Ada Petir di Salemba

4 0 0
                                    

Waktu itu, Rara sempat bertemu Greg dan mereka putus. Bagaimana dengan Bowo dan Nayla? Tidak tertebak, karena mereka datang dari dua dimensi. Dua masa lalu yang berbeda.

Bowo melintasi McD Salemba Raya dengan motor Revo-nya. Ia tidak membonceng Nayla, atau siapa pun yang ia kenal. Ia hanya sendiri, berkeliling secara random, tanpa arah dan tujuan.

Tiba-tiba, ia melihat Greg bersama seorang perempuan muda, kira-kira tiga tahun di bawahnya.

Bowo memarkirkan motornya di McD Salemba, kemudian membuka pintu masuk. Ia memesan McFlurry dine in atau makan di tempat. Kemudian, ia menikmati tiap sendok es krim saus cokelat yang disajikan dalam gelas plastik.

"Enak, tapi rasanya sendiri," ujarnya.

Petir pun menyambar di Salemba. Melintaslah Greg dan Rara yang sedang bergandengan tangan. Mereka pikir mereka adalah pasangan, bukan? Seperti di episode sebelumnya, apa yang Greg lakukan adalah kedok, bukan ketulusan.

Bowo tersedak ketika memasukkan suapan terakhir es krim McFlurry. Ujung lidahnya tergigit, lalu terbatuk-batuk. Greg yang melintas sepertinya ingat suara batuk Bowo, yang waktu itu ia lakukan juga ketika Greg confess di sebuah warung pecel lele di Malang.

Greg nyaris menoleh, namun Bowo menunduk, masih mengurus sakitnya gigitan di ujung lidah. Kemudian sibuk mencari botol air mineral yang ia beli entah kapan.

Greg hampir mengenali belahan rambut Bowo, namun melupakannya.

Tiba-tiba terdengar bunyi suara pesan masuk di Whatsapp di ponsel Bowo. Ia membaca sekilas di pusat notifikasi ponsel, lalu membatin, Oh Nayla.

"Hun, nanti ku lembur lagi. Mau jemput nggak?"

Bowo mengabaikan pesan Nayla, dan masih sibuk mencari pereda sakitnya tergigit di ujung lidah.

**

Di lantai 35, aku masih sibuk terpaku menatap layar laptop, buntu mencari solusi atas copy yang berulang kali ditolak pengarah kreatif (creative director).

"Ini, copy-nya ngawur ini."

"Ah jangan yang ini, kurang tepat."

"Kamu itu tulisannya bagus-bagus, tapi terlalu detail." (ya terus maunya apa bwaangggg).

"Ini lagi bahas X, kamu malah Y," ujarnya sambil mengunyah sayap ayam berbumbu keju parmesan.

"Coba cari alternatif lain."

Aku masih membeku, hanya teringat pikiran-pikiran intrusif untuk keluar. Tiap pagi aku selalu self talk seperti jiwaku bukan di sini, seharusnya gue tuh udah menutup karir ini supaya bisa pindah ke media, mungkin gue terlalu detail daripada yang diasuh sebagai copywriter, duh ancur kan rencana-rencana gue, ini merusak Individual Development Plan (IDP) gue argghh, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kemudian aku mulai mengetik beberapa kata demi menyelesaikan pekerjaan. Sudah waktunya makan siang. Namun Bowo masih belum membalas pesanku. Mungkin ia sibuk, kataku.

Aku beranjak dari kursi dan memandang sejenak kaca besar di ujung meja creative director. Tampak menara berhantu Menara Saidah, Gedung Balai Sudirman, dan satu gedung tidak terurus hasil pembangunan salah satu pengembang yang lupa bayar pajak daerah. Tampak luar terlihat berkabut.

"Nay, makan Nay," ajak Liam, rekan timku.

"Iya Nay, lu telat makan mulu, ntar sakit," ujar Rara yang ternyata ia melintas di belakang kursiku.

Aku menoleh, "Oh iya ya, siaap. Mau jajan nggak?"

"Iya nih gue ke bawah. Mau ikut?" tanya Rara.

"Yok!" jawabku sambil mengobok-obok tas untuk mengambil dompet.

**

"Lo tau nggak sih Nay, gue tuh kan deket sama cowok, tapi dia gay dong setelah dia confess," buka Rara.

Aku kaget dan sedikit bengong. "Kok bisa? Udah lama kalian deket?"

"Udah sih, dijodohin juga, nyesek nggak tuh?"

"Iya sih. Dia, dia tuh selingkuh sama cowok gitu atau gimana?"

"I don't know but after he confessed, ternyata dia punya orientasi seksual yang udah lama dipendam gitu. Dan dia pernah suka sama temen se-Forum Muda apa gitu. Ada Indonesia-Indonesianya deh," jelas Rara.

"Hah, forum apa tuh? Gue taunya Forum Indonesia Muda sih, Ra. Itu beneran ada," responsku heran.

"Nggak tau sih, gue juga nggak pernah denger itu apaan. Ya intinya organisasi kepemudaan gitu deh."

"Terus lo mau gimana, Ra?" tanyaku sambil membawa cilok yang berhasil kudapatkan setelah antri.

"Ya cari cowok lagi sih. Konsekuensinya paling dinasehatin ortu doang," ujar Rara enteng.

Aku dan Rara bertolak ke gedung kantor. Tetap diam dalam pikiran masing-masing sambil membawa jajanan atau lauk yang dibeli. Kepalaku penuh pertanyaan. Di tengah hidup cepat di ibu kota, mengapa sulit untuk terbuka dan mengakui bahwa ada teman-teman nonbiner yang setara dengan teman-teman biner?

Oh ternyata aku lupa, ini negara "penuh warna", hanya ada petir di beberapa daerah untuk mewujudkan warna itu.

Aku beneran lupa, negara ini beragam, tapi tidak sepenuhnya punya pikiran atas konsep yang sama.

Suatu saat, aku akan tanya Bowo soal nonbiner ini. Siapa tau dia seru diajak diskusi.  

**

Seperti Berjalan dan PulangDonde viven las historias. Descúbrelo ahora