Kabin

10 3 0
                                    

Centromestre Sandro Gomez melangkah menuju kabin sempit yang berada di buritan kapal Santo Domingues. Rambut merahnya yang kasar dengan potongan rambut panjang tidak beraturan berdiri kaku. Setelah melepas bandana hitamnya, dia menekan handel pintu dan membukanya.

Didalam ruangan sempit itu ada tiga pasang hammock tergantung tersusun bertingkat, ditengah ruangan. Disetiap sudutnya tersusun peti kayu yang berisi barang-barang pribadi para awak penghuni kabin itu. Dua lampu minyak terpasang erat sejajar pada dinding kiri dan kanan pintu kabin.

Sedangkan sebuah jendela bulat kecil, yang berfungsi sebagai ventilasi udara di kabin sempit itu, terpasang di dinding yang berseberangan dengan pintu. Kabin kecil tersebut ditempati oleh Sandro Gomez bersama lima orang awak lainya.

Saat ini Sandro Gomez hanya melihat Oficial Artilheiro Fernando Ibarra dan Cadet Agosto Santiago yang masih remaja. Mereka berdua tampak sedang tertidur di hammock masing-masing. Tubuh mereka terayun-ayun mengikuti ayunan gerakan kapal. Sedangkan tiga orang lainnya sedang piket, entah dibagian mana dan tugas apa yang sedang mereka kerjakan.

Sandro Gomez melepas sepatu botnya, kemudian melepas pedang panjang dan pistol terkul dari pinggang. Sambil duduk diatas sebuah peti kayu kecil, dia duduk bersandar pada dinding kayu kabin. Tangannya yang kekar meraih sebuah peti kayu lain yang ada disebelahnya, merogoh ke dalam peti dan mengeluarkan secarik kain kotor yang dulunya berwarna putih. Pedang panjangnya dikeluarkan dari sarung, dan dengan kain kotor yang tergulung dalam genggamannya, Sandro membersihkan bilah pedang panjang dengan seksama.

Sambil menggosok perlahan Centromestre berambut merah tersebut membayangkan kehidupan di kampung halaman tempat tinggalnya. Hampir tiga tahun dia berlayar bersama kapal Santo Domingues. Masih diingatnya saat pertama kali dia menginjakkan kaki digeladak Santo Domingues. Sandro Gomez masih mengingat semuanya dengan jelas.

Saat itu memasuki musim gugur di Lisbon. Wangi dedaunan musim gugur menyeruak dari setiap taman di kota Lisbon. Warna daun pohon maple keemasan yang berguguran memenuhi setiap sudut jalan. Setiap sore menjelang malam banyak orang duduk-duduk bersantai, beralaskan kain diatas rumput taman yang mulai menguning, untuk menikmati suasana senja yang syahdu.

"Jangan katakan bahwa kamu benar-benar mau berangkat", kata seorang gadis berambut coklat, dengan nada penuh kekecewaan kepada seorang pemuda kekar berambut merah. Mata hijaunya menatap tajam ke wajah pemuda itu. Kedua telapak tangannya mengepal.

"Kita sudah merencakan pernikahan tahun depan!", sambungnya memprotes. Pemuda berambut merah tersebut hanya menunduk. Sementara gadis itu terus menatap wajahnya meminta jawaban. Sambil mendesah, pemuda itu menjawab, "Aku hanya pergi sebentar sayangku, paling lama dua tahun".

"Dua tahun?", balas si gadis tidak percaya. Si pemuda menganggukkan kepala mengiyakan," Dua tahun. Paling lama".

"Kita sudah merencanakan pernikahan tahun depan. Kalau dua tahun lagi berarti mundur selama setahun. Bagaimana bisa?", kata si gadis dengan suara mulai meninggi.

"Apa kata keluargaku nanti?!", sambung si gadis tidak memberi kesempatan kepada si pemuda untuk menjawab.

Pemuda berambut merah tersebut hanya menunduk diam. Dia tahu keengganan tunangannya untuk melepas dia pergi. Sudah hampir tiga tahun dia menjalin hubungan cinta dengan Catarina Perestrello, seorang gadis asli Lisbon berambut coklat bermata hijau yang taat.

Hubungan mereka sudah terjalin kuat dan serius melangkah ke jenjang selanjutnya, untuk menempuh hidup baru. Keluarga mereka sudah saling mengenal dan merestui niat mereka untuk menjalin janji suci di depan altar gereja. Tanggal pernikahan-pun sudah disepakati oleh keluarga keduanya. Rencana-rencana masa depan sudah disusun bersama-sama. Semua rencana-rencana berjalan dengan lancer, sampai saat datangnya perintah dari Raja untuk berlayar.

Sepasang kekasih itu bukanlah berasal dari kalangan orang kaya raya. Ayah Sandro Gomez, Jorge Gomez, adalah seorang pensiunan/moradores di kerajaan yang mengurusi pajak kerajaan. Sementara Christina Fernandez, ibunya, hanya seorang perempuan desa biasa dari kalangan petani. Sedangkan keluarga si gadis, keluarga Perestrello adalah keluarga pedagang roti yang memiliki sebuah toko kecil di freguesi/distrik Ajuda. Keseharian mereka adalah bergumul dengan tepung dan adonan roti.

Sandro Gomez telah bergabung dengan Marinha de Guerra Portuguesa dibawah kendali Raja Manuel I, sejak kembalinya Vasco da Gama, sang legendaris, dari penjelajahannya ke India dengan membawa beragam rempah-rempah bernilai tinggi yang hanya tumbuh disana.

Seperti pada umumnya para pemuda kalangan menengah bawah kota Lisbon, yang takjub dengan kisah perjalanan epik Vasco da Gama, Sandro-pun bergabung dengan armada angkatan laut kerajaan Portugis. Dia ditugaskan sebagai awak kapal Santo Domingues dibawah pimpinan Capitão da fragatta Hugo Sanchez yang akan berangkat ke selatan. Mengikuti rute Sang Legenda Vasco da Gama menuju India.

"Sayang... Aku hanya bisa berjanji kepadamu bahwa aku akan kembali dalam dua tahun. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Dan aku hanya bisa berdoa agar sayap para malaikat pelindung Sao Jorge akan melindungi dan menjagamu selama menungguku", kata Sandro menatap gadis itu lembut, memohon pengertiannya.

Catarina Perestrello tidak berkata apa-apa. Gadis itu hanya berdiri tegak diam dengan tangan mengepal. Setitik air mata menetes dipipinya yang penuh. Sandro membelai lembut wajah kekasihnya, menghapus air mata Catarina.

Gadis itu menatap lekat wajah Sandro. Api amarah berkobar disepasang mata hijaunya. Dengan satu gerakan, dia menepis tangan Sandro sambil membalikkan tubuh dan berlalu dari situ tanpa mengucapkan sepatah kata-pun. Sandro Gomez hanya menatap nanar menyaksikan gadis itu pergi, dan menghilang di balik tembok batu granit sebuah bangunan tinggi beraksitektur baroque.

Centromestre Sandro Gomez menghela nafas panjang mengingat kenangan terakhirnya di Lisbon tersebut. Janji dua tahunnya kepada Catarina ternyata tidak terpenuhi. Saat ini seharusnya dia sudah ada dirumahnya, membangun keluarga baru, membantu berdagang dan membesarkan toko roti kecil milik mereka.

Sekarang entah apa yang terjadi dengan gadis pujaan hatinya tersebut. Akankah dia setia menunggu, atau pindah kepelukan laki-laki lain. Berbagai bayangan suram melintas di dalam benaknya.

Disarungkan pedang panjangnya kembali. Lalu dia meraih pistol terkul-nya dan mulai membersihkannya. Dia mencoba menghapus kenangan pahitnya di Lisbon dan mencoba membangun ilusi diotaknya, bahwa semua sedang berjalan baik-baik saja.

"Corno...", makinya pelan.

Chiaki 1511 - Buku SatuWhere stories live. Discover now