Chapter 4f

39 13 70
                                    

"Kak Malikaaa!"

Teriakan bersamaan suara pintu yang dibuka secara kasar membuat aku mengalihkan tatapan dari beberapa baju yang digantung di dalam lemari. Tentu saja pelaku yang baru saja meneriaki namaku adalah Aurel.

"Apa, sih? Kamu kan bisa buka pintunya pelan-pelan, Rel. Kalau pintu kamar kakak rusak bagaimana?"

"Ya diperbaiki lah. Tapi ada yang lebih penting lagi daripada kalau pintu Kakak rusak!"

"Kakak ada di depan kamu, Aurel. Jadi kamu tidak perlu berteriak seperti itu. Astagfirullah ...."

"Maaf, Kak." Aurel menunjukkan cengirannya sambil menaikkan kedua jarinya.

"Jadi, ada apa sebenarnya?"

"Aku udah nemuin akun instagram adiknya Kak Rayyan!" Aurel benar-benar se-hetic itu tentang adiknya Kak Rayyan. Memangnya apa hubungannya aku sama adiknya Kak Rayyan, sampai-sampai Aurel harus melapor padaku seperti ini?

"Dan Kakak tahu. Ternyata adiknya Kak Rayyan seorang pilot. Wuaahh keren banget!" Aurel bertepuk tangan heboh dengan wajah yang terlihat sangat bahagia.

"Kamu teriak-teriak dan hampir merusak pintu kakak cuman karena mau kasih tahu itu?" Raut wajah Aurel perlahan berubah, aku tahu dia sedang kesal lantaran tidak merespon apa pun informasi yang baru saja dia kasih tahu ke aku.

"Kak Malika ngesellin deh. Nggak ngehargain aku banget. Kakak nggak tahu kan kalau semalam aku tidur jam 3 cuman karena berusaha nemuin akun sosmed adiknya Kak Rayyan? Tapi bukannya naggapin informasi yang aku kasih, Kak Malika justru nanya kayak gitu. Padahal aku juga mau kalau Kakak tahu muka adiknya Kak Rayyan itu kayak gimana? Karena waktu di kafe kemarin Kakak nggak ketemu sama dia."

Aku menghela napas kasar. "Kamu bicara seperti itu seolah-olah kalau aku yang nyuruh kamu cari akun sosmed adiknya Kak Rayyan, padahal tidak sama sekali. Dan tanpa kamu kasih lihat sekarang, kakak juga pasti akan tahu adiknya Kak Rayyan."

"Ya, tapi kan setidaknya Kak Malika ngehargain usaha aku. Aku ...."

"Loh ini ada apa? Kenapa kalian berdebat?"

Suara itu milik bunda. Bunda menghampiri kami lalu menatap aku dan Aurel secara bergantian.

"Tidak ada yang mau jawab bunda?" Bunda kembali bersuara saat aku dan Aurel memutuskan untuk bungkam.

Atensiku beralih menatap Aurel bertepatan setelah dia menghela napas panjang. "Biasa, Bunda. Ini cuma masalah sepele. Tadi waktu masuk ke kamar Kak Malika aku teriak-teriak manggil namanya, terus aku juga nggak sengaja ngebanting pintu kamar Kak Malika." Aurel menatapku sambil tersenyum, tapi aku sangat yakin jika itu hanya topeng agar bunda tidak bertanya lebih dalam lagi.

Walau bibirnya tersenyum seperti itu, tapi matanya tidak sinkron dengan sunggingan senyum yang bibirnya tunjukkan. Karena aku bisa melihat dan yakin jika Aurel masih kesal kepadaku.

"Bunda pikir kalian ada masalah serius."

"Nggak dong, Bunda. Biasalah, Bun percekcokan antara saudara kan memang biasa terjadi. Jadi, bukan masalah besar."

"Bunda, ada apa ke kamar aku?" Pasti ada sesuatu sampai Bunda ke sini. Aku juga tidak yakin jika bunda ke sini karena mendengar perdebatan aku dengan Aurel tadi.

"Itu, bunda mau kasih tahu. Barusan Mbak Zahra telepon bunda. Katanya dia akan ke butik habis zuhur nanti, karena sekarang Rayyan ada urusan mendadak."

Ah, aku mengangguk paham. Awalnya memang kami janjian bertemu di butik sekitar jam sepuluh-an. Tapi karena Kak Rayyan ada urusan, akhirnya diundur.

Life Partner (ON GOING)Where stories live. Discover now