua sahabatnya sedang rebutan es teh langsung panik begitu melihat keadaan Laras yang berubah drastis saat itu juga.

Sontak Laras langung menunduk hampir jatuh kalau tidak langsung ditopang Fia yang berada di hadapannya. Ia tau kalau Laras punya vertigo yang bisa kambuh di mana saja dan kapanpun. Matanya langsung menatap ke arah tengah lapangan yang isinya para cowok yang sedang saling menyalahkan dirinya satu sama lain. Fia marah. Perasaannya kesal sekali begitu melihat mereka tidak ada yang mau tanggung jawab untuk mengakui perbuatan siapa barusan.

"Ini gak ada yang mau ngaku?" teriak Nahda yang ikutan kesal seperti Fia. "Temen gue punya vertigo, loh. Sampe kayak gini gak ada yang mau tanggung jawab?" sambungnya.

"Da. OSIS. Kak Rayyan," ucap Sarah menyenggol lengan Nahda saat melihat salah satu dari gerombolan itu maju. Nahda menoleh ke arah Sarah dan berbalik ke depan sebelum akhirnya menyadari kalau ini ulah kakak kelasnya, Rayyan!

Cowok itu bertubuh tinggi dengan kaos hijau muda dan celana pendek jersey yang dikenakannya maju bersama salah satu temannya mendekati Laras. Bahkan ia tidak tau kalau yang tidak sengaja terkena senteran bolanya itu adalah adik kelasnya sendiri di sekolah. Rayyan mendekati Laras setelah mendapat persetujuan dari Nahda. Tangan hangatnya menyentuh pundak Laras yang sambil direngkuh Fia agar tidak jatuh.

"Namanya siapa?" Tanya cowok itu pada Fia.

"Laras," jawabnya singkat.

Ia menghela napas pelan. "Ras, sorry ya. Gue gak sengaja," ucapnya pelan di samping telinga Laras.

"Bacot. Ga punya mata lo, ya? Cupu juga bukannya langsung minta maaf malah harus dipaksa dulu," balas Laras pelan membuat rasa bersalah Rayyan semakin tinggi. "Iya sumpah, maaf," balas Rayyan memelas dan cowok itu menerima makian Laras barusan.

Tapi laras bergeming tidak membalas permintaan maaf cowok di belakangnya itu. Ia malah mendengus sebal, lalu mengangkat kepalanya dari tubuh Fia. Tangannya memegang kepalanya sambil meringis pelan dan selanjutnya langsung menatap sinis cowok itu di belakangnya. "Udah sana, lo. Gak usah lebay."

"Gue anter balik, mau?" tawar Rayyan berusaha bertanggung jawab.

"Gak," jawab Laras singkat dan langsung bangun dari duduknya seraya mengajak teman-temannya pergi menjauh dari lapangan agar bergegas ke rumahnya untuk melanjutkan istirahat.

"Bola lo masuk got, tuh!" ucap Laras sebelum akhirnya pergi meninggalkan cowok cupu itu dan seorang temannya yang berada di debelahnya.

Selama di perjalanan ia menahan sakit kepala yang menjalar begitu cepat. Untung sebelumnya sudah minum air, kalau belum sudah pasti ia pingsan saat itu juga. Ada baiknya juga ia "nyuri" es teh milik Fia. Walaupun karena rebutan es teh itu, kepalanya jadi kesenter bola basket sekeras dosa.

​"Ras, lo tau ga kalo itu kakak kelas kita?" Tanya Sarah sambil menyetarakan langkahnya dengan Laras, sedangkan cewek yang ditanya itu hanya menggeleng pelan sebagai jawaban dan langsung membuka ponselnya agar Sarah, cewek yang selalu nyerocos itu tidak berkelanjutan bicara soal 'kakak kelas' yang sama sekali tidak ia kenal.

​"Biasanya cinlok nih yang begini." Sarah nyerocos sambil terkekeh pelan, namun Fia membantahnya, "dia udah punya pacar tau kalo gak salah, tapi beda sekolah."

​"Ohiya? Yah, kecewa dong." Sarah mendengus kecewa dan mulai mundur agar langkahnya setara dengan Nahda yang hampir tertinggal di belakang.

————

Completely Empty UniverseWo Geschichten leben. Entdecke jetzt