BAB 7

17 5 1
                                    

Almeera termenung menatap jendela kereta. Ya setelah banyak kalimat yang Hana keluarkan untuk menceritakan yang sebenarnya terjadi pada dosen pendamping mereka, akhirnya Almeera pulang menggunakan kereta.

Hana pada awalnya memaksa untuk ikut serta menemani Almeera, namun dia tolak. Dia tak ingin merepotkan siapapun lagi, Almeera memilih pulang sendiri menggunakan kereta. Meski sempat beberapa kali ditawari untuk diantar oleh Pak Amar menggunakan mobilnya, dia cukup berterimakasih banyak yang peduli padanya. Namun dia benar-benar butuh waktu sendiri.

Arkan bilang banyak yang terjadi setelah Almeera pergi. Reno tidak jadi pulang hari itu, dia menetap di rumah sakit bahkan sampai hembusan nafas terakhirnya sore tadi.

Tidak banyak kalimat yang Arkan katakan lagi, dia akan menceritakan semuanya setelah Almeera tiba di Jakarta.

Almeera menangis dalam diamnya. Bahkan penumpang kereta yang duduk di sebelahnya sempat beberapa kali bertanya apakah dia baik-baik saja, dan hanya dia balas dengan anggukan.

Dia menyesal, tentu saja. Seharusnya dia mendengarkan kata hatinya, bukan justru mengiyakan ucapan Reno. Seharusnya dia tak pergi, mungkin jika dia tetap tinggal di samping Reno dia bisa duduk di sebelah abangnya di saat-saat terakhirnya.

Atau mungkin jika dia tidak pergi, dia bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kondisi Reno dan mengusahakan yang terbaik bahkan jika itu harus menjual semua yang dia punya. Dan mungkin hari menyedihkan ini tidak akan pernah terjadi, setidaknya tidak hari ini.

"Neng kenapa?" tanya seorang nenek yang duduk di sebelahnya, entah sudah yang ke berapa kali.

"Saya gak papa, nek." Jawab Almeera, dia benar-benar merasa tidak nyaman saat ada yang mengganggu nya di saat seperti ini.

Dan kenapa pula kereta ini rasanya sangat lama sekali lajunya.

"Apapun yang terjadi, itu adalah hal wajar jika kita masih di dunia. Jangan terlalu ditangisi, siapa tau tuhan menyiapkan sesuatu yang lebih indah setelah tangisan itu." Ucap nenek itu.

Almeera diam. Bagaimana mungkin dia bisa yakin bahwa tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang indah setelah ini, jika satu-satunya keindahan dalam hidupnya telah lagi-lagi direnggut.

Tak ada yang lebih indah dari hidup bersama dan bahagia dengan keluarga, menurutnya. Dua tahun lalu, tuhan telah merenggut setengah dari keindahan itu. Dan sekarang, dia juga kehilangan setengahnya lagi.

Lantas apa dia harus tetap meyakini akan ada keindahan lain setelah ini? Dia rasa tidak.

Dia hancur, lagi.

Kemana setelah ini dia harus pulang? Dia tak punya siapa-siapa lagi selain abangnya. Satu-satunya rumahnya telah runtuh. Almeera tidak sanggup jika harus hidup sendiri di bumi ini.

Air matanya semakin turun dengan deras, terdengar sangat pilu.

"Neng, kuat ya. Apapun yang terjadi kamu harus sabar." Nenek itu mengelus punggung Almeera.

Almeera menunduk pada lengannya yang bertumpu pada jendela. Dia menunduk dalam tangisnya sebagai jawaban.

***

Dalam gelapnya malam, Almeera dapat melihat dengan jelas bendera kuning yang dikibarkan di pagar rumahnya. Dia terdiam cukup lama di dalam taksi. Sedari tadi wajahnya tak pernah kering dari air mata. Dan kini hujan dimatanya dibarengi dengan suara sendu dari tenggorokannya.

Arkan, lelaki itu berdiri di samping pintu kemudi saat menyadari taksi itu berhenti terlalu lama di depan pagar. Dan saat tahu bahwa Almeera lah penumpang di dalamnya, dia membuka pintu.

Pesan Terakhir Where stories live. Discover now