BAB 4 PART 1: Hujan yang Menghapus Bintang

69 18 2
                                    

Tahun lalu, tepat saat hari terakhir Masa Orientasi Siswa (MOS) SMA Siliwangi. Muka sumringah siswa baru begitu semangat menyambut penutupan MOS. Sebentar lagi, mereka resmi berseragam putih abu. Memulai fase kehidupan yang baru. Katanya, masa putih abu adalah masa yang paling menyenangkan. Di mana mereka akan mencari arti dari persahabatan dan cinta.

Sudah hampir seminggu para peserta MOS harus menelan teriakan cempreng dari kakak-kakak panitia yang so galak. Dalam hati mereka mencibir dan berulang mengujar kebencian. Terutama pada kakak panitia yang setiap pagi sudah nangkring di depan gerbang. Mengecek kelengkapan atribut peserta dari ujung atas sampai bawah. Jika tidak lengkap, jangan harap akan diberi kemudahan pada kegiatan MOS.

Azqeela memutuskan melanjutkan sekolah di SMA yang sama dengan Rassya. Rassya satu tingkat lebih atas darinya. Jadi Rassya sudah lebih dulu masuk SMA. Azqeela memang anak yang ceria, dia dapat dengan mudah menjadi perhatian sekelilingnya. Namun gadis itu misterius, penuh teka-teki, cenderung tertutup. Tak mau orang banyak tahu mengenai dirinya. Dengan ada Rassya, itu sudah cukup membuat dia merasa memiliki sahabat yang dapat memahami dirinya. Terlebih, Rassya dan Azqeela sudah bersahabat sejak SMP. Maka, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di SMA Siliwangi.

Sayang sekali Rassya tidak aktif dalam kegiatan OSIS. Apalagi memiliki niatan menjadi panitia MOS. Rassya memilih ekstrakulikuler mading, ekskul yang paling sepi peminat. Sekolah memiliki aturan, bahwa setiap siswa wajib mengikuti minimal 1 ekstrakulikuler. Jika aturan itu tidak berlaku, tentu Rassya memilih berleha-leha di rumah saja setelah pulang sekolah. Asyik bermain game atau membantu Ibu.

Sebelum penutupan MOS, seluruh anggota ekskul mempromosikan ekskulnya masing-masing di tengah lapangan. Sejak saat itu, Bintang mencuri perhatian para seluruh dedek emes. Ia tampil memukau dengan menunjukkan kemahirannya dalam bermain basket dan memetik gitar. Bintang menjadi buah bibir di setiap sudut sekolah. Ia tampan, berbakat, dan keren. Kriteria itu sudah cukup menempatkannya menjadi idola SMA Siliwangi.

Peserta MOS begitu antusias mengikuti kegiatan parade ekskul. Meski sejak matahari tepat di atas kepala, mereka tetap menikmati kegiatan itu. Apalagi saat Bintang hadir membawa kesejukan. Terik matahari tak menggoyahkan mata mereka untuk berkedip sedetik pun.

Beberapa ekskul masih menunggu giliran. Namun, parade ekskul harus terhenti karena cuaca tidak mendukung. Tepat pukul 2 siang, awan mendung menyelimuti. Para peserta dipersilakan masuk ke kelas masing-masing untuk melanjutkan kegiatan di dalam ruangan. Panitia menertibkan peserta berdasarkan kelompoknya.

Azqeela berada di kelompok paling terakhir. Kelompoknya masih berbaris di tengah lapangan menunggu giliran mereka tiba. Namun hujan lebih cepat mengguyur lapangan. Seluruh peserta MOS yang masih tersisa di lapangan berhamburan menyelamatkan diri. Panitia kewalahan menertibkan mereka. Tidak terprediksi hari itu akan turun hujan.

"Cepat-cepat! Lari!" teriak panitia meminta peserta berteduh ke sisi lapangan.

Namun tidak dengan Azqeela. Ia terdiam. Ia terguyur hujan yang setiap detik malah semakin deras. Name tag dari karton yang menutupi dadanya terlihat luntur. Tulisan namanya hampir tak terbaca.

Panitia berteriak memanggilnya, "Hey kamu! Cepat berteduh!"

Azqeela tidak memberi respons. Ia menunduk. Menatap ujung sepatunya. Kakinya bergetar. Otaknya memberi arahan untuk segera berlari, tetapi kakinya tak bisa diberi perintah. Begitu berat. Air hujan bagaikan lem yang membuat dia tak bisa berkutik.

Salah satu panitia datang menghampirinya. Membawakan payung, lalu mengajak Azqeela untuk berteduh.

"Dek, ayo ke pinggir lapangan. Hujannya semakin deras. Kamu sudah basah kuyup."

Di luar dugaan, Azqeela melempar payung itu. Ia berteriak seperti orang kesurupan. Panitia itu syok, tak menduga teriakan nyaring akan keluar dari peserta yang hendak ia payungi itu. Lalu ia lari terbirit-birit ke sisi lapangan, menghampiri panitia lain.

Seluruh mata yang menyaksikan keheranan. Mereka saling berasumsi. Mungkin Azqeela kesurupan atau dia sedang membuat drama agar panitia mendapatkan hukuman dari pihak sekolah.

Panitia tak mau menyerah begitu saja. Mau tidak mau, mereka harus melindungi peserta itu. Jika tidak, maka mereka akan terkena masalah besar. Satu persatu panitia mencoba membujuk Azqeela dengan berbagai upaya. Ketua OSIS sampai turun langsung menghampiri Azqeela dengan menudungkan jaket OSIS-nya. Namun semua itu sia-sia. Azqeela malah semakin menjadi-jadi.

Lemas menahan kakinya yang terus bergetar, ia perlahan mencoba duduk, meski genangan air sudah memenuhi seisi lapangan. Ia menekuk lututnya. Menunduk. Tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan selain menangis sambil merintih, "Aku benci hujan!"

***

Sementara itu, para panitia terus berpikir agar peserta yang ada di tengah lapangan itu mau dibawa ke luar lapangan. Mereka takut hal-hal terduga akan terjadi. Mungkin saja setelah ini gadis itu sakit dan malah menyalahkan panitia. Tentunya panitia yang akan mendapatkan teguran bahkan hukuman dari guru.

"Ini bocah kenapa sih? Kenapa gak bisa diatur?" teriak ketua pelaksana yang tak hentinya mondar-mandir di koridor.

"Masa iya dia kesurupan? Kita panggil Ustad aja nih?" usul salah satu panitia.

Kepanikan panitia membuat mereka tidak bisa berpikir jernih. Salah satu diantara mereka berkata, "Apa mungkin dia lagi akting biar kita semua sebagai panitia dapet hukuman? Sialan! Berani banget ya itu bocah ngibulin senior!"

Ketua OSIS berlari ke arah mereka. Ia baru saja membujuk gadis itu. Namun nihil, hanya teriakan yang ia peroleh.

"Gimana? Dia kenapa? Beneran kesurupan?" tanya ketua pelaksana.

Ketua OSIS melepaskan jaket yang sengaja ia balut di atas kepalanya. Sayangnya hujan turun begitu deras, tubuhnya basah kuyup. Jaketnya tak mampu menyeka air hujan.

"Ini peserta dari kelompok berapa? Panggil kakak pembimbingnya!" teriak Ketua OSIS.

Dari belakang, sang kakak pembimbing menghampiri, "Kelompok saya Kak, namanya Azqeela."

Ketua OSIS berkata, "Oke gini, tanya ke seluruh peserta, kali aja ada temen satu SMP-nya yang kenal bahkan deket sama Azqeela. Kali aja dia mau nurut kalau dibujuk sama orang yang dia kenal."

Salah satu panitia berkacamata yang bersandar pada salah satu tiang penyangga koridor berpikir sejenak. "Azqeela?" bisiknya dalam hati.

Ia teringat pada seseorang, mungkin saja seseorang yang melintas dalam benaknya itu mampu membujuk Azqeela.

"Kak, saya tahu orangnya! Saya tahu siapa yang mengenal Azqeela!"

Tanpa menunggu tanggapan dari panitia lain, dia langsung berlari mencari seseorang yang kenal baik dengan Azqeela. Untung saja dia teringat akan cerita temannya sebelum MOS. Temannya pernah bercerita bahwa ada sahabatnya yang menjadi salah satu peserta MOS. Mereka sudah berteman sejak SMP.

Mudah bagi Galuh untuk menemukan temannya. Kebetulan sekali hari itu memang jadwalnya parade ekskul, temannya itu menjadi salah satu anggota ekskul mading. Ekskul mading memiliki anggota yang bisa dihitung jari, maka semua anggota pasti mengikuti kegiatan ini. Galuh menuju aula, tempat anggota ekskul menunggu gilirannya untuk mempromosikan ekskul mereka masing-masing.

"Rassya! Rassya!" teriak Galuh mencari temannya.

Satu Aula kebingungan melihat salah satu panitia berteriak mencari Arrassya, anggota mading yang tidak pernah menjadi pusat perhatian.

Rassya sedang mempersiapkan mading yang akan ia pamerkan bersama teman-temannya. Mendengar Galuh berteriak menyebut namanya membuat ia sangat malu dan enggan menoleh. Ia memilih diam dan terus sibuk dengan madingnya, seolah-olah tak mendengarkan panggilan temannya itu. Padahal, mana mungkin Rassya tidak mendengarnya. Sefokus apapun dia saat ini, teriakan panik Galuh terdengar menggema.

Galuh dengan mudah menemukan Rassya. Tanpa membuang-buang waktu, Galuh langsung berkata, "Sya. Azqeela, yang lo ceritain itu. Kenal, 'kan?"

Bintang untuk Qeela (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang