9. Emilos, Tim Terakhir

6K 958 25
                                    

Saat ini, siswa baru berkumpul di aula yang sangat besar. Daya tampungnya sekitar tiga ribu orang. Aula dengan aksen warna merah dan gold itu terlihat mewah dengan panggung yang menjadi tontonan utama.

Di atas panggung terdapat beberapa meja sebagai tempat duduk guru yang berwenang. Dan ditengahnya, kursi paling tinggi dan berbeda itu untuk pemimpin akademi.

"Emil, duduklah disebelahku!" Ravael berucap semangat pada Emil yang baru saja datang. Emil mengagguk dan duduk disebelah kanan Ravael.

"Hehe, terimakasih" Mata Ravael terpejam menikmati suasana mereka.

"Ah? Emilos?" Grant berucap kala tempat duduk di belakangnya sedikit ramai. Dan saat menoleh ke belakang, malah wajah Emilos terpampang di depannya.

Ravael yang mendengarkannya sontak menatap sinis cucu bungsu Guntama itu.

Siapa sih yang tak kenal Grant Guntama? Dia adalah sosok manis yang memiliki sifat iblis. Sangat tidak enak di pandang, begitu pikir Ravael.

"Emil, kau kenal dengan orang ini?" Tanya Ravael yng di jawab gelengan dari Emil. Ia seperti pernah melihat makhluk ini ... tapi dimana ia melihatnya?

Grant yang mendengar aksi Emil sontak memelototkan matanya. Ia tak percaya bahwa orang pendiam di hadapannya ini melupakan wajah imutnya.

Ravael menahan tawanya kala melihat ekspresi yang dikeluarkan Grant. "Kau tidak mengenalnya? Berarti dia sok akrab denganmu" Panasnya.

Emil dengn tampang biasanya hanya mengangguk menatap Ravael. Ia beralih pada Grant yang sudah duduk dan tak terlihat mukanya lagi. Alisnya terangkat satu karena itu.

"Omong-omong Emil, kau kemana saat kemarin diberi jam bebas?" Ravael kemarin sempat mencari Emil karena ingin mengajaknya untuk pergi ke pusat kota.

Emilos membuka mulutnya berniat bersuara. Ravael yang melihatnya menatapnya dengan seksama "Baik. Apakah sudah semuanya masuk ke dalam aula?" Emil yang kaget langsung menatap ke depan.

Ravael berdecak kesal ketika mendengar pembawa acara itu bersuara.

"Tolong tutup pintunya" Sang penjaga menutup pintu yang sangat besar itu.

Setelahnya, mereka menatap penuh pada wanita yang menjadi pembawa acara itu. Emil sedikit terkejut karena tadi salah mengenali siswi tahun ketiga yang menjadi pembawa acara.

Karena itu adalah Talia, kakaknya.

Dia menjadi sekretaris Inchola periode tahun sebelumnya. Yang mana jabatannya akan berakhir sebentar lagi. Dirinya menjadi pengurus bersamaan dengan wakil ketuanya, Calvin.

Talia adalah kandidat nomor satu dulu. Dirinya yang tidak terpilih, di angkat menjadi sekretaris Inchola. Calvin yang saat itu ditahun ketiga dan Talia tahun kedua.

Pemilihan ketua Inchola memiliki beberapa aturan.

Pihak akademi hanya menyiapkan tiga kandidat, jadi hanya pasangan nomor satu, dua, dan tiga yang ada. Mereka yang mengajukan diri akan dites secara pemikiran dan tingkatan kekuatan.

Ketua boleh menjabat selama tiga tahun tergantung cara kinerjanya.

Siswa maupun siswi ditahun berapapun diperbolehkan untuk mendaftar. Dengan kata lain, pemilihan ini bersifat terbuka.

Murid lain akan memilih kandidat dengan sistem terbuka. Jadi misal Emil memilih pasangan nomor satu, maka akan ketara.

Omong-omong pemilihan, pemilihan itu akan dilaksanakan dua minggu lagi.

Akan sangat membingungkan karena ini masih part pengenalan tokoh. Jujur saja kami bingung ingin membuat calon ketua Inchola siapa saja. Tolong beri kami saran yang membantu.

"Baik, kita langsung saja memberi kalian tugas pertama yang akan menentukan masa depan kalian di akademi ini" Emilos agak was-was. Karena ini adalah part paling menentukan apakah dia berguna atau tidak.

"Tugas pertama kalian adalah mencari permata sebesar biji kelengkeng. Jangan menganggap misi ini remeh karena permata itu akan menunjukkan kelompok kalian hingga kalian lulus."

Nah kan ... Emil harus menemukan permata dengan anggota kelompok paling berguna.

"Seperti yang dikatakan Talia tadi, kalian akan mencari permata di sekitar akademi. Hanya satu permata. Tidak boleh kurang atau lebih." Jeanne berdiri dan menghadap seluruh siswa.

"Waktu kalian hanya dua jam, dimulai dari sekarang" Papan hologram muncul menunjukkan waktu dua jam yang semakin lama semakin habis.

Emilos masih duduk diam, sedangkan yang lain sudah lari kalang kabut untuk segera mendapatkan permata itu. Ravael yang mengira Emilos lari terlebih dahulu, menyusul pemuda itu yang padahal masih duduk anteng dikursinya.

Emil hanya tak mau berdesakkan saat berada di pintu keluar aula. Jadinya dia duduk disitu menunggu sepi.

"Tuan muda? Anda tidak ingin mencari batu permata?" Talia melihat Emilos duduk dengan santai menunggu orang-orang berhamburan.

Emilos mengangguk dan menatap Talia yang jauh tinggi dengannya karena posisinya yang tengah duduk. Talia tersenyum kecil "Lalu ... berjuanglah tuan muda. Anda pasti akan mendapatkan tim yang kuat" Emil mengangguk dan pergi keluar dari aula karena menyadari bahwa hanya dirinya yang tersisa.

Saat ia keluar, ada beberapa murid yang sudah mendapatkan permata itu dan yang paling mengesankan adalah ada dari beberapa, mereka sudah mendapatkan teman satu timnya.

Emil hanya perlu mendapatkan permata di tempat paling jauh dari aula karena pasti para murid sudah menyapu habis permata yang berada di dekat ruangan besar itu.

Dirinya memutuskan untuk pergi menuju halaman depan akademi yang letaknya agak jauh dan menjadi tempat paling hijau se-akademi.

Seperti dugaanya, tempat itu sedikit sepi.

Dirinya dengan leluasa mengedarkan pandangannya pada seluruh tempat yang ia bisa jangkau dengan mata birunya itu.

"Tuan Muda Emil?" Suara seseorang membuatnya menoleh.

Terlihat pengawal setianya, Gerry menatap dirinya "Tuan, kau sudah mendapatkan batu permata itu?" Emil menggeleng.

"Apakah tuan mau mencarinya denganku?" Emil mengangguk.

"Semoga kita satu tim Tuan muda Emil" Emil mengangguk saja. Toh Gerry adalah salah satu orang berguna.

Entah kebetulan atau bagaimana, mereka menemukan permata secara bersamaan. "Waktu kalian tinggal sepuluh menit" suara itu memenuhi setiap sudut akademi.

"Tuan Muda, kita satu tim!" Gerry berucap bahagia karena permatanya dan Emil dapat bersatu. Emil mengangguk saja. Ga ada ruginya mendapatkan Gerry ditimnya.

"Tinggal menunggu tiga diantara pecahan permata ini" Emil mengajak Gerry untuk duduk dibangku yang memang disediakan di halaman depan akademi.

Keduanya terdiam dalam suasana canggung. Lebih tepatnya Gerry yang gugup. Dirinya tak tau harus mengatakan apa untuk memecahkan keheningan canggung ini.

"Kau lihat, mereka ada disini!" Suara berisik itu sangat menjengkelkan.

Pelakunya adalah Nick bersama dengan Ravael "Aku tidak tau. Kubilang untukmu menunggu dengan sabar" Balas Nick dengan tidak sabaran.

"Baiklah, kita lihat siapa tim kita!" Saat keduanya berbalik, melihat adanya Emil membuat Ravael berteriak senang

"WAH! AKU AKAN BERSAMA EMIL!"

Dan hanya tinggal satu orang. Siapa? Dan yang paling penting, apakah dirinya berguna?

The Silent Emilos [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang