Kantor Baru

13 0 0
                                    

Rasa kesalku dan amarah masih bercampur bahkan ketika bangun tidur. Untung hari ini Sabtu, aku masih punya waktu untuk istirahat.

Aku bangun tidur dengan mengecek kalender dan aplikasi les Bahasa Inggris: New York English. Ternyata ada satu kelas sore hari ini.

Saking fleksibelnya jadwal kelas itu, justru memicu keributan baru dengan ibu. Dipikirnya aku tidak menyiapkan atau book jadwal les. "Semua serba mendadak," katanya. "Direncanakan lah kakak," tambahnya. Padahal semua sudah ku rencanakan dan berusaha fleksibel agar aku tidak tertekan. Pekerjaan di kantor sudah nyaris membuatku menjadi orang lain dan kehilangan diri sendiri.

Aku mengecek kembali ponselku, apakah ada Whatsapp dari Bowo? Per kejadian tadi malam, sepertinya Bowo mulai jaga jarak denganku. Mulai dari gesturnya saat bertemu, nada berbicara, hingga ia mengantarku pun ke stasiun. Reaksinya juga dingin ketika aku mengungkit masalah rokok yang menurutnya adalah cara melepas stres dan rileks.

"Nay, sepertinya aku dikontak HRD kamu deh. Kita sekantor."

APA?? KOK BISA??

Nay, tarik napas Nay. Aku sudah mencoba jaga jarak dari Bowo pasca aku tahu dia pernah demen dengan Greg. Lalu aku juga mulai jaga jarak dengan Rara karena asumsiku yang ia bocorkan masalah Greg dan Bowo. Siapa lagi temanku di kantor? Rani, art director yang baru masuk sepertiku? Atau Dede, sahabat satu gengku? Padahal Dede kerja jauh sekali, di Jakarta Pusat sana. Mana mungkin terus ketemuan tiap hari.

"Aku tuh pulang mesti nunggu atasanku dulu, Nay. Nggak enak pulang duluan." Tipikal PNS sebuah kementerian, ehem, tepatnya di Kementerian Perempuan dan Anak.

"Kok gitu, De?" tanyaku heran. "Padahal kan wajar pulang duluan kalo kerjaan udah selese."

"Iya, aku nggak enak, Nay. Stand by gitu siapa tahu ada kenapa-napa."

Begitu obrolanku dengan Dede suatu hari.

Btw, Bowo kapan masuk kantor ODB?

"Senin besok, Nay. Kita sekantor. Oh iya aku bukan di ODB-nya ya, aku di kantor media agency."

Fyuh syukurlah!

"Oh iya, iya, aku tau kok. Tapi masih satu naungan manajemen kan, di atasnya ODB?"

"Yup, betul. Aku jadi analis media di sana. Ya, mungkin kita bakal papasan sesekali."

"Kok kamu tahu sih Wo? Ke kantor aku juga belum," protesku dengan nada gemas.

"Ku banyak nanya ke HRD-nya. Mbak Yana kan, namanya?"

Mulai saat itu, aku mengakui kehebatan Bowo mempengaruhi orang lain saat berelasi profesional.

"Kamu punya ekspektasi apa di kantor baru?" tanyaku. Kemudian beberapa menit kemudian, pesanku belum dibalas.

Sejam ku menunggu, juga masih belum ada. Mungkin dia tahu bahwa aku dan Bowo masih bertengkar pasif agresif, silent treatment, atau apa pun lah sejenisnya itu. Mulai dari masalah pulang malam, diantar dengan motor daripada naik KRL, hingga cerita masa lalu Bowo yang pernah dekat dengan Greg. Entah situasi sekarang rasanya panas dingin karena kami sama-sama pasif agresif.

Silent treatment dan sugar coat. Keduanya sama-sama sok baik-baik saja, tapi mengabaikan rasa tidak nyaman. Sekarang, Bowo satu kantor denganku? Orang dalam macam apa yang ia andalkan?

**

Bowo menulis pesan pendek-pendek ke Nayla via Whatsapp, berharap di-notice. Pertengkaran pasif agresif memang tidak nyaman. Apalagi untuk Bowo yang terbiasa manut dan terjepit di antara tiga perempuan di rumah: dua kakak, satu adik, plus ibu.

Bowo mengisap batang rokok kedua. Satu kotaknya masih tersisa 10 batang lagi, namun tidak segera habis karena ia tahu kontrol. Setelah itu, Bowo menelpon Nayla.

"Nay, bisa ngobrol bentar nggak?"

"Aku lagi rebahan hun, pengen tiduran. Besok minggu."

"Terus kenapa kalo minggu?"

"Pengen males-malesan lebih banyak. Aku butuh waktu sendiri."

"Jadi aku dibiarin?"

"Nggak sih. Maksudnya, kita udah sering bareng, boleh dong me time sesekali. Aku pengen evaluasi diri."

"Aku juga pengen dievaluasi, Nay."

"Tapi aku lagi mager. Kamu manutan. Dan aku juga nggak yakin apakah kamu masih straight atau nggak. Kepercayaanku mulai menipis."

"Aku udah berusaha komitmen dan aku benar-benar straight, Nay. Apa kamu perlu kamu...?"

Aku melonjak bangun dan ganti posisi jadi telungkup. Kaget sekaget-kagetnya!

"YA NGGAK GITU JUGA KALI WOY SANTAI AJA" teriakku panik dan Bowo malah tertawa.

"Oh iya, ibu gimana?"

"Ya gitu deh, waktu itu sempat dimarahin gara-gara pulang malem lagi. Capek coy."

Bowo berpikir keras bagaimana caranya agar hubungan Nay dan ibu tetap langgeng, agar ia bisa mendekati dan menikahi Nayla. 

[bersambung]

Seperti Berjalan dan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang