Micromanage

13 0 0
                                    

[Content Warning//CW]

[Trigger Warning//TW]

Satu pesan masuk di layar dari June, adikku.

"Nay, lu mending cepetan pulang dah. Ini ibu marah nungguin ngana pulang tengah malem terus."

Untung Bowo mengantarku sampai Stasiun Matraman, sehingga ku tidak perlu lagi repot menunggu KRL di Stasiun Manggarai. Sudahlah tangganya tidak rata, terlalu curam, berdesakan, tidak ada lapang-lapangnya sama sekali ketimbang di Stasiun Matraman.

Aku ingat Bowo bilang begini.

"Nay, maaf ya hari ini udah ngajak kamu ke bar."

"Loh, kenapa minta maaf?" tanyaku.

"A.. aku nggak biasa ke tempat itu," jujur Bowo. Lantas, aku tertawa. Bukan berarti aku biasa ke tempat itu, tapi, aku banyak cari tahu lantaran teman-teman di kantor sering bawa setengah lusin bir kalengan sebagai teman lembur. Lalu, curi dengar bar-bar yang mereka kunjungi pas menang pitching klien.

"Oh iya nggak apa-apa. Justru lebih baik kamu nggak tahu, biar coping mechanism kamu bukan lari ke alkohol."

"Iya, aku tahu."

"Tapi kamu merokok, sama aja," sambungku.

Bowo terdiam, motor ia gas makin kencang. Kebut-kebutan mengejar kereta ke Stasiun Matraman demi memotong waktu 30 menit, agar perjalanan ke Stasiun Bekasi bisa pas sampai kurang sejam.

Karena teringat itu, dengan mata sepet aku membaca pesan dari June, lalu membalasnya bahwa aku sebentar lagi sampai. Iya, ini sedang di Stasiun Cakung, paling menyebalkan karena banyak KRL tertahan.

Demi membunuh waktu, aku membaca buku hingga sampai di Stasiun Bekasi. Setelah sampai di stasiun tersebut, aku bergegas naik tangga, setengah berlari, dan buru-buru menuruni anak tangga, dan segera menghidupkan motor matik. Tidak lupa, kartu KRL yang tertempel di lanyard ODB aku keluarkan untuk mempermudah tap kartu bayar parkir motor.

Motor ku gas kencang dengan kecepatan 40-50 km/jam. Sengaja, supaya cepat sampai rumah walau aku tahu kondisi jalan jam setengah 12 masih ramai. Iya, masih ramai.

Sampai rumah, aku buru-buru mengunci pintu pagar, lalu cepat-cepat membuka pintu ruang tamu. Seketika aku melihat ibu duduk di sofa jati bersama adik, dengan wajah kusam dan menahan amarah.

"Jam berapa ini?" tanyanya. Aku diam.

"Tadi kakak cepet-cepet ke stasiun Matraman kok, ngebut. Dari Stasiun Bekasi juga ngebut." Kulihat sejenak jam di dapur dari kejauhan, sudah jam 00.30, ku lirik jam tanganku, masih jam 23.58.

"Sama siapa tadi? Naik apa?"

"Bowo bu, naik motor dari kantor ke Stasiun Matraman. Tadi sempat makan bareng juga," jawabku tenang. "Jalan masih rame kok bu, kena macet juga tadi di depan kantor jam 22.30."

"Iya jam segini masih rame tapi kan pulang malem. Apa nggak kepikiran nanti diomongin tetangga?"

"Ya kan kakak ada kegiatan bu, kakak di kantor capek, teman dikit. Masa kerja terus."

"TETEP PULANG MALAM KAKAK KAMU NGAPAIN AJA? BOHONG YA?"

Aku kaget. Lah, trust issue banget.

"Nggak kok bu, orang makan bareng biasa kok. Takut banget sih."

"Ya takutlah kakak. Nanti terulang kejadian dulu. Nggak dipikir panjang gitu loh."

"Mikir kok, tapi kakak tenang aja. Ibu doang pencemas." Wajahku sudah terlanjur bete karena lelah pulang tidak disambut. Masih syukur pulang dengan selamat. Bagaimana jika tinggal nama?

"Yang penting cepat pulang sampai sini."

"Besok jangan lagi pulang malam!!" teriak ibu.

"Nggak bisa bu, kakak kerja di agensi, lembur terus. Kalo mau pulang cepat, jadi PNS, guru atau polisi aja," ketusku.

Aku melengos pergi, membuang kaus kaki ke keranjang baju kotor, menaruh jaket di kursi meja makan, dan menaruh kunci motor di gantungan kunci. Melelahkan. Ku pikir karena ibu tidak sepertiku, pengetahuannya tentang perusahaan media dan periklanan terbatas. Namun kok lama-lama pemikiranku seperti mengadu domba perempuan yang tidak memiliki privilese sepertiku ya?

Sontak pikiran intrusifku muncul di kamar. Aku mengopek kulit ibu jari kaki, menggaruk jempol kaki yang sudah terlanjur merah akibat dermatitis. Aku menangis sambil mendengarkan siniar meditasi.

I forgive you. I forgive you. I let go. I let go.

Terngiang kalimat itu dan mengulanginya meski aku tidak sanggup dengan micromanage ibu di rumah ini. 

[bersambung]

Seperti Berjalan dan PulangWhere stories live. Discover now