Chapter 5

49 10 64
                                    

Kebiasaanku yang tidak terlalu memperhatikan wajah pria termasuk Pak Keenan, ternyata membuat aku tidak bisa menemukan kemiripan antara dia dengan Kak Rayyan. Padahal jika semenit saja aku memperhatikan wajah Pak Keenan aku sudah bisa langsung menyimpulkan jika dia dan Kak Rayyan bersaudara.

Sebenarnya, bukan karena aku tidak tertarik pada kaum Adam, hanya saja aku sedang berusaha menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia dengan menjalankan beberapa hakikat wanita yang masih dapat aku lakukan. Walau tidak seistiqamah wanita muslimah di luaran sana. Selain itu ingin menjaga hati juga karena saat ini aku sudah memiliki calon suami yang harus aku hargai.

"Karena ternyata feeting-nya agak lama dan waktu makan siang kita terelewat. Bagaimana, kalau sebelum pulang kita makan bareng dulu, di resto yang tidak jauh dari butik ini? Kamu juga pasti belum makan kan, Malika?"

Aku sontak menatap ke arah Tante Zahra saat mendengar pertanyannya. Tebakan Tante Zahra memang benar, hari ini belum ada nasi yang masuk ke dalam perutku, karena tadi pagi aku hanya makan salad lalu disibukkan dengan data-data murid di sekolah yang harus aku rekap.

"Bisa banget, tuh, Tan. Aku juga udah lapar banget, tadi nggak sempat makan sama Mas Bian karena buru-buru ke sini."

Aku menggeleng pelan mendengar ucapan Aurel barusan. Tidak heran lagi jika Aurel tidak jaim sama sekali, di depan siapa pun itu. Karena dia memegang prinsip 'ngapain jaim di depan orang-orang, kalau dia suka sama aku ya alhamdulillah, kalau nggak suka ya terserah dia. Aku juga nggak mau paksa orang untuk suka sama aku' itu yang selalu dia katakan jika dulu aku suka menegurnya.

"Ya sudah kita langsung berangkat sekarang. Bagaimana?" Aku menatap Tante Zahra, lalu yang lainnya satu per satu.

"Ya sudah ayo."

Akhirnya kami pun berjalan keluar dari butik setelah sebelumnya kita mengucapkan terima kasih dan pamitan pada pemilik butik dan juga karyawan yang tadinya membantu aku dan Kak Rayyan melakukan feeting baju.

"Tante, ini aku sama Kak Malika nebeng di mana? Aku nggak bawa mobil dan Kak Malika juga pasti nggak bawa karena dia belum ada SIM."

"Yang bener aja. Masa dia sudah sedewasa ini belum ada SIM?"

Aku sontak menatap Pak Keenan setelah mendengar ucapannya barusan. "Maaf, Pak. Lebih tepatnya saya tidak bisa mengemudi, jadi tidak punya SIM."

Pak Keenan tampak mengangguk beberapa kali. "Betewe, saya tidak setua itu dan belum jadi bapak-bapak. So, stop call me sir!"

"Keenan. Just call me Keenan," lanjut Pak Keenan lagi seolah bisa membaca raut wajahku yang sempat bingung ingin memanggilnya apa agar terdengar cocok.

"Oke." Hanya itu yang bisa aku katakan.

"Kita berangkat sekarang. Malika sama Aurel bareng saya. Mama bareng Keenan." Aku hanya mengangguk saja setelah mendengar ucapan Kak Rayyan.

"Mentang-mentang bulan depan mau nikah, nggak mau jauh, ya dari calon istrinya." Ucapan Keenan seperti ejekan yang dibercandakan. Namun Kak Rayyan tetap saja Kak Rayyan, yang tidak menanggapi ejekan Keenan sama sekali. Dia justru menyuruhku dan Aurel untuk mengikutinya ke mobil.

"Anak mama itu kayaknya mau simulasi jadi suami yang baik."

"Biarin dong. Kan memang bentar lagi kakakmu itu jadi suaminya Malika. Kamu bagaimana? Sering nongkrong, jalan-jalan tapi nggak ada gandengan."

"Aku? Tenang aja, Mi. Aku bakalan cariin Mamu calon mantu yang soleha kayak Malika."

Percakapan itu masih sempat aku dengar. Kalau Kak Rayyan dan Aurel aku tidak yakin mereka mendengarnya, karena mereka jalan di depanku sambil mengobrol. Lebih tepatnya Aurel yang terus saja bertanya, sementara Kak Rayyan hanya menggapi sekenannya.

Life Partner (ON GOING)Where stories live. Discover now