01 - HERE I COME, NEW YORK

28.8K 1K 0
                                    

01 – HERE I COME, NEW YORK

01 – HERE I COME, NEW YORK

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

MATAHARI MASIH terlihat samar ketika pesawat yang ditumpangi Vannesya mendarat sempurna di Bandara International John F. Kennedy. Ia tersenyum kecil ketika awak pesawat mulai membuka pintu, dan satu per satu penumpang mulai keluar. Tidak ada senyum yang benar-benar membuatnya bahagia ketika pesawat mulai lepas landas dari Indonesia dan mendarat mulus di New York. 

Benar sekali—New York. Mari kita ulangi—NEW YORK. New York, bukan LA seperti rencana awal ayahnya. Entah kekuasaan dari mana yang membuat ayahnya mampu merubah rencana hanya dalam semalam. Dari awalnya Los Angeles, berubah menjadi New York.  Setelah mendapat telepon mendadak dari Valetta Morris—kakaknya yang berprofesi sebagai model—mengatakan kalau dia harus segera pindah ke New York.

Vannesya sepenuhnya tidak tahu—atau lebih tepatnya tidak mau tahu kenapa kakaknya harus pindah secara mendadak. Yang jelas, Vannesya merasa sangat kesal dengan pemindahan mendadak kakaknya ini.
Vannesya bukannya membenci kota besar tersebut, hanya saja ada hal yang membuatnya tidak suka dengan salah satu kota di Amerika ini. Karena di dalamnya tinggal spesies manusia seperti ayahnya—yang memiliki kemampuan setara dengan ayahnya dalam hal memerintah.

Satu pemikiran yang muncul di kepala Vannesya, kalau kakaknya tiba-tiba harus pindah ke negara lain lagi—Paris misalnya, apa ia harus diawasi oleh orang tua itu selama ia ada di New York?

Oh tidak! Vannesya lebih baik ikut pindah bersama Valetta. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, karena ayahnya pasti akan langsung melarang. Orang tua itu sangat tidak suka dibantah, dan Vannesya membencinya.

Dua puluh satu—atau lebih tepatnya dua puluh dua jam kemudian setelah waktu tempuh perjalanan, Vannesya membuang napas lengang melihat koper berwarna biru tua miliknya lewat di conveyor. Ia bukan orang yang baru pertama kali melakukan perjalanan ke negara lain, jadi untuk urusan bandara—misalnya imigrasi, Vannesya tidak mempunyai kendala.

Mengambil koper biru yang berukuran cukup besar, wanita muda berusia tujuh belas tahun itu berjalan menuju pintu keluar. Merapatkan mantelnya karena udara pagi yang cukup dingin, getaran dari Versace shoulder bag-nya membuat Vannesya berhenti melangkah.

“Kakak nggak bisa jemput kamu di bandara, Sya. Di depan nanti ada orang yang bawa kertas yang ada nama kamu. Kamu pulang sama dia, ya. Nggak usah khawatir, dia udah jadi sopir pribadi Kakak di sini.”

Menurunkan kembali ponsel dari telinga, Vannesya membuang napas malas. Kakak cantiknya yang selalu to the point ini, seenaknya langsung berkata tanpa alasan. Padahal dia tahu kalau adiknya ini malas berurusan dengan orang baru, atau yang baru dikenalnya.

ENVELOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang