Pada usia tujuh belas, Rayyan melepas itu semua.

Kehidupan Rayyan berputar seratus delapan puluh derajat setelah seluruh aset perusahaan Ayah terancam dibekukan. Bermula dari Ayah dituduh menggelapkan uang nasabah ratusan miliar.

Rayyan tak bisa menyebut "tapi bohong" lagi.

Kalau kamu tanya Rayyan pada usia tiga puluh, ia menjawab lupa apa saja yang terjadi. Terlalu suram masa-masa itu. Rayyan membentuk mekanisme pertahanan diri untuk kabur dari kenyataan. Kabur saat ditanyai teman-teman. Kabur dari siaran televisi yang memberitakan perusahaan ayahnya. Kabur dari wajah-wajah yang mengejek. Kabur dari ... semua.

Sedikit yang ia ingat, Rayyan akhirnya putus sekolah. Ibu tirinya (istri ketiga Ayah), pergi dari rumah, tak kuat dengan Ayah yang depresi dan mengancam ingin gantung leher pakai dasi di laci-lacinya. Aset keluarga dilepas satu per satu. Mobil-mobil dijual. Rumah-rumah dijual. Alat home gym dijual. Gitar dijual. Dasi-dasi juga mungkin dijual.

Tak lama Ayah masuk penjara. Tak lama setelah masuk penjara, Ayah meninggal. Orang-orang bilang meninggal karena sakit jantung, tetapi Rayyan merasa ayahnya bunuh diri. Barangkali Ayah membawa sebuah dasi ke dalam sel dan mencekik diri sendiri.

Harta peninggalan orang tua habis tak bersisa, Rayyan kembali ke Medan, ke sanak saudara yang masih berbaik hati mau menampung meski selama ini hubungan keluarga tak baik. Omnya, pria baik dan tegas, bekerja sebagai pemborong. Rayyan tak bisa sekadar numpang tinggal, harus cari makan sendiri. Apa saja pekerjaan yang ada Rayyan ambil, yang penting halal. Dari jadi sopir sudako, buruh angkut durian, kuli bangunan untuk proyek konstruksi omnya. Ijazah SMP tak mudah mendapat pekerjaan. Modal Rayyan hanya kebugaran.

Tak ada lagi yang mengenalinya sebagai Rayyan Nareswara si cowok populer yang selalu pakai dasi di sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tak ada lagi yang mengenalinya sebagai Rayyan Nareswara si cowok populer yang selalu pakai dasi di sekolah. Kalau dulu dipanggil "Ra", sekarang dia dipanggil "Bang Nar". Kulitnya yang semula putih kini cokelat terpanggang matahari. Otot dada dan perut yang dulu diolah alat home gym sekarang kering alami karena mengeruk semen pasir. Wajah selalu mengilat oleh peluh di bawah terik. Makan nasi cukup ditabur garam, syukur-syukur dapat bayam liar. Kadang upah disikat mandor.

Setelah omnya tutup usia karena penyakit batu ginjal, Rayyan pergi dari rumah, ikut teman bekerja jadi buruh bongkar muat di Pelabuhan Belawan. Dari pelabuhan, Rayyan merantau ke Jakarta. Sempat beberapa bulan jadi tukang galon keliling, lalu berakhir di basemen pasar pagi sebagai kuli panggul. Upahnya kira-kira lima ribu hingga sepuluh ribu sekali angkat. Untungnya tak perlu repot mencari kos-kosan, Rayyan bisa tidur di kursi yang dideretkan di pojok pasar atau lantai basemen beralaskan kardus. Lumayan. Di sini ada Pak Heru, kuli panggul paling senior, sangat baik hati berbagi lauk gorengan dengan Rayyan. Pak Heru dari Subang, usia hampir delapan puluh, sebatang kara. Puluhan tahun ia bekerja di pasar pagi. Kisahnya haru, tetapi tak pernah mengeluh. Rayyan menyayangi Pak Heru lebih dari ayahnya sendiri.

Sampai tahun 2020, Pak Heru terkena COVID pertama kali. Rayyan melihat pria itu berjuang untuk hidup, lalu akhirnya menutup mata. Rayyan sendiri nyaris mati. Mati bukan karena ikut terserang virus, tetapi karena sulit dapat kerja. Minggu-minggu PPKM semua toko tutup. Rayyan berhenti jadi kuli pasar, kembali mengantar galon dari kompleks ke kompleks dan dipaksa mandi semprotan disinfektan sampai kuyup.

Tampan Berdasi (MxM)Where stories live. Discover now