33. Kebenaran yang Terungkap

Mulai dari awal
                                    

"Abhi pacar kamu dulu?" Mama memastikan, syok dengan kabar tersebut. "Tapi kenapa dia ngelakuin hal ini?"

Aku menarik napas, siap menceritakan kisah yang panjang. "Dia mau buktiin ke orang tuanya kalau papa gak bersalah. Mereka yang maksa dia putusin aku. Karena takut kasus ini akan menyeret Abhi, atau merusak nama baik keluarga mereka. Abhi terpaksa, tapi dia buat perjanjian, kalau papa terbukti gak bersalah, mereka harus kasih izin Abhi buat balikan lagi sama aku."

"Ya Tuhan, hatinya baik sekali, Nak. Dia benar-benar sayang dan rela berjuang demi kamu."

Mama benar, Abhi memang laki-laki baik hati. "Kalau Abhi beneran ngajak balikan, aku harus gimana, ya, Ma?"

"Kalau kamu sayang dia, kamu terima. Toh semuanya udah jelas. Abhi gak sejahat yang kamu pikirkan."

"Tapi aku udah terlanjur kesal sama dia. Masih gak bisa terima sama keputusan dia waktu itu yang buat aku semakin terpuruk, semakin dibenci. Dan sikapnya seolah ngebuktiin kalau aku emang pantas buat ditinggalin dan dijauhin. Aku benar-benar sendiri waktu itu, Ma. Bahkan aku sempat memutuskan buat--" Suaraku terhenti, nyaris mengatakan hal bodoh itu.

"Buat apa?"

Buat bunuh diri. "Buat menyerah, Ma. Aku benar-benar gak sanggup waktu itu."

Mama menarik napas panjang. Seraya mengusap lenganku ia berkata bijak, "Yasudah kalau kamu gak mau. Mama gak bakalan paksa. Tapi kalau ada kesempatan, tolong sampaikan terima kasih dari Mama. Karena buat ketemu sama Abhi gak bakalan mungkin lagi, 'kan?"

Karena fakta mengejutkan itu, seharian ini kepalaku hanya diisi oleh kalimat tanya dan berbagai pikiran aneh lainnya. Bahkan sampai pelanggan tetap ku datang untuk mengambil pesanan cupcake-nya di tempat biasa, barulah kekacauan itu berhenti sejenak.

"Makasih, ya, Pak. Semoga suka sama cupcake-nya."

Pria yang seumuran dengan Pak Karun itu tersenyum seraya mengambil barang dari tanganku. Memiliki gaya seperti seorang supir pribadi, Pak Ahmad--menunduk sopan dan tersenyum pelan sambil berlalu usai membayar lunas lengkap dengan uang lebih tanpa kembalian.

Beberapa minggu terakhir ini, Pak Ahmad menjadi pelanggan tetap paling favorit. Karena selalu membeli cupcake dalam jumlah banyak. Awalnya kupikir ini semua untuknya, tapi tidak. Kata Pak Ahmad, ini semua untuk bosnya. Seorang atasan Pak Ahmad yang tak pernah kulihat wajahnya.

Sejauh ini aku cukup penasaran tentang sosok tersebut. Dan sepertinya tidak masalah jika aku ingin bertemu dengan pelanggan baikku sesungguhnya. Maka dari itu, aku mengikuti Pak Ahmad menggunakan ojol yang saat itu berbelok ke arah Lawas Café.

Di antara kendaraan yang terparkir, aku memperhatikan Pak Ahmad yang turun dari mobil hitam sedang menelepon seseorang. Obrolannya cukup singkat, karena setelah itu, seseorang menghampirinya dan mengambil cupcake dengan wajah ceria. Pak Ahmad berlalu setelah tugas dinyatakan selesai oleh atasannya.

Dan ini adalah giliranku.

"Oh, jadi atasannya Pak Ahmad kamu?"

Laki-laki itu berbalik, terkejut dengan kehadiranku. "Arin? Kok bisa ada di sini?"

"Sebenarnya tujuan kamu apa, sih, Bhi? Diam-diam kirim Pak Ahmad buat beli cupcake aku?" Amarahku tersulut, memarahi Abhi di parkiran kafe sehingga beberapa orang mulai menyadarinya.

Abhi merasa risih, meraih lenganku dengan lembut. "Kita ngobrol di dalam aja, ya. Aku bakal jelasin semuanya ke kamu."

Lawas Café, tempat berkumpulnya anak muda sekaligus orang dewasa untuk melepaskan penat setelah seharian beraktivitas. Ruang yang instagramable, diceriakan oleh mural, dan dihangatkan oleh alunan musik yang terdengar indah. Sore ini, aku tak menyangka harus melewati pintu ini untuk mendengarkan Abhi berbicara.

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang