PASAR (HIDUP) BARU

18 6 7
                                    

Bia melajukan mobil ayahnya ke area sebuah kampus universitas negeri yang cukup jauh dari pusat Kota Bandung. Sejak berkuliah, kewajiban Bia adalah jadi sopir Ayahnya untuk berjalan-jalan saat beliau berkunjung. Namun, kebiasaan itu sudah lama tidak dilakukannya semenjak bekerja. Bia tak tahu ayahnya ternyata menyisir area pinggiran juga.

"Bia kira, Ayah main ke tempat-tempat wisata, kok malah ke tempat nun jauh disana begini?"

"Ayah sudah bosan dengan tempat wisata, lebih seru blusukan seperti ini, siapa tahu saat pensiun nanti Ayah jadi presiden, to?"

"Halu banget deh, Ayah. Tapi Yah, kok Ayah rela Bia nikah sama tukang dagang di pinggir jalan? Ayah udah nggak sayang ya, sama Bia? Ntar gimana kalau hidup Bia menderita?" Bia pura-pura mengerucutkan bibirnya, sekadar menggoda Ayahnya.

"Waduh, gimana ya, tapi orangnya ganteng Bia, mungkin setiap melihatnya kelak Bia bisa lupa sesaat kalau sudah hidup miskin." Ayah malah menekan tombol reclining, merebahkan joknya.

"Ayah ngaco banget sih! Tega!" Bia mengernyitkan dahi.

"Ha.. ha, tenang Bia. Dari penampakan warungnya, sepertinya dia punya rencana yang bagus untuk mengembangkan usahanya, apalagi rasa makanannya enak. Ayah suka banget, Bundamu juga seneng, bikin ketagihan. Kalau kamu support dia sebagai istri, mungkin dia bisa lebih sukses. Ya, tapi semua terserah Bia. Lihat saja nanti, kalian cocok atau nggak. Feeling ayah sih, kalian akan cocok. Insyaallah."

Bia tak bertanya lagi tentang pria ini. Kalau ayahnya sudah mengotot seperti ini, sulit didebat. Tapi bila memang dia sebaik yang ayahnya ceritakan, sepertinya tak ada alasan bagi Bia  untuk menolak. Tentu ada pemberontakan di pikirannya, apalagi ayahnya baru mengenal lelaki asing ini beberapa hari saja. Akan tetapi, sejak istikhoroh semalam, setiap dia ingin memprotes ayahnya, sebuah pikiran tiba-tiba saja muncul. It's okay, lelaki ini baik. Setelahnya, hatinya tenang kembali. Seperti saat ini.

Tujuan masih agak jauh, tapi Ayah sudah menegakkan kembali joknya. Dengan wajah serius, beliau bertanya, "Bia, tapi kamu sudah benar-benar ikhlas melepas Attala?"

Nyaris saja setir mobil Bia oleng karena pertanyaan ayah yang tiba-tiba itu. Sejak pembatalan pernikahan, hanya sekali Attala menemui beliau, untuk berpamitan. "Ya, Bia harus kan, Yah?" jawaban Bia menggantung di udara. Ayahnya menghela nafas, mengangguk berat.

Bia memarkir mobil di lokasi parkir kampus yang hanya 100 meter dari Pasar Baru. Kata Ayah, mereka sebaiknya berjalan kaki karena tempatnya tak jauh dari situ, sekalian jalan-jalan. Seingat Bia, area ini juga salah satu tempat cabang Gorengan Kota. Dia  hanya sekali dua kali  datang kontrol ke area ini. Nero yang lebih sering mengelolanya langsung. Semoga saja Nero tidak sampai melihatnya kali ini. Lama-lama, ia kasihan juga melihat lelaki itu, nasib lamarannya kali ini benar-benar ada di pinggir jurang penolakan. Apa mau dikata, bila memang lelaki ini sebaik yang ayahnya bilang, maka dia mengantongi poin ekstra: restu Ayah.

Bia semakin gelisah saat mulai melihat tenda Gorengan Kota yang khas berwarna kuning. Dalam hati ia berdoa semoga Nero sedang tak ada di sana sembari berjalan cepat-cepat agar segera melewati tenda itu, "Ayo, Yah, cepetan jalannya!"

"Lho, kita sudah sampai ini. Ayo ke dalam."

Bia melongo, Ayah janjian sama siapa? Dilihatnya Nero sedang mengajari karyawan baru untuk menata gorengan di piring rotan. Hatinya mencelus memikirkan betapa tragisnya nasib cowok itu. Ditolak di warungnya sendiri.

"Wah, Assalamu'alaikum, Pak. Silakan ... silakan, mau pesan yang biasa?" Nero segera menyambut ayah Bia begitu sadar beliau datang. Ini sudah ketiga kalinya berturut-turut beliau berkunjung. Nero bertekad menjaga kepuasan pelanggan baru ini.

Di luar, Bia  memutuskan tidak masuk dulu. Ia masih berdiri di balik tenda, melongok siapa kira-kira yang akan dikenalkan padanya. Pagi itu ada beberapa pria yang sepertinya dosen-dosen muda, mahasiswa, dan para konsumen pasar. Belum ada yang tampak seperti pedagang pinggir jalan.

The Candidates Onde histórias criam vida. Descubra agora