02. Xavier

1.3K 120 6
                                    


.
.
.
.
.
Brak

Xavier terkejut saat mendengar suara gebrakan dari sebelah kamarnya, kamar yang selama dua tahun ini di tempati oleh saudara kembarnya Vion.

"Vion ngapain lagi sih?" Vier sudah ingin melihat ke luar kamar sebelum ingat jika kaki nya terkilir karena jatuh saat bermain basket tadi.

Cklek

"Mau kemana?" Vier tersenyum menatap sang bunda yang baru saja masuk ke kamarnya.

"Mau ke kamar adek bun, mau liat kenapa tadi ada gebrakan." Maria tersenyum dan meminta Vier untuk kembali berbaring.

"Gak ada apa-apa, itu tadi kata adek ada kecoa." Vier mengernyit mendengar jawaban sang bunda, memang sejak kapan Vion takut kecoa?

"Mau makan apa Vier? Bunda buatin ayam rica-rica ya?" Vier mengangguk mantap mendengar menu favoritenya.

"Iya bun, sekalian ayam kecap buat adek." Maria hanya tersenyum dan meninggalkan Vier.

Jika Vier tengah bahagia, berbeda dengan Vion. Saat ini remaja itu tengah dihadapkan dengan sang ayah yang tengah menggenggam rotan, punggung nya sudah mendapat beberapa pukulan sebelumnya.

"Kamu tau kesalahan kamu Vion?!" Vion hanya diam, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, bahkan untuk sekedar ringisan.

Ctar

Ctar

"Kenapa kamu biarin Vier sampai terkilir?!" Lagi-lagi hanya sunyi yang di dapat Bumi.

"Malam ini kamu gak boleh keluar kamar! Gak ada makan malam, itu hukuman buat kamu!" Setelah mengatakan itu Bumi keluar dari kamar Vion, bahkan tanpa peduli bagaimana keadaan anak bungsunya.

Bruk

"Sshhh...." Vion baru mengeluarkan ringisan saat Bumi sudah benar-benar pergi.

"Salah lagi kan, besok-besok aku iket aja mas Vier di kasur." Vion perlahan bangkit dan mengunci pintu kamarnya.

"Kangen eyang..." Vion memejamkan matanya saat punggung nya mulai terasa perih.

"Ayah selalu aja nyalahin aku kalau mas Vier luka.." Vion memilih membenamkan wajahnya pada bantal, malam ini dia kembali harus tidur dengan perut kosong dan punggung yang sakit.

"Maaf..."
.
.
.
.
.
Vier mengepalkan tangannya, dia tahu jika sang bunda berbohong. Vier tidak pernah takut kecoa, tidak seperti dirinya. Jadi dengan tergesa Vier bangkit dan keluar dari kamarnya, tujuannya hanya ke kamar Vion yang tertutup rapat.

Tok

Tok

Tok

"Dek, Vion." Vier sama sekali tidak mendapat jawaban.

"Dek, buka pintu nya dong." Vier menghela nafas panjang saat lagi-lagi dia tidak mendapat respon.

"Dek, bentar lagi makan malam, ayo makan bareng." Vier lagi-lagi harus menelan kekecewaan karena Vion sama sekali tidak merespon panggilannya.

Bagi Vier kehadiran adiknya di rumah ini adalah sebuah kebahagiaan, dia ingin keluarga nya utuh. Vier ingin seperti anak-anak lain, bebas bermain dan bercanda dengan saudaranya. Namun Vion berbeda, adik kecilnya sudah berubah.

Vion kecil dulu selalu mengikuti kemanapun Vier pergi, adiknya dulu selalu tertawa. Tapi sekarang Vion sangat pendiam, bahkan tidak pernah lagi tertawa di hadapannya atau pun kedua orang tua mereka. Vion menjadi sangat dingin, dan rasanya Vier tidak bisa lagi merengkuh sang adik.

"Dek, nanti jangan lupa turun buat makan malam." Setelah mengatakan itu Vier melangkah pergi dan kembali masuk ke kamarnya.

Vier hanya tidak tahu, jika Vion tidak akan pernah turun untuk makan malam.
.
.
.
.
.
"Loh, kenapa turun?" Vier tersenyum saat melihat bundanya terkejut.

DifferentWhere stories live. Discover now