Yuvia Kamania Brawijaya

264 30 0
                                    

Dengan tangan yang berada di dagu, Yuvia mengamati dua gitar di depannya dengan teliti. Keningnya berkerut, sementara bibirnya mengerucut. Matanya terus bergerak, menatap gitar yang satu ke gitar yang lain.

Kesal dengan dirinya sendiri, Yuvia mengacak rambutnya asal, membuat anak rambut berjatuhan ke wajahnya. Ia menyugar asal rambutnya, berniat merapihkan rambutnya sedikit meskipun ia tau itu tak akan berhasil. Ia mengambil gitar yang ada di sebelah kanan, lalu memetiknya pelan. Puas, ia letakan kembali gitar itu dan mengambil gitar yang berada di sebelah kiri. Ia melakukan hal yang sama, memetik gitar itu pelan.

Ia mendesah frustasi, dan meletakan kembali gitar di tangannya. Lagi, ia menatap lekat dua gitar itu.

“apa gue beli aja dua-duanya, ya? Tapi nanti kalo ketauan Eileen bisa diaduin gue ke kak Dya, dimarahin yang ada,” gumam Yuvia pada dirinya sendiri.

Sungguh, Yuvia sungguh pusing. Fikiran impulsifnya menyuruhnya untuk membeli dua gitar itu. Untungnya, fikiran logis nya menang. Sayang, fikiran logis nya itu membuat Yuvia bingung. Karena dua gitar di depannya memiliki melodi yang bagus juga terasa sangat pas di tangannya.

Ah, sungguh. Jika tidak takut dimarahi oleh kakak tertua, Yuvia pasti akan membeli dua gitar itu langsung.

Tak juga bisa memilih, Yuvia akhirnya mengeluarkan ponselnya. Ia memilih melakukan hal yang biasa ia lihat di tiktok—Spin the Wheel. Setelah memasukan dua jenis gitar itu, Yuvia pun menekan tombol spin. Setelah roda berhenti berputar, Yuvia menyimpan kembali ponselnya dan meraih gitar keluaran Taylor Baby. Matanya menatap gitar yang tidak ia pilih, lalu menghela nafas. Dengan langkah tak rela, Yuvia membawa gitar itu ke kasir.

Setelah membayar, dengan gitar baru yang sudah tergendong di punggungnya, Yuvia berjalan ke Sushi Tei, dimana dua temannya menunggu. Sesampainya di sana, Yuvia tak perlu susah mencari keberadaan dua temannya, mengingat tinggi Samuel yang menjulang itu. Dengan langkah cepat, Yuvia berjalan mendekat.

“wey, asik bener berduaan,”

Dua orang yang asik mengobrol itu menoleh, “lu yang kelamaan!” cetus perempuan yang duduk di samping Samuel.

“Tau anjir, gue sama Yuri sampe mesen minum dua kali!” Samuel berdecih, tangannya menunjuk gelas kosong miliknya juga Yuri. “baru aja gue ngomong kalo sampe ni minum abis lu belum dateng, kita bakal mesen duluan.”

Yuvia nyengir, namun tak mengelak. Ia sadar kok, ia membutuhkan waktu lama tadi menentukan gitar yang mau ia beli. “yaudah, pesen dah. Gue yang traktir.”

Mendengar kata traktir, wajah Yuri juga Samuel yang tadinya kusut berubah cerah. Iyalah, siapa yang gak seneng kalau di traktir ya, kan? Samuel pun mengangkat tangan, memanggil waiter. Setelah waiter menghampiri, ketiganya pun memesan makanan yang mereka mau.

“Jadi lo beli gitar apa, Vi?” tanya Yuri.

“Taylor Baby yang Mahogany itu. Tadi tuh lama soalnya gue ngeliat ini gitar, makanya gue bingung mo beli yang ini apa yang Yamaha,” Yuvia menepuk pelan gitar yang kini sudah berpindah di bangku sampingnya. “jadi aja gue pake spin the wheel kayak yang di tiktok itu.”

“pantesan lama anjir,”

“Ya gimana? Dua-duanya gua suka. Kalo bukan karena gua takut dimarahin kak Dya mah, gua beli dua-duanya dah.” Seketika otak Yuvia mulai memutar ulang kejadian dimana sang kakak tertua marah. Refleks, bulu kuduknya meremang, seolah sang kakak berada disana. “anjir langsung merinding gue bayangin kak Dya marah.”

Samuel mengangguk setuju. Sebagai teman sekaligus tetangga Yuvia, pemuda itu jelas tau saudari-saudari dari perempuan itu. Dan tentu saja, ia juga pernah menyaksikan bagaimana seramnya sosok Shanindya yang baik hati itu ketika marah.

Tak ada yang lebih menyeramkan dari marahnya orang humoris, Samuel fikir kalimat itu cocok untuk Shanindya.

“Jadi penasaran dah gua sama kak Dya,” Yuri tiba-tiba berucap. “kita dah temenan dari SMA tapi gapernah ketemu anjir sama kakak lo itu.”

Memang, berbeda dengan Samuel, Yuvia baru mengenal Yuri saat SMA. Dan saat itu, Shanindya sudah tidak tinggal dirumah dan memilih kos di dekat kampusnya. Entah memang belum takdir Yuri untuk bertemu Shanindya atau memang nasibnya yang sial, tiap kali Yuri kerumah Yuvia, ia tidak pernah bertemu Shanindya meskipun saat itu Shanindya masih sering pulang kerumah.

“lu kan anak hukum juga anjir, masa gak pernah ketemu?” Yuvia bertanya heran pada temannya itu.

“lu lupa apa kalo nih anak tuh jarang ngeliatin sekitar?” cetus Samuel. Yuvia terdiam sejenak, lalu berdecih. “bener juga.”

“Sialan,” cibir Yuri. “tapi bener, anjir. HIMA FH kan lagi sibuk buat serah terima jabatan. Mana kak Dya juga udah tinggal skripsi, kan? Mana bisa ketemu.”

“Iya sih, bener,” Yuvia mengangguk-anggukan kepalanya. “yodah dah, ntar pan kapan gue ajak lu ke kosannya kak Dya ye, pura-pura aja lu mau nanya materi.” Abis ngomong gitu, Yuvia ketawa sendiri. Bikin Yuri sama Samuel bingung. Tapi udahnya, dua orang itu ga peduli. Udah biasa sama kelakuan random Yuvia.

Gak lama, pelayan datang bawain pesanan mereka. Mereka pun mulai makan sambil sesekali ngobrol. Udahnya, mereka misah dan pulang kerumah masing-masing.

 Udahnya, mereka misah dan pulang kerumah masing-masing

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

Yuvia's circle of friends:

Jo Yuri as Yuri Nathania Waranggana

Jung Sungchan as Samuel Yoga Mahardika

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

Jung Sungchan as Samuel Yoga Mahardika

Jung Sungchan as Samuel Yoga Mahardika

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.
Brawijaya [SLOW UPDATE]Där berättelser lever. Upptäck nu