1. Penangkapan

33 12 33
                                    

Tolong, jangan matikan masa remajaku.

* * *

Bukan tanpa alasan aku mengatakan hari Rabu itu pembawa sial. Aku punya bukti nyata. Saat Abhi menawarkan diri mengantarku pulang, aku menyetujuinya. Sialnya, aku tidak tahu bahwa sesiang ini Papa sudah berada di rumah. Seingatku pagi tadi Papa sudah berangkat kerja. Biasanya dia akan pulang sore, tapi sialnya aku lupa satu hal. Ini adalah hari Rabu, si pembawa sial terbesar di dalam hidupku.

Papa berdiri di ambang pintu saat aku ingin melangkah masuk. Tatapannya tajam, membuatku mau tak mau harus menghentikan langkah di depannya. Aku berusaha terlihat tenang. Jadi, aku mengulurkan tangan dan berharap dia mau menerimaku tanpa melibatkan amarah terlebih dahulu.

"Dianterin laki-laki itu lagi? Kamu lupa kemarin Papa bilang apa?"

Aku menggeleng bersamaan dengan tanganku yang turun kembali. Tentang peringatan keras itu, tentu saja aku tidak melupakannya. Aku bahkan masih mengingat dengan jelas saat Papa mengamuk layaknya seekor singa kelaparan. Karena apa? Karena aku keluyurun tanpa seizinnya bersama Abhi minggu lalu, tepatnya di hari Rabu sialan itu.

"Terus kenapa masih dianterin pulang? Atau kamu maunya Papa sendiri yang bilang ke dia buat jauhin kamu?"

"Papa jangan aneh, deh. Abhi cuma nganterin pulang. Itu juga karena tadi aku ketinggalan angkot. Harusnya Papa berterima kasih sama dia. Bukannya malah makin gak suka."

"Itu karena dia pacar kamu, Arini!" tukas Papa melotot marah, "berapa kali harus Papa tegasin kalau Papa gak suka kamu pacaran? Kamu ini masih SMA. Tugas kamu belajar, bukannya sibuk buang-buang waktu buat hubungan gak jelas seperti itu."

"Aku gak buang-buang waktu, Papa. Aku masih belajar, kok. Masih berusaha ngejar nilai tinggi di kelas." Aku membela diri seiring dengan amarah yang mulai terpancing. Dari arah belakang Papa, Mama akhirnya muncul dan menatap kami secara bergantian.

"Ini kenapa selalu ribut, sih? Gak malu apa kalau sampai didengerin tetangga?"

"Papa duluan tuh, Ma. Aku pulang sekolah malah langsung dimarahin," jawabku tanpa membiarkan Papa menyela perkataanku. Alhasil, aku langsung berpamitan ke kamar dan meninggalkan Papa dengan amarahnya yang membesar.

Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Lega rasanya sewaktu punggungku yang ringkih ini bertemu langsung dengan benda empuk kesukaanku. Aku menghela napas seraya menatap loteng kamar. Sejak Papa tahu aku dan Abhi resmi berpacaran tiga bulan lalu, Papa seketika berubah layaknya seekor singa gila. Dia tak henti-hentinya memarahiku dengan memberikan berbagai peringatan keras. Jika aku membangkang, maka dia akan menghukum, merampas ponsel, bahkan sampai mengurangi uang jajanku. Aku berdecak saat menyadari bahwa sikap Papa terlalu protektif akhir-akhir ini. Sewaktu aku curhat sama Mama, wanita itu pasti mengatakan, "Papa marah karena dia cemburu, Arin. Papa gak suka kalau ada laki-laki lain yang ngerebut kamu dari dia. Karena bagi Papa, kamu itu adalah tanggungjawab dia sepenuhnya."

Masa bodoh dengan alasan itu, aku malas mempercayainya. Sejauh ini, aku belum pernah mendapati tanda di wajah Papa bahwa dia sangat menyayangiku. Bahkan, aku pernah berpikir sebaliknya. Pria itu lebih banyak diam saat bersamaku. Terkadang, dia lebih senang mengurusi pekerjaan kantornya ketimbang mengobrol santai denganku.

Sekali lagi, aku menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Pikiranku tentang Papa telah aku hentikan. Kini saatnya aku mandi, ganti pakaian, dan menikmati makan siang. Namun, kedua kupingku mendadak berdiri saat mendengar suara orang asing di luar sana. Jantungku berpacu ketika Mama tiba-tiba meraung. Tanpa menunggu lama, aku bergegas keluar kamar dan berlari ke pintu utama.

Aku tak tahu apa yang telah terjadi saat aku ke kamar tadi. Yang aku tahu adalah, dua orang polisi berseragam telah berdiri di depan pintu dan berusaha memborgol kedua tangan Papa. Aku berlari dan berteriak marah. Apa-apaan ini? Kenapa mereka mendadak ingin menangkap Papaku?

"Bapak kenapa tangkap Papa saya? Papa saya salah apa?" tanyaku tepat pada intinya. Di sebelahku, Mama sudah berurai air mata. Dia menarik-narik lengan Papa yang diam tanpa suara.

"Begini, Dek. Bapak Irawan dilaporkan melakukan korupsi pada perusahaan tempatnya bekerja. Jadi, siang ini kami datang lengkap dengan surat penangkapan untuknya."

Aku ternganga, tidak mempercayai penjelasan tersebut. "Tapi Papa saya gak mungkin korupsi, Pak. Papa saya orang baik. Bapak gak boleh seenaknya nangkap Papa saya!" Tentu saja aku tidak terima. Mengandalkan seluruh tenaga, aku menarik-narik tangan polisi agar melepaskan Papa. Aku tidak suka ini! Aku membenci saat Papa diam seolah menikmati sandiwara terkutuk ini.

"Tolong kerja samanya, Dek. Masalah akan semakin panjang kalau Adek mengganggu pekerjaan kami."

Persetan dengan polisi sialan itu. Aku tidak perduli. Aku hanya perlu berusaha lebih keras lagi. Karena aku percaya, Papa tidak mungkin melakukan hal serendah itu.

"Arini." Papa memanggil namaku kemudian. Dia menatap kedua mataku yang basah, lalu menggeleng dengan perlahan. "Jangan begini, Nak."

"Jangan begini apanya, Pa? Emangnya Papa mau ditangkap sementara Papa gak bersalah?"

"Mari, Pak Irawan. Kami membutuhkan keterangan Bapak di kantor nanti." Kedua polisi itu membawa pergi Papaku. Aku memanggil Papa sambil meraung. Ketika aku berlari, Mama menarikku hingga terhenti. Siang ini──tepatnya di hari Rabu──Tuhan kembali mengirimkan kesialan besar paling terkutuk untukku.

* * *

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang