10. Malang

822 101 6
                                    


.
.
.
.
.
Kian dan Arka langsung berlari ke mobil saat Hanan mengatakan jika Vion menunggu disana, Vier juga mengatakan jika Vion terlihat sakit.

Paniknya Kian dan Arka membuat Kaivan menatap Vier, San, Hanan dan Dimas. Kaivan tau jika ke empat anak itu juga ikut khawatir.

"Van-"

"Ayo ke mobil, kita pulang." Keempatnya menurut, melihat jika Arka dan Kian panik tadi, mereka tau jika ada yang tidak beres dengan Vion.

Vier menatap khawatir pada Vion yang menyandarkan kepalanya pada pundak Kian, adiknya itu terlihat seperti kesakitan.

"Vion kenapa?" Kian menoleh dan menatap Vier juga teman-teman nya.

"Jangan nanya dulu, masuk kita pulang." San, Dimas dan Vier langsung masuk mobil tanpa protes apa pun. Sedangkan Hanan baru saja masuk setelah mereka siap berangkat.

"Perlu ke rumah sakit gak?" Kian melirik Vier dan menggeleng.

"Vion minta pulang, pulang aja." Vier ingin menyuarakan ketidaksetujuan nya tapi tatapan tajam Kian membuat dia ciut.

"Jangan komentar apapun dulu."
.
.
.
.
.
Eyang Asih ikut panik saat Kian, Arka dan Kaivan membawa Vion pulang dalam keadaan setengah sadar. Meskipun sebenarnya eyang Asih sudah biasa melihat keadaan Vion yang tiba-tiba seperti ini.

"Kian, Arka temenin Vion ya. Yang lain bisa istirahat aja, Kaivan sama Hanan kalau mau pulang juga boleh." Kaivan dan Hanan langsung menggeleng serentak.

"Kita nginep eyang." Eyang Asih beralih menatap Vier yang sedari tadi hanya diam, tapi tidak bisa si pungkiri jika tatapan mata Vier menunjukan jika pemuda itu tengah khawatir.

"Vion gak papa le, dia kalau kecapekan emang gini." Vier masih tidak tenang saat mendengar penjelasan sang eyang.

"Vier mau tidur sama Vion eyang, boleh?" Eyang Asih menggeleng.

"Besok ya, malam ini biarin Arka sama Kian yang jaga Vion." Vier tidak lagi bisa melawan ucapan sang eyang.

"Iya eyang." Eyang Asih mengelus kepala cucu sulung nya itu.

"Udah sana ajak temen nya istirahat." Vier akhirnya mengangguk kecil, dan mengajak Dimas, San dan Hanan untuk ke ruang keluarga, tentu saja Kaivan ikut mengekor mereka.

"Kaivan, Vion beneran gak papa kan?" Kaivan hanya mengangguk kecil, meskipun dia tidak tau sebenarnya Vion kenapa saat ini.

"Vion emang gitu kalau capek, itu kenapa dia sering mampir ke rumah ku waktu pulang sekolah. Dia tidur, itu pun kalau dia gak ada tugas sama Kian." Vier menunduk, dia tidak tau banyak soal adik nya selama ini.

"Vion gak pernah suka kalau aku tanya-tanya, jadi aku gak tau soal itu."
.
.
.
.
.
Malang menjadi tempat yang Vier harapkan bisa membawa perubahan baik untuk nya juga Vion, tapi sepertinya cukup sulit. Melihat bagaimana Arka, Kian, Kaivan bahkan eyang Asih seperti menyembunyikan keadaan Vion.

Vier tidak pernah melihat Vion kesakitan seperti tadi, yang Vier lihat selama ini hanyalah wajah datar sang adik. Vion itu selalu berucap ketus padanya bahkan sering mengabaikannya, bukannya merintih pelan seperti tadi.

"Vi, kenapa malah duduk sana? Ayo masuk, tidur." Vier menoleh saat mendengar suara Hanan menegurnya.

"Gak bisa tidur Nan, kepikiran Vion." Hanan menghela nafas panjang mendengar jawaban Vier.

"Vi, kamu janji sama aku buat jaga kesehatan loh disini. Kalau kamu sakit nanti adek mu juga yang kena, kamu kemarin udah janji di depan Kian loh." Vier menunduk. Dia memang di minta berjanji tentang hal itu sebelum berangkat kemarin, entah apa alasannya.

Kian, Arka, Hana dan Kaivan bilang jika sampai dirinya terluka atau sakit sedikit saja maka Vion yang akan kena. Memang apa yang akan terjadi, seingatnya meskipun Vion di perlakukan tidak adil, ayah atau bunda nya tidak pernah memukul, lalu kenapa Vion takut?

"Percaya sama aku, besok Vion pasti baik-baik aja. Ayo tidur, jangan sampai Vion marah ke kamu karena tau kamu gak tidur loh." Vier terpaksa menuruti Hanan untuk masuk kedalam rumah.

"Kenapa aku gak dibolehin ngabarin ayah sama bunda kalau Vion sakit?" Hanan tersenyum sendu.

"Apa kalau kamu ngabarin mereka, mereka bakal khawatir Vi? Kamu tau sendiri itu gak akan mungkin. Kamu perlu usaha ekstra buat deketin Vion, kamu juga perlu ngebuka lagi mata kami biar tau apa yang di alami Vion di rumah. Selama ini semua yang kamu tau gak seperti kenyataannya." Ucapan Hanan berhasil membuat Vier terdiam dan menunduk.

"Aku bingung harus deketin Vion dengan cara apa lagi Nan, aku kangen liat adek kecil ku kayak dulu." Hanan tersenyum dan membawa Vier kedalam pelukannya.

"Suatu saat nanti kamu pasti bakal liat Vion balik kayak dulu. Vion yang selalu ngintilin kamu, Vion yang gak akan segan tertawa dan merajuk karena godaan mu." Vier hanya bisa mengangguk setiap kali Hanan menenangkannya seperti itu. Bahkan keduanya tidak sadar jika San mendengar semua ucapan Hanan pada Vier.

"Kalian jangan berhenti di pintu, ayo masuk lah! Tidur." Hanan langsung berdecak saat San tiba-tiba membuka pintu kamar yang akan mereka tempati.

"Gak usah ngageti cok!" San hanya tertawa saat Hanan mengumpat di hadapannya.

"Ayo turu! Vier turus saiki!"
.
.
.
.
.
Sesuai perkataan Hanan semalam, pagi ini Vier sudah melihat Vion baik-baik saja. Bahkan adik nya itu sudah duduk di meja makan sambil memakan getuk yang entah di dapat dari mana.

"Dek, kamu gak papa kan? Udah sehat kan?" Vion memejamkan mata saat Vier mengguncang tubuh nya.

"Lepasin ah, aku bisa muntah kalau kamu kayak gitu!" Vier langsung tersenyum saat mendengar ucapan ketus Vion.

"Oke udah bisa marah-marah, berarti udah sehat." Vier memutuskan duduk di sebelah Vion, sambil sesekali memperhatikan tingkah adiknya itu.

"Mau dong dek." Vion hanya melirik dan menunjuk pada jajaran mangkuk di tengah meja makan.

"Ambil sendiri, jangan ganggu aku makan!" Vier hanya bisa merengut tapi tetap mengambil getuk untuk dia makan. Netranya melihat Dimas yang sepertinya sudah gatal ingin membuka suara namun terpaksa harus diam karena permintaan Vier.

"Aku gak liat Kian sama Arka?" Vion yang mendengar San menyebut nama sahabatnya langsung mendongak.

"Pulang." San mengangguk paham.

"Emang rumah mereka deket ya?" Vion mengangguk kecil tanpa sadar.

"Rumah Arka di sebelah, rumah Kian di ujung yang gede itu." San akhirnya paham kenapa kedua anak itu bisa cepat datang dan pergi dari rumah eyang Asih ini.

"Yon, di sini kan terkenal sama bakso nya, rekom bakso yang enak dong." Vion mengernyit mendengat pertanyaan San.

"Pingin bakso?" San mengangguk, begitu juga Vier. Namun keduanya di buat bingung saat Vion menunjuk panci di atas kompor.

"Ngapain beli, itu eyang bikin bakso." Netra Vier langsung berbinar saat mendengar hal itu.

"Wah, asik eyang bikin bakso. Kamu mau makan juga dek?" Vion langsung menggeleng.

"Gak, masih kenyang. Kalau mau sarapan, sarapan aja, tapi jangan lupa langsung di cuci nanti piring nya!" Setelah mengatakan itu Vion beranjak dari meja makan.

"Mau kemana Yon?" Vion menoleh sebentar sebelum menjawab.

"Ke rumah tukang gas, bilang aja gitu kalau eyang nanya nanti."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat malam
Hari ini aku up Different dulu ya...
Ada yang nungguin gak?

Selamat membaca dan semoga suka

See ya

–Moon–

DifferentWhere stories live. Discover now