[0.2] The Truth

49 9 0
                                    

Angin berhembus lembut menghampiri Juna, malam itu suasana sangat sunyi diiringi bulan purnama yang sangat indah. Lelaki berparas tampan tersebut berdiam diri di teras rumah, didampingi secangkir teh sembari memandangi langit malam.

Siulan merdu menghiasi suasana, ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri pohon jambu. Daun jambu memiliki aroma yang khas, hal ini membuat Juna merasa lebih rileks.

Kesunyian malam menghantarkan sesuatu yang diluar dugaan, suara langkah kaki terdengar mendekati rumahnya. Sesosok pria berseragam mendekati Juna, ia menunjukan kartu Identitas dirinya.

"Baik, selamat malam saya dari pihak kepolisian atas pernyataan gugatan oleh pihak tertentu, kami menghimbau kepada bapak Ardan untuk segera menghadap ke pengadilan." Ucap seorang polisi yang datang ke rumah Juna malam itu.

"Ya terus?" Juna menatapnya dengan risih, mimik wajahnya sangat mewakili.

"Maaf mas, apakah pak Ardan ada ataukah sedang tidak ada?"

"Kamu nanyeak? Kamu bertanya-tanya? Ya tanya aja lu sono!"

"Saya tidak ada waktu, ada beberapa saksi mata yang menyatakan bahwa ayah anda telah melakukan pembunuhan berencana pada seorang direktur."

"Hah? Pem,-" Ucapan Juna terpotong, suara gemuruh dari senjata api membuat para burung berterbangan.

Polisi yang bertubuh gagah itu diam tak berkutik, pandangannya perlahan memudar. Tubuh yang bersimbah darah kini terjatuh ke permukaan tanah, detak jantung yang melemah telah merenggut nyawa polisi tersebut.

Darah yang berserakan dimana-mana membuatnya tidak bisa berkata apa-apa, tatapannya telah dipenuhi rasa takut yang mendalam. Dengan sedikit cipratan darah pada wajahnya, Juna menatap pria yang sangat tidak asing bagi dirinya. Sesosok ayah kini berdiri dihadapan anak semata wayangnya, senyuman manis dari wajah lelahnya telah meluluhkan hati Juna.

Pistol yang berada pada genggaman tangan ayahnya masih dipenuhi oleh asap, dengan perlahan ia mengarahkan pistol pada kepalanya sendiri dan mengucapkan satu kalimat pada Juna.

"Selamat tinggal nak."

Peluru menembus kepala ayahnya, badannya yang terkapar di atas tanah membuat hati Juna terluka.

Sayatan itu mematikan pikiran Juna, air mata yang mulai membendung di kelopak matanya mulai mengalir keluar. Kedua kaki terasa sangat lemas ditambah tangan yang bergetar tidak dapat dikendalikan, seketika ia menjatuhkan dirinya dan terus menutupi telinganya sembari berteriak tidak karuan.

Suara tangisan terdengar dimana-mana, ia terus memanggil satu nama yaitu 'AYAH', dadanya terasa sangat sesak oleh kenyataan yang menimpanya malam itu.

Setelah pemakaman ayahnya, Juna tidak berani untuk keluar rumah dan terus mengunci diri dalam kamar. Selain itu, beredar rumor bahwa kematian pak Ardan disebabkan oleh kecurigaan direktur terhadapnya bahwa Juna ialah anak haram dan inilah yang menyebabkan pak Ardan membunuh direktur tersebut.

Juna menatapi foto ayahnya, rasanya seperti telah kehilangan separuh nyawa dari kehidupan dirinya. Kondisi kamar yang berantakan menunjukan betapa malangnya pemuda itu, rambut tidak tertata bahkan baju tidak pernah diganti. Pikiran Juna sangat penuh oleh ocehan para manusia, terutama terkait tuduhan tersebut.

Hari demi hari telah berlalu, namun ia masih berdiam diri di dalam kamar entah sampai kapan. Melihat teman-temannya yang berangkat sekolah membuatnya terbawa emosi, ia melemparkan barang pada dinding hingga hancur. Meski begitu masa depan tetap harus diperhatikan, apapun yang akan terjadi di sekolah nanti akan ia jalani.

"Yo yo yo anak haram!"

"Waw ada nyali juga ya, bisa-bisanya nih sekolah kedatangan anak haram."

"Apapun itu-" Salah seorang teman menunjukan senyuman sinis, mereka mulai mendatangi Juna.

"Hey kita turut bersuka cita, ups sorry maksudnya berduka cita."

Juna mengabaikan ketiga orang itu dan menatapnya dengan dingin, ketika dirinya hendak beranjak pergi tiba-tiba salah seorang temannya tadi menarik bahu Juna.

"Oya oya lu mau kemana?"

Tanpa sepatah kata'pun pukulan tangan Juna telah melayang tepat pada muka teman itu, darah mulai mengalir dari hidungnya.

Si Raja hutan tidak terima dengan pukulan Juna, tanpa basa-basi dirinya menyuruh kedua temannya untuk menahan Juna.

"Lu jangan ngerasa sok jago ya, sekarang lu itu bawahan kita dasar Curut!" Raja hutan telah memulai semuanya dengan memberikan beberapa pukulan pada perut Juna.

Juna meringkuk di lantai meski ia tidak bisa merasakan sakit namun pukulan tersebut membuatnya sesak napas dan kehilangan kesadaran, teman-temannya yang lain sama sekali tidak peduli karena takut dengan si Raja hutan.

Bel berbunyi menandakan waktu pulang, semua orang pergi meninggalkan Juna yang masih tergeletak di lantai. Perlahan dia mulai bangun dan memeriksa perutnya yang sudah penuh dengan lebam, ia tidak memedulikan luka pada perutnya karena dirinya tidak merasakan sakit sama sekali.

Juna memiliki geng motor, namun akhir-akhir ini ia mulai menjauh dari gengnya dan tentu saja hal tersebut menaruh kecurigaan bagi geng tersebut. Di perjalanan pulang, Juna menyempatkan diri untuk menemui geng motornya yang terletak tidak terlalu jauh dari sekolah.

Sesampainya di markas ia disambut oleh ketua geng dan para bawahannya, tempat yang gelap serta lembap membuat suasana menjadi mencekam.

Di saat itu juga Juna mengajukan permohonan undur diri dari geng motor, namun mereka sama sekali tidak bergeming bahkan tatapan mereka seperti singa yang sedang berburu.

Ketua geng motor menyimpan handphonenya dan memerhatikan kondisi tubuh Juna, ia menunjukan sedikit senyuman tipis yang membuat bulu kuduk merinding. Sang ketua terkenal dengan sifat kulkasnya, jikalau ia tersenyum berarti sesuatu yang lebih buruk akan segera terjadi. Perlahan sang ketua berjalan mendekatinya dengan tangan yang membawa kayu penuh paku, ia berbisik tepat di telinga Juna.

"Gue udah biasa bunuh orang."

Ucapan itu seolah-olah langsung menusuk dadanya, jantungnya berdetak sangat cepat ditambah tatapan Ketua geng tersebut membuatnya seakan ingin mati, kakinya menjadi lemas hingga ia tersungkur ke tanah.

Dengan rasa takut yang menyerang, Juna berusaha untuk menjauh dari ketua geng dan berlari sejauh mungkin. Senyuman ketua geng tadi adalah pertanda bahwa permainan akan segera dimulai, satu-satunya cara untuk menang dalam permainan ini hanyalah MEMBUNUH atau DIBUNUH.

'Juna?' geming salah seorang yang tidak sengaja melewati tempat itu.






Note :

Kalo kalian mau liat teaser CLOSER bisa dilihat di ig kita ya...
Name ig : roofless_h0use

CLOSER | TXTWhere stories live. Discover now