BAB 2

42 6 0
                                    

Setelah dari rumah sakit, Almeera tidak langsung pulang ke rumah melainkan membawa Reno ke kafe yang sudah dua tahun ini mereka tekuni. Tidak, awalnya ini merupakan usaha yang dirintis oleh Reno, tapi karena kondisinya yang saat ini tidak memungkinkan akhirnya Almeera menggantikannya untuk sementara.

Ya, kantor yang mereka maksud adalah kafe ini.

Kafe yang sudah mempunyai dua cabang, meski masih di daerah Jakarta. Tapi ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa untuk Reno. Dalam waktu dua tahun dia sudah mampu mengembangkan bisnis kecil-kecilannya, sehingga dia dan Almeera tidak hidup dengan kekurangan. Meski peninggalan orang tuanya lebih dari cukup untuk mereka, namun tentu saja hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk hidup santai dan bermalas-malasan.

"Kenapa kau membawaku kesini?" tanya Reno bingung, saat Almeera memarkir mobil mereka di depan Kafe yang menjadi pusat dari dua cabang lainnya.

"Karena tentu saja kau harus mengecek keadaan disini, kau tidak bisa mempercayakan semuanya pada bocah sepertiku. Lagipula apa kau tidak bosan terus-terusan berdiam diri di rumah?" Almeera turun.

Diikuti Reno yang mendengus.

"Tentu saja bosan, tapi kau tau sendiri bagaimana keadaanku tahun ini. Bahkan dokter bilang..."

"Sudah, berhenti membicarakan omong kosong. Kau pasti sembuh, dokter itu bukan tuhan kau tahu itu!" potong Almeera sebelum Reno menyelesaikan ucapannya.

Reno menghela nafas.

Mereka mulai melangkah masuk. Mendorong pintu masuk yang terbuat dari kaca, dan tergantung sebuah lonceng di depannya, membuat siapapun yang mendorong pintu akan membunyikan lonceng tersebut. Keadaan kafe lumayan ramai, jadi tidak ada salah satu karyawan yang menyadari kehadiran mereka. Karena bahkan orang yang biasa berjaga di kasir, turut sibuk mengantar pesanan.

Almeera mengajak Reno untuk menuju lantai atas agar bisa beristirahat, namun ditolak olehnya. Dia memilih untuk duduk di salah satu meja yang baru saja dibersihkan setelah orang sebelumnya pergi. Reno memperhatikan sekitar, sedangkan Almeera memilih untuk ke dapur untuk meminta karyawan membawakan makanan serta minum untuk Reno. Tak lama seorang karyawan berhijab menghampiri meja Reno, membawakan nampan berisi cemilan serta kopi yang biasa Reno minum, tentu saja setelah sebelumnya Almeera memintanya.

"Selamat siang kak, gimana kabarnya sehat?" tanya karyawan itu. Dilehernya tergantung nametag dengan nama yang terpampang jelas, Fira.

Reno tersenyum. "Baik," jawabnya singkat.

Reno memang meminta mereka yang bekerja di kafenya untuk tidak terlalu formal dengan memanggilnya bapak. Tentu saja hal ini disambut baik oleh mereka, ada yang memanggilnya dengan abang, kakak dan lain sebagainya.

"Alhamdulillah kalau gitu, semoga selalu baik ya kak,"

Lagi, Reno tersenyum. Dia menatap wajah Fira teduh. Reno memang sudah sejak lama suka memperhatikan Fira diam-diam, dia menyukai gadis berhijab itu. Hatinya selalu tenang saat menatap wajahnya yang seakan menampakkan aura berbeda dari banyak wanita yang ditemuinya. Tidak, bukan hanya Fira, namun Reno memang selalu suka saat melihat wanita yang senantiasa menutup kepalanya dengan kain yang disebut hijab tersebut.

Mulanya memang dia merasa jika pada Fira dia sama saja kagumnya dengan saat melihat wanita berhijab lainnya, namun ternyata perasaannya lambat laun mulai disadari. Bahwa dia mempunyai perasaan lebih pada gadis itu. Saat tahun sebelumnya dia menyimpan perasaannya karena perbedaan mereka, namun tahun ini dia harus menelan pil pahit lain karena kondisi kesehatannya.

Sudahlah, lagipula memperhatikan gadis itu dari jauh sudah lebih dari cukup untuknya.

Bahkan jika kondisinya baik-baik saja, menjadikan Fira miliknya tentu bukan sesuatu yang bisa Reno perjuangkan. Sejak awal mereka sudah berbeda, kalaupun suatu saat perbedaan itu hilang, Fira yang dikenal taat tidak mungkin bisa menerimanya yang mungkin nantinya masih amatir.

Pesan Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang