MASJID CINTA

13 5 1
                                    

"Hmm, enak juga ya suasana kantin masjid ini. Kita harusnya lebih sering kemari, Bi. Masa habis pengajian langsung pulang terus." Zuzu dari tadi tak henti memuji betapa nyaman dan murahnya kantin sederhana di halaman masjid Al-Salam. Beberapa pekan ke belakang, mereka berdua rutin mengikuti kajian di masjid yang juga populer dengan sebutan masjid pink atau masjid cinta ini. Masjid Cinta? Iya, itu karena mereka punya auditorium yang selalu full booked untuk pernikahan. Tak heran sih, halaman masjid yang dijajari pohon tabebuya berwarna pink dan sesekali diselingi bougenvile berwarna-warni memang menambah kesan romantis, ditambah dengan taman-taman bunga yang mengelilinginya.

"Eh, Zu, kamu tahu nggak, ada mitos kalau orang yang taarufan di kantin ini, bakal berjodoh, lho."

"Hush, percaya seperti itu kan sama aja syirik, masa lupa!"

"Astaghfirullah, iya ya Bi." Zu mengusap mukanya, insaf. 'Eh, ngomong-ngomong mana sih ustadz itu, kok belum datang? Sudah terlambat lima menit nih."

"Bukan ustadz, cuma panitia kajian kok.  Sebentar aku DM dulu."

Baru saja Bia hendak membuka aplikasi, suara seorang lelaki menyapa mereka,

"Assalamualaikum, aduh afwan ya, saya sedikit terlambat. Ternyata jalur dari rumah ustadznya lumayan macet. Oh ya, kenalkan, saya Attala. Kamu pasti mba Bia, ya? dan kamu mba Azzura?" tadinya Bia dan Zu menduga Attala adalah pria yang kaku. Dalam postingan IG-nya, ia  selalu mengenakan pakaian yang rapi, ditambah kacamata yang bertengger manis di hidung mancungnya. Tak disangka, ternyata ia sangat ramah.

"Eh, kok masnya tahu nama aku juga?" Zu heran. Kalau dia tahu Bia, ya wajar, karena yang tertinggal planner milik Bia.

"Eh, iya, maaf, saya sempat kepoin IG nya mba Bia, terus lihat komentar kamu, mba Azzura. Oh ya, sudah pada makan belum? Saya pesankan ya? Soto daging di sini enak loh."

"Oh, makasih, ngga usah. Aku udah bawa bekal makan siang dari rumah." Bia menolak dengan halus.

"Wah, begitu ya. Nah, kalau gitu mba Azzura aja, gimana?"

"Mau sih, tapi nggak makasih, aku udah dibuatkan bekal sama Bia."

"Masyaallah, mba Bia ini rajin sekali ya." Dia menggeleng-gelengkan kepala, kagum. "Oke deh, kalau gitu, langsung aja ya." Attala mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Bia mengenali merk tas itu, harganya sangat lumayan untuk ukuran gaji fresh graduate sepertinya.

"Nah, ini planner mbak Bia." Attala mengeluarkan sebuah planner berukuran kecil dengan cover transparan. Di halaman muka ada hiasan dari daun dan bunga yang Bia awetkan sendiri. Juga ada akun ig serta no. Hp, dari sanalah Attala mengontak IG-nya.

"Alhamdulillah, isinya masih komplit. Terima kasih, ya, mas Attala, udah menjaga dan nyempet-nyempetin buat ketemu."

"Ah, itu memang tugas saya sebagai panitia kajian. Lagipula, saya khawatir kalau via kurir nanti nggak aman, apalagi kelihatannya planner itu sangat penting."

Bia tersenyum. Attala benar, isi planner itu sangat penting karena planner itu berisi bullet journal miliknya. Semua agenda harian, bulanan, catatan meeting, juga resep-resep penting dicatatnya dalam planner mungil itu.

Baru saja mereka hendak pamit pulang, pelayan kantin mengantarkan tiga gelas es krim. "Ayolah makan dulu, saya nggak enak nih kalau nggak menyuguhi apa-apa. Lagian kalian harus coba menu satu ini, es krim homemade buatan Mang Denny, tuh orangnya!" Attala melambaikan tangan kepada seorang pria paruh baya berjenggot tipis, pria itu membalas dengan semringah.

Berkat obrolan singkat sambil makan es krim itulah Bia tahu kalau Attala sebenarnya berprofesi sebagai seorang Assistant General Manager di sebuah hotel bintang 4. Dua kali dalam sebulan, Attala menyempatkan diri untuk membantu panitia kajian rutin Masjid Al Salam. "Saya baru-baru ini aja belajar Islam lebih serius, semoga nggak telat ya di umur jelang 30 begini baru belajar. Selama sekolah, sejak kecil, masuk akademi perhotelan, bahkan sampai S2 di US, saya benar-benar asing sama yang namanya agama. Alhamdulillah, suatu hari salah satu guest langganan hotel mengundang saya buat ikut kajian di sini. Ternyata, yah, alhamdulillah, saya mendapat pencerahan. Jadi, well, here I am now."

The Candidates Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz