Part 22

167 19 23
                                    

1409 KATA

"Makanan sudah datang," ucap Hakim membuka pintu, menginterupsi Lamya yang sedang melipat pakaiannya. Sejak kembali dari LA, Hakim rajin memesan makan dari luar. Selain karena tidak ada stok bahan makanan, ia juga terlalu malas untuk memasak.

"Iya, sebentar. Nanti aku turun." Jawaban Lamya membuat Hakim menghembuskan napas. Apalagi sembari melihat gadis itu memasukkan pakaiannya ke koper.

Laki-laki itu kemudian berjalan dan merebahkan punggungnya di sebelah pakaian istrinya. "Besok aku ada pertandingan. Tinggallah sehari lagi," ucapnya hendak menghentikan gerakan tangan Lamya dengan pakaian-pakaiannya ke koper. Hakim menyangga kepalanya dengan tangan agar tetap bisa mendongak.

Ini pertama kali dia meminta Lamya untuk menunda keberangkatannya ke Maroko. Selain ia khawatir akan bertemu Zahid lagi, di sisi lain Hakim mulai merasa nyaman dengan keberadaan Lamya di dekatnya. Ia jadi merasa bersalah jika harus meminta gadis itu untuk pulang ke London setiap akhir pekan. Penerbangan yang kurang lebih memakan waktu 4 jam bisa saja membuat gadis itu tambah lelah.

"Ya?" tanya Hakim karena Lamya tidak menjawabnya.

"Tidak sekarang. Tunggu jadwal libur nasional. Nanti aku pasti menontonmu di stadion, kok."

"Kalau aku tidak ada jadwal main?" ucapan Hakim berhasil meng-counter jawaban Lamya. Gadis itu pun hanya menghembuskan napasnya pelan.

"Ayolah," desak Hakim.

Dengan sekali gerakan, resleting koper tersebut sudah menuju ke ujung. Rapi dan rekat. Berbarengan dengan Lamya yang memindahkan koper, Hakim kemudian bangun dari posisi setengah tidurnya dan berkacak pinggang.

"Akan kupikirkan sambil makan. Ayo ke bawah,"

Hakim menahan tangan Lamya sebelum gadis itu berhasil melewatinya. Dengan tatapan mata dari bawah ke atas, ia menyuruh Lamya untuk berganti busana.

"Sebaiknya kau ganti pakaian. Ada Ibrahim di bawah."

Setelah kepalanya mengangguk, tangan lembut itu meninggalkan Hakim yang masih berdiri. Seolah masih terbius, pemuda itu menyenderkan punggungnya ke tembok sambil terus memperhatikan tungkai kaki istrinya yang kian menjauh.

"Aku nyusul. Tutup pintunya, Hakim."

Bukannya menuruti permintaan istrinya, Lamya malah mendapati Hakim melipat tangannya dan senyum-senyum sendiri.

"Apa? Kenapa?" tanya Lamya bingung.

Lamya layaknya magnet, dan Hakim adalah logam yang reflek tertarik menuju kutubnya. Pemuda itu melangkah mendekati Lamya, lalu mengajaknya berdiri di depan cermin.

Lamya langsung tersipu mendengar Hakim berbisik tepat di belakang telinganya. "Kau lucu pakai dress ini. Seperti anak umur dua belas ketika merayakan ulang tahun."

Gaun berwarna putih dengan corak bunga matahari itu memang lucu. Lengannya bermotif balon yang tak terlalu besar, panjangnya di bawah lutut dengan bagian leher yang cukup sopan. Manalagi ukurannya pas di tubuh Lamya. Yang membuatnya semakin lucu adalah keberadaan pita di pinggangnya yang Hakim pikir agak kebesaran.

"Tapi pitanya kebesaran."

Hakim lantas terkekeh karena ternyata Lamya memikirkan hal yang sama. Keduanya menatap cermin. Hakim menyunggingkan senyum ketika gadis yang mencuri segenap sensor matanya itu berusaha untuk tidak tersipu.

"Rambutmu masih basah." ucap Hakim kemudian tak sadar menyusupkan jemarinya;menyisir rambut istrinya.

"Mau kubawakan saja makanannya ke sini?" tambahnya lagi.

Hakim & LamyaWhere stories live. Discover now