PRIA DALAM KENANGAN

17 6 2
                                    

"Teh Bia, tamunya sudah nungguin, kata Bunda suruh cepat!" panggilan Bi Nina membuat Bia buru-buru membereskan kerudung, nyaris saja dagunya tertusuk peniti. Setengah berlari, Bia menuruni tangga. Terdengar lamat-lamat suara tawa Ayah dan Bunda, disusul suara lain yang terdengar dalam dan berwibawa.

"Dik Bia," lelaki itu tersenyum, tubuh tegapnya terbungkus kaus hitam polos dengan potongan slim fit,  dipadu celana chino berwarna khaki. Sejenak Bia terpaku melihat ciptaan Tuhan yang sangat sempurna itu.  Astaghfirullah. Buru-buru Bia mengalihkan pandangannya lalu membalas senyum.

"Hai, Mas Andhika, udah lama datengnya? " Walau menyapa ramah, Bia tiba-tiba tak berani menatap langsung wajah Andhika, khawatir kelopak matanya lupa menutup lagi. Lelaki itu adalah anak dari sahabat kental Ayah, usianya terpaut lima tahun dengan Bia. Dulu, mereka sangat senang bermain bersama. Kedua keluarga mereka juga sering berlibur sama-sama. Tak terasa, mereka mulai beranjak dewasa. Bia tak pernah lagi berjumpa Andhika semenjak dia masuk Akademi Militer. Namun, Ayah masih sering bercerita tentangnya, termasuk kabar kalau ia menjadi lulusan terbaik, dan melanjutkan pendidikan sehingga menjadi seperti sekarang.

"Enggak kok, cuma sempat bantuin Ayah memanen selada, bantuin Bunda merapikan garasi, juga bantuin Bibi ngangkat galon." Andhika tersenyum lagi, giginya sangat rapi, dan lesung pipi menyempurnakan wajahnya yang jantan. Bia melotot sambil menutup mulutnya. Dia merutuki dirinya sendiri yang punya kebiasaan buruk tidur pagi saat di rumah. Hanya di rumahnya saja dia begitu, mungkin itu semacam kutukan bantal empuk. Andhika tertawa melihat pose Bia itu, lalu dengan santai mereka ngobrol ngalor ngidul, entah sudah berapa kali Bi Nina mengisi kembali gelas juice dan mengganti kue-kue di piring sampai tiba waktu Zhuhur.

Ayah yang tak punya anak lelaki senang sekali ada yang menemani ke masjid. Tak tanggung-tanggung, di masjid, Andhika langsung didapuk jadi imam. Bagaimana tidak, bacaan dan gerakan shalatnya sempurna. Sejak kecil, Andhika punya guru khusus untuk belajar Al Quran. Karenanya, tak heran ia juga sudah biasa menjadi juara tilawah maupun tahfidz Quran, termasuk di masjid kompleks Bia. Kebiasaan itu rupanya tak berhenti walau ia menjadi tentara. Dari obrolan mereka, Bia tahu kalau Andhika selalu menyempatkan mengajari anak-anak dan remaja mengkaji Quran, serta memperbaiki mushola setempat saat bertugas. Walaupun Andhika bilang itu sekadar tugas dari pimpinan, Bia sih yakin, itu buah persuasi dari Andhika.

"Kapan jadwalmu dikirim ke sana, Dhika?"  Bunda terlihat resah saat kak Andhika bercerita bahwa ia akan dikirim ke sebuah daerah konflik yang tengah panas.

"Insyaallah tak sampai setahun lagi, Bun. Karena itu, sebenarnya Andhika kemari ingin membicarakan sesuatu dengan Ayah, Bunda, dan tentunya, Dik Bia."

Bia langsung menegakkan punggungnya, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang.

"Andhika tahu mungkin dulu itu hanya seloroh para orangtua, tetapi, tetap saja itu adalah sebuah kesepakatan. Dulu, saat saya masih berusia 18 tahun, dan dik Bia masih 13 tahun, Ayah, Bunda, Mama, dan Papa, pernah bersepakat untuk menjodohkan kami berdua, kan?"

Bunda dan Ayah tersenyum lalu mengangguk. Bia melirik mata mereka yang berbinar-binar, pastilah mereka senang melihat Mas Andhika tumbuh dewasa seperti ini.

"Maka dari itu, saya ingin bertanya, kira-kira apakah Bia berkenan kalau perjodohan itu diwujudkan? Sejujurnya, saya sangat ingin bisa berkeluarga sebelum berangkat bertugas."

Bunda menangkupkan tangan di bibirnya, Ayah segera menoleh ke arah Bia. "Jawablah Bia, Ayah akan mendukung apapun keputusanmu. Ayah yakin, Mas Andhika tidak main-main, betul kan, Andhika?"

Andhika mengangguk takzim. "Tidak apa-apa kalau Bia masih butuh waktu berpikir, Mas akan tunggu."

Bia mengambil segelas air putih untuk menenangkan diri. Walau mengejutkan, kali ini Bia tahu Andhika tak perlu menunggu.

The Candidates Where stories live. Discover now