BAB 2: Namanya Azqeela

115 29 8
                                    


Gadis mungil dengan rambut hitamnya yang panjang terurai. Kulitnya hitam manis dengan senyuman yang mudah terpancar. Dia adalah Azqeela. Gadis penuh ambisi untuk mengejar apa yang dia inginkan.

Meski keceriaan hampir mengisi hari-harinya. Namun di balik itu semua ada duka yang ia pendam. Ada tangis yang dia tahan setiap malam. Ada perih yang terasa di setiap matanya terpejam.

Ia tinggal berdua bersama Bunda. Bunda wanita super sibuk yang jarang bertanya, "Gimana sekolahnya Qeel? Lancar?" Setiap hari ia rindu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang umumnya dilontarkan seorang Ibu pada anak gadisnya.

Mereka memang tinggal satu atap. Tinggal di rumah yang layak, peninggalan dari Ayah. Namun Qeela dan Bunda nyaris tak pernah bertemu. Mereka hanya bertemu di akhir pekan. Itu pun tanpa ada suara, hanya keheningan.

Setelah Ayah meninggal, seperti ada perang dingin antara Bunda dan Azqeela. Alih-alih saling menguatkan, mereka malah saling menyalahkan atas kematian laki-laki yang mereka cintai.

Kehilangan Ayah seperti kehilangan separuh hidupnya. Azqeela begitu dekat dengan Ayahnya. Ayah adalah sosok serba bisa dan serba tahu. Ayah adalah bintang bagi Azqeela. Menerangi gelapnya malam tanpa perlu dipinta. Ayah Bintang, ya namanya adalah Bintang Sudrajat. Maka dari itu, Qeela sangat terobsesi dengan segala macam yang bernuansa Bintang, termasuk si ketua OSIS.

Dari ujung rambut sampai kepala, Azqeela hampir memiliki semua hal yang bergambar atau berbentuk bintang. Bando, jepitan, ikat rambut, gelang, kalung, anting, aksesoris, dan kaus kaki. Peralatan sekolahnya pun wajib bernuansa bintang. Buku tulis yang disampul kertas bercorak bintang, ransel yang dihiasi gantungan kunci berbentuk bintang, dan penghapus berbentuk bintang dengan warna yang berbeda-beda.

Azqeela ingin menjadi bintang dalam segala bidang. Ia belajar setiap hari. Mencoba berbagai bidang agar menonjol dalam segala hal. Bela diri, olahraga, seni, memasak, dan segudang bidang lainnya telah dia coba. Dia tipikal orang yang tidak mau kalah. Tak betah bila ada orang yang berhasil menyaingi dirinya.

Qeela sudah menunggu di parkiran. Bersandar pada vespa antik milik Rassya yang setiap hari terparkir di tempat yang sama. Sesekali melirik jam tangan berbentuk bintang yang melekat di pergelangan tangan kanannya.

"Lama banget nih si Rassya!" keluh Qeela.

Selang beberapa menit, terlihat Rassya memasuki area parkiran bersama Galuh.

"Tuh, cewek lo udah nungguin!" tunjuk Galuh pada Azqeela yang sedang mengibas-ngibas rambutnya karena kepanasan.

"Gue duluan ya! Sukses Bro buat rapat OSIS-nya nanti sore!" pamit Rassya.

Rassya langsung melangkah ke arah motornya, begitu pula dengan Galuh.

Dari kejauhan, Rassya sudah disambut dengan muka cemberut yang nampak pada wajah Azqeela. Azqeela si Ratu Ngomel sebentar lagi akan mendaratkan keluhan tepat di kedua telinga Rassya.

"Lama banget sih! Gue udah nungguin setengah jam di sini. Kepanasan, gerah. Pegel lagi berdiri mulu."

Rassya si bermuka datar hanya menjawab, "Sorry, tadi ke kelas Galuh dulu ada perlu."

"Lama-lama kayanya kalian pacaran deh," sahut Qeela asal.

"Dih, emangnya gue kagak normal?"

"Emangnya lo pernah pacaran? Pernah jatuh cinta? Enggak, 'kan?" ledek Qeela.

Rassya geleng-geleng kepala, keheranan dengan simpulan Azqeela terhadapnya. Tak mau memperpanjang perdebatan yang mungkin saja tidak akan ada akhirnya, Rassya menyiapkan motornya.

Bintang untuk Qeela (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang