Shanindya Amalia Brawijaya

697 42 0
                                    

“kalau begitu, sekian rapat hari ini. Untuk selebihnya, akan kita bahas di pertemuan selanjutnya.”

Shanin menghela nafas kala ketua organisasinya menutup pertemuan hari itu. Ia melirik kertas-kertas yang tersebar di sekitar laptopnya, kertas-kertas yang berisi isi rapat hari itu. Ia merapihkan kertas-kertas itu, menyusunnya agar sesuai dengan apa yang terjadi hari itu. Setelah selesai, ia mengaitkan klip di tumpukan kertas itu, menyatukan kertas itu agar tidak kembali tercecer.

Shanin yang menjabat sebagai sekretaris HIMA dapat merasakan kepalanya berdenyut. Terlebih di statusnya kini sebagai mahasiswa akhir. Beruntung, sebentar lagi ia akan lengser. Jadi ia tidak perlu lagi di repotkan oleh hal-hal terkait himpunan mahasiswa.

Ia menoleh ke sampingnya, menatap perempuan berkacamata yang duduk di sampingnya. Ia sodorkan tumpukan berkas di tangannya ke perempuan itu, “tolong di buat notulensi nya ya, Cha.”

“Iya, kak.” Perempuan yang di panggil ‘Cha’ itu mengangguk.

“Gimana? Ada yang mau ditanyain gk?”

“untuk sekarang gaada, kak.”

“Kalo gitu, pertemuan selanjutnya lo yang ambil alih notulensi ya. Tenang, bukan lo doang kok. Emang udah rencana mulai pertemuan selanjutnya bakal diambil alih sama pengurus baru.”

Chaesara, atau yang biasa dipanggil Chaca itu hanya bisa mengangguk, paham dengan betul kalau ia sebagai pengurus baru harus mulai berdiri sendiri dan tidak terus bergantung pada seniornya. “iya, kak. Bisa kok. Lagian kan selama sebulanan ini juga kak Shanin udah ngajarin gue.”

Shanin tersenyum kearah Chaca, “lo bisa, kok. Mike milih lo jadi sekretaris karena dia percaya lo bisa.”

Chaca tak langsung menjawab. Perempuan itu terdiam, memilih memperhatikan Shanin yang tengah merapihkan barang bawaannya.

“Cha?”

Chaca menundukan kepala, menatap jemarinya yang berada diatas pahanya. “kalo gue gabisa, gimana kak?”

“Lo bisa. Gue yakin Chaesara pasti bisa.” Shanin menepuk pelan puncak kepala Chaca. “yaudah, gue duluan, ya. Udah ditungguin sama temen-temen gue.”

Shanin meremat pundak Chaca pelan, sebelum melangkahkan tungkainya keluar dari ruangan dengan tas tersampir di bahu nya. Ia berjalan santai menuju kantin, dimana teman-temannya menunggu. Sambil berjalan, sesekali ia membalas sapaan dari mahasiswa lain.

Tak perlu waktu lama, ia sampai di kantin fakultasnya. Matanya mengedar, mencari keberadaan teman-temannya. Tak perlu waktu lama, ia dapat melihat salah satu temannya yang tengah berdiri seraya melambai-lambaikan tangannya. Shanin tertawa kecil, dan melangkah mendekat.

“sorry lama,” ucapnya seraya mendudukan diri di samping perempuan yang tadi melambai-lambaikan tangan.

“Sans, ini juga masih nunggu Erin.” Perempuan yang duduk dihadapan Shanin bersuara.

Shanin hanya menganggukan kepalanya. Tangannya bergerak menyomot satu gorengan yang ada di atas meja, lalu memakannya perlahan.

“Jadi gimana, Nin? Udah fix 2 minggu lagi?”

Shanin mengangguk, “pokoknya gue request elo yang jadi fotografer ya, San. Awas aja kalo enggak. Putus pertemanan kita.”

Perempuan bernama Susan, yang duduk di hadapan Shanin, hanya mendengus lalu melempar buntelan tisu yang daritadi dia mainin. “iye, elah!” Susan menggerutu, lalu melirik sinis perempuan yang duduk di samping Shanin. “diem lu, Dan!”

Danielle, yang sedari tertawa, semakin tergelak. Di kelompok pertemanan mereka, Susan ini terkenal suka mangkir. Alasannya pun beragam, mulai dari hal simpel kayak lupa dan hal aneh kayak bantuin kucingnya lahiran. Pokoknya ada aja alasan yang dikasih Susan. Padahal, semuanya pun tau kalau alasan Susan mangkir ya karena perempuan itu mager.

Brawijaya [SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now