Prolog

19 3 0
                                    

Kilat yang berkelebatan disusul ledakan suara guruh yang bersahutan dan angin yang menerjang kencang membuat suasana malam hari di Melaka, kota pelabuhan itu, tampak mencekam. Deretan dermaga kayu yang biasanya ramai oleh para pekerja menaik turunkan barang tampak kosong. Beberapa kali gelombang tinggi air laut yang berbahaya menyapu dermaga, menghanyutkan tumpukan peti dan tong – tong kayu. Kapal - kapal berbagai ukuran dan Jung - Jung saling berbenturan membuat suara derakan yang keras. Tali – tali penambat terentang dengan kencang menahan kapal – kapal kayu pada tempatnya.

Sementara itu, disalah satu sudut pelabuhan, sebuah pos jaga yang terbuat dari kayu berjuang susah payah menahan gempuran angin. Lampu minyak yang tergantung tampak diombang-ambingkan angin. Cahayanya berkelipan, berusaha sekuat tenaga, memberikan penerangan disekitarnya.

Dibagian lain kota, yang berlokasi agak jauh dari tepi laut, dihantam oleh hujan lebat dan angin kencang. Deretan bangunan berdinding kayu bergetar menahan hembusan angin. Suara berderu dan hempasan air hujan menggetarkan jendela - jendela dan pintu - pintu. Jalur - jalur jalan batu yang melingkari wilayah kota terlihat sepi dan gelap, tidak ada kegiatan apapun di jalan. Bahkan semua hewan yang biasanya berkeliaran di jalan, meringkuk berlindung di dalam tempatnya masing-masing. Hanya beberapa anggota pasukan keamanan dari kesultanan yang bertugas sesekali berpatroli berkeliling memastikan keamanan kota.

Disudut barat tembok benteng kota, tampak seorang petugas patroli menggedor pintu pos keamanan dengan sekuat-kuatnya, berkali-kali. Seragam berwarna biru berpola kuning yang dikenakannya, terlihat basah kuyup meskipun sudah dilapisi oleh jubah yang terbuat dari terpal. Sebilah belati panjang bersama sebatang tongkat rotan, sepanjang tujuh puluh sentimeter, terselip dipinggangnya.­

"Awang... Awaaang...", serunya sambil terus menggedor pintu. "Awak tido kah? Oii.. Saya nak masuk. Bangun kejap lah"

Setelah beberapakali memukul daun pintu, terdengar sahutan balasan dari balik pintu. Setelah menunggu sejenak, pintu terbuka dan seorang pria berkumis tipis dengan seragam yang sama mempersilahkannya masuk.

"Astaga, basahnya awak, Mat", kata pria berkumis itu sambil menatap kawannya.

"Aish, giler memang ribut ni", balas Mat sambil menggerutu. Ia melepas jubah terpalnya yang tebal dan menggantungkannya di balik pintu. "Awang, Awak tak nak ronda ke?" sambungnya.

"Ribut macam ni mana boleh nak ronda. Kerja giler ke?", jawab Awang sambil mengangkat bahunya.

"Ish..., basah betol badan saya ni...", gerutu Mat sambil menarik kursi kayu dari meja di tengah ruangan. Dihempaskan tubuhnya ke kursi, percikan air menetes deras dari bajunya yang basah. Suara deru badai dan hujan deras yang sesekali disusul kilatan cahaya petir memenuhi ruangan.

Awang pergi ke pojok ruangan dimana terdapat pendiangan kecil yang menyala dengan ceret yang berisi kopi hitam mendidih diatasnya. Diraihnya sebuah gelas keramik dari dalam laci salah satu lemari di pojok ruangan tersebut, dan menuangkan kopi hitam yang mengepul ke dalamnya. Dia lalu memberikan minuman panas itu kepada Mat.

Mat menerima kopi panas tersebut, dan menyeruputnya perlahan-lahan. Dinikmatinya rasa hangat yang menjalar dari tenggorokan turun ke lambung, kemudian menyebar sekujur tubuhnya. Kopi itu memberikan kehangatan yang menyegarkan sampai ke ujung-ujung pembuluh darahnya. Sebuah kenikmatan yang menyenangkan di malam berbadai yang dingin ini.

Tepat selagi dia mau menyeruput kopi panas tersebut untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba Mat tertegun, kedua telinganya seperti mendengar suara - suara teriakan manusia yang tersembunyi diantara deru badai. Dia menoleh kearah Awang, dilihat rekannya tersebut juga menyadari suara - suara tersebut. Tanpa berkata-kata Awang melangkah menuju pintu dan membukanya untuk memastikan.

Mat melihat otot-otot tubuh kawannya mengejang, dan tangan kanannya meraih pinggang, memegang gagang belati yang terselip disana. Mat tanpa berfikir panjang juga ikut berdiri, dan secara refleks meraih belati dipinggangnya. Awang menatap Mat dengan tatapan ngeri, lalu membuka pintu dan melompat keluar. Mat secepatnya mengenakan kembali jubah terpalnya dan mengikuti Awang keluar pos.

Kedua petugas keamanan itu berdiri berdampingan dengan tangan dipinggang saling beradu pandang. Tertegun. Dihadapan mereka ada sosok perempuan muda menggenggam sebuah tombak panjang bermata sebilah belati, berdiri diam ditengah badai. Gadis itu perlahan-lahan menunduk dengan menekuk lutut kirinya, bersiap untuk melakukan sebuah gerakan menyerang. Disekeliling gadis itu tampak tiga sosok tubuh tergeletak diam di atas jalan batu dan dua sosok lagi terhuyung-huyung menjaga keseimbangan.

Kilat yang menyambar sesekali menampakkan wajah oriental si gadis yang cantik. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai basah. Pakaian yang dikenakannya terlihat asing, dan dibalik jubah hitam bermotif lingkaran putih, tampak sebilah pedang panjang terselip dipinggang. Gadis berwajah oriental itu bernafas perlahan dan teratur. Matanya yang gelap menatap tajam kearah Awang dan Mat, dua pasukan keamanan kesultanan, yang berdiri dihadapannya.

Dua sosok tubuh yang berdiri limbung disisi kanan dan kiri gadis itu seperti tidak memperhatikan kehadiran dua pasukan keamanan kesultanan, mereka serentak menyerang si gadis bersamaan. Pedang panjang yang mereka gunakan berkilauan saat kilat menyambar. Si gadis, dengan satu gerakan memutar, menghindari sabetan dari kiri tubuhnya dan menepis tusukan dari kanan.

Kilatan bunga api terpercik saat mata tombak berbentur dengan bilah pedang. Gadis itu melompat ringan menyamping kearah kanannya dan bergerak mengelilingi salah satu musuhnya sambil mengarahkan mata tombak ke bagian atas tubuh.

Mata tombak yang tajam itu tertanam tepat di jakun leher penyerang pertama, lalu dia mengayunkan tombaknya, mengiris otot dada dan mengirimkan serangan kepada penyerang kedua yang berada dibelakangnya.

Serangan kepada penyerang kedua itu sangat cepat, melingkar mengiris leher dari sisi kiri, memisahkan kepala dengan tubuh. Kedua penyerang itupun ambruk tanpa bersuara, penyerang pertama terduduk dengan luka besar yang membongkar isi dadanya dan penyerang kedua menggelimpang tanpa kepala.

Awang dan Mat hanya bisa terbelalak menatap nanar. Gadis itu kemudian berdiri tegak, menatap mereka berdua. Tombak panjangnya berlumuran darah. Dengan bahasa asing yang tidak pernah didengar oleh mereka berdua sebelumnya, gadis itu melangkah pergi dan menghilang dibalik gelapnya badai.

"Nigeru... Zen'in shinu ka – Menghindarlah... Semua orang akan mati", seru gadis itu dari balik deru badai.

Dibawah guyuran hujan dan badai, kedua petugas keamanan tentara kesultanan itu berdiri diam, kaku, dan gemetar tanpa menyadari, bahwa mereka baru saja menyaksikan peristiwa yang mengawali peperangan besar, antara Kesultanan Melaka dengan Portugis di Melaka.

Chiaki 1511 - Buku SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang