KESEMPATAN KEDUA

17 6 1
                                    

"Kang, boleh foto bareng nggak?" Tiga orang siswi berseragam SMU cekikikan di depan Nero sore itu. Sejenak kegiatan goreng-menggoreng ia hentikan.

Nero tersenyum mengiyakan. Apa mau dikata, pelanggan adalah raja. Maka Nero melepas masker dan topi kokinya, siswi-siswi itu memekik kegirangan melakukan aneka pose, mulai V sampai finger heart. "Kang, upload di Tiktik ya! Boleh ya?"

Lagi-lagi Nero mengangguk, "Mangga, jangan lupa hashtag #gorengankota tapi ya, makasih." Meski hatinya agak jengah, tapi senyum harus tetap dipasang lebar-lebar. Demi pelanggan. Mereka setuju.

Setelah heboh-heboh merekam dan memotret, mereka berterima kasih sambil menenteng bungkusan gorengan. Setengah jam kemudian, Nero mengecek aplikasi Tiktik untuk memonitor hashtag #gorengankota. Ternyata video barusan masuk video terpopuler. Mereka rupanya membuat video dirinya melepas masker dan topi koki dalam gerakan slow motion disertai hashtag #OMGGANTENGNYA #kokiganteng #gorenganganteng #jadikanistridong dan lainnya, yang membuat hati Nero bergidik sendiri. Belum lagi komentar di bawahnya, [Eh, gans banget sih!] [ini tukang gorengan apa foto model?] [salah profesi] [masih single nggak?] [Mas, kamu baru menggoreng hatiku].

Nero senyum-senyum. Eh, tapi gue memang ganteng juga, ya? Untung ujaran itu Nero ucapkan dalam hati saja, coba dizahirkan, mungkin piring-piring rotan itu bisa melayang sendiri menyasar tampang Nero. Alhamdulillah, gara-gara konten viral seperti inilah Gorengan Kota jadi lebih dikenal, pelanggan pun bertambah banyak.

Nero kembali melihat gelembung-gelembung minyak panas di penggorengan. Adonan bakwan yang lebar-lebar tampak mengapung keemasan. Gadis-gadis itu baru awalan. Tak lama lagi pelanggan akan semakin ramai berdatangan. Nero menyeka keringat yang membasahi pelipisnya dengan handuk kecil. Cuaca yang panas ditambah uap minyak dari penggorengan adalah paduan yang sempurna. Namun, apa mau dikata? Saat ini, menjalankan bisnis Gorengan Kota adalah satu-satunya usaha yang bisa dilakukan Nero. Beberapa lamaran kerja yang dia masukkan masih belum ada panggilan. Ia yakin bahwa rezeki dari Allah sudah dijatah, tidak akan dikurangi, dilebihkan, atau tertukar dengan milik orang lain. Mungkin untuk saat ini, warung Gorengan Kota adalah jalan rezekinya.

Pikiran Nero melayang pada peristiwa sekitar tiga bulan yang lalu. Tepat di tanggal rencana pernikahan Bia, Nero telah membulatkan tekad untuk melamar Meira. Meskipun saat itu kondisi finansialnya belum seideal yang dia harapkan, tetapi Nero sadar. Sebetulnya tabungan dan gajinya sudah lebih dari cukup untuk persiapan berumah tangga. Bahkan, jauh lebih besar dari penghasilan Zav yang didapatkan dari bisnis di cafe. Keinginannya untuk berpetualang keliling dunia juga mulai memudar, seiring padatnya pekerjaan di kantor. Sementara itu, pertemuannya dengan Meira yang intens sulit untuk dihindari dan mulai mengganggu pikiran. Karena itu, Nero bertekad untuk mengakhiri masa lajangnya. Sudah saatnya dia harus berani mengambil tanggung jawab dan berkomitmen sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang suami. Nero yakin, Insya Allah Meira adalah orang yang tepat untuknya.

"Jadi apa yang mau kamu bicarakan, Mas?" Senyum Meira tampak merekah seperti biasa. Senyum yang akhir-akhir ini sering mengganggu malam-malamnya. "Kayanya penting banget?"

"Iya, ini hal yang penting banget buat aku. Ehem ... maksud saya buat kita."

"Hmmm ... jadi ... apa hal penting itu?"

"Bagaimana kalau kita menikah, Meira? Aku ingin menghabiskan sisa hidup kita bersama, susah dan senang kita jalani bareng-bareng. Mungkin saat ini kondisiku belum sebaik yang diharapkan, tapi Insya Allah, pelan-pelang kita akan bertumbuh sama-sama."

Mendengar kalimat itu, senyum Meira perlahan mulai memudar. Gadis itu menghela napas, lalu pandangannya menerawang jauh. "Maaf, Mas ... aku belum terpikir untuk menikah sekarang. Paling cepat tiga tahun lagi, setelah adikku selesai kuliah. Saat ini aku adalah tulang punggung keluarga. Jadi ... kuharap Mas Nero mengerti."

The Candidates Where stories live. Discover now