BAB 1

72 16 0
                                    

"Bukankah melelahkan mengantarku setiap kali check up ke rumah sakit, aku bisa pergi sendiri.." ucap Reno.

Almeera tersenyum dibalik kemudi, "jika melelahkan aku tidak akan sudi terus berada di sisimu, kamu harus sembuh setidaknya kamu harus ingat minggu depan aku akan melakukan pembabtisan, dan aku tidak akan melakukannya tanpa kamu,"

Reno diam.

Hari ini minggu, pagi sekitar jam delapan rutinitas mereka adalah pergi ke rumah sakit. Check up kondisinya yang memburuk satu tahun terakhir. Penyakit bawaan yang dia abaikan sejak dulu, kini benar-benar menyiksanya.

Bahkan di usia yang masih 24 tahun, dia harus berhenti menghandle pekerjaannya langsung di kantor. Semua beban itu diambil alih oleh Almeera, adiknya.

Reno merasa bersalah, Almeera yang baru saja masuk kuliah seharusnya bisa menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang bersama temannya. Tapi dia harus terjebak di ruangan penuh tumpukan berkas, dan merawatnya yang menyedihkan bahkan di hari liburnya.

Bukankah itu terlalu jauh dari kehidupan yang mungkin dibayangkan oleh semua remaja.

"Rambutku mulai rontok," ucap Reno kembali memulai pembicaraan, setelah beberapa saat hening.

"Tidak masalah, kau bisa memangkasnya habis sekalian, dan aku bisa membelikanmu banyak topi serta wig jika kau mau," ujar Almeera melirik Reno sekilas, berusaha menghibur.

Lagi-lagi Reno diam.

"Lagipula itu tidak akan bertahan selamanya bukan, kau akan sembuh dan kembali tampan dengan rambut lebatmu,"

Reno menatap gadis yang masih sangat belia itu dengan tatapan nanar.

"Kau begitu percaya diri, Al. Persentase kematianku jauh lebih tinggi dari persentase aku hidup, kau tahu itu bukan?"

"Ssstt, kita sampai. Mari turun," ajak Almeera mengakhiri topik.

Almeera turun lebih dulu, disusul Reno yang keluar dari pintu samping kemudi. Mereka berjalan beriringan, dengan tangan Almeera yang mengapit lengan Reno.

Tanpa basa-basi lagi, mereka menaiki lift untuk segera sampai di ruangan dokter yang biasa menangani Reno. Karena ini adalah check up rutin yang dilakukan setiap dua minggu, jadi mereka tidak perlu membuat janji yang disesuaikan dengan jadwal dokter itu.

Tok tok tok

Almeera mengetuk pintu perlahan. Matanya mengitari sekitar yang sepertinya sudah sangat tidak asing di matanya. Bahkan dia bisa mengingat benda apa saja yang diletakkan di setiap sudut koridor rumah sakit ini.

Suara bariton yang meminta mereka masuk segera terdengar dari dalam. Reno segera membuka pintu dan masuk setelah mengucap permisi.

"Mau langsung dimulai terapinya, atau mau istirahat dulu?" Tanya dokter yang namanya terpampang jelas di pintu serta di meja kerjanya.

dr. Arif Muhammad, Sp Onk

Reno yang baru saja mendudukkan bokongnya di kursi itu tersenyum, "biarkan saya istirahat sepuluh menit saja," pintanya.

"No problem,"

Hening.

Almeera tidak berbicara apapun, pun Reno yang bungkam. Mencoba menyiapkan dirinya untuk kembali melakukan terapi yang rasanya tidak biasa.

***

Seperti biasa, Almeera akan berjalan-jalan sebentar selagi menunggu Reno terapi. Dia memilih untuk pergi ke kantin rumah sakit, sekedar membeli kopi untuk menaikkan mood nya.

Sekitar dua puluh menit dia duduk di pojok kantin menikmati kopi serta memfokuskan dirinya pada ponsel yang ada di genggamannya. Sampai sebuah tangan menepuk bahunya pelan.

"Hei," tanpa aba-aba Almeera membelalakkan matanya saat sosok jangkung duduk di depannya, dengan senyum menyebalkan yang tak pernah berubah sejak dulu.

Almeera segera menormalkan raut wajahnya sesaat setelah sadar bahwa dia harus bersikap biasa saja.

Yang duduk di depannya kini adalah Bastian. Mantan pacarnya yang dia putuskan sepuluh bulan yang lalu.

"Apa kabar?" Tanya Bastian basa-basi.

Bastian dua tahun lebih tua darinya yang masih berusia sembilan belas tahun. Yang berarti usianya tahun ini adalah dua puluh satu tahun.

"Seperti yang lo liat," jawab Almeera berusaha sesantai mungkin.

Karena jujur jantung Almeera masih berdetak sedemikian kuat saat harus duduk berhadapan dengan Bastian seperti ini. Selain karena mungkin perasaannya yang belum pulih sepenuhnya, Almeera masih merasa emosi saat mengingat apa yang Bastian katakan sebelum akhirnya mereka memutuskan hubungan.

"Lo? Waah sepertinya kau melupakan aku lebih mudah dari yang aku harapkan," kekeh Bastian saat mendengar jawaban Almeera.

Almeera tak menjawab.

"Ngapain disini sendirian?" Tanyanya lagi.

Almeera mencaci maki dalam hatinya. Seharusnya manusia ini tidak menanyakan sesuatu yang dia sendiri sudah tau apa jawabannya.

"Perlu gue jawab?" Alih-alih menjawab, Almeera justru balik bertanya dengan santai.

Dia mengambil ponselnya saat pesan dari salah satu temannya masuk. Menanyakan tugas, yang tentu saja lebih penting dari menjawab pertanyaan cowok di depannya ini.

Bastian terkekeh, lagi.

"Gak perlu, aku udah tau kamu mengantar cowok penyakitan itu seperti biasanya. Bahkan setelah kita putus, rutinitas mu tidak berubah, kamu tidak menyesal?..."

Almeera masih diam.

"... Just information janji ku dulu untuk kita balikan masih berlaku, tentu saja berikut dengan syaratnya. Kamu harus berhenti mengurus manusia tak berguna satu itu, dan itu bisa terjadi kalau kamu menyesal sudah mengabaikan aku dan memilih untuk putus," lanjutnya panjang lebar.

Kali ini Almeera mengangkat wajahnya. Matanya menatap lurus Bastian dengan datar untuk beberapa saat.

Detik berikutnya dia mengangguk dan tersenyum sinis. "Apa lo anggep tawaran lo terdengar menggiurkan ditelinga gue? Heh gila.."

"... Ya ya, lo bener gue nyesel. Tapi yang gue sesalin adalah kenapa gue baru tau sifat busuk lo setelah satu tahun hubungan kita, seharusnya kita bisa putus lebih cepat atau seharusnya kita gak perlu pacaran seandainya gue tau lo sebusuk itu,"

Setelah mengatakan itu Almeera bangkit, dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk manusia ini. Dan dengan timing yang tepat, Reno menghubungi nya. Menanyakan keberadaannya, yang artinya dia sudah selesai dengan terapinya.

"Gue duluan ya, PANGERAN gue udah nunggu," ucapnya menekankan kata pangeran.

"Pangeran seharusnya jemput bukan dijemput," ejek Bastian remeh.

"Pangeran satu ini spesial, oleh karenanya gue mengabdikan diri untuk orang yang spesial bukan orang biasa yang sok spesial kayak lo," putusnya mengakhiri percakapan.

Almeera beranjak tanpa mendengar ucapan Bastian berikutnya. Dia melangkahkan kakinya tegas, menuju tempat Reno terapi di lantai tiga.

***
Semoga suka..
Stay tune dan jangan lupa tinggalkan jejak, vote dan komennya...

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN i

Terimakasih

Pesan Terakhir Where stories live. Discover now