Chapter 5 : Demi Sesuap Nasi

Start from the beginning
                                    

Raynar menatap kotak nasi itu dengan murung kala kedua pemuda sudah hilang dari pandangan. Ia tersenyum miris, orang kaya dengan segala caranya untuk menggali uang.

Bahkan dari penderita kemiskinan seperti dirinya? Memberi berkedok konten, demi sebuah tontonan yang menarik simpatik sekaligus viewers besar. Demi keuntungan diri, mereka mengemas tayangan orang-orang tak punya dengan mengenaskan.

Entah mengapa, Raynar merasa marah. Harga dirinya terasa benar-benar hilang di mata orang-orang berpunya.

Bukankah mereka memanfaatkan ketidakmampuan dirinya?

Tangan kanan memberi, tangan kiri memegang kamera. Ah, sialan. Apa negeri ini sungguh kehilangan orang-orang dengan nurani murni?

Raynar berakhir memberikan kotak makan itu kepada seorang Ibu dan anak yang mengamen dengan cara memakai kostum badut animasi. Sambakonya pun tidak ketinggalan.

"Hari ini libur aja kelilingnya. Nih, untuk masak." ucap Raynar, memang kenal mereka.

Si Ibu tertegun. Bukankah Raynar juga serba kekurangan? Mengapa ia mau berbagi dalam keadaan yang begitu menghimpit.

Raynar hanya nyengir sambil berlalu, dia melambai untuk menjual botol-botolnya pada Pak Tole.

Demi sesuap nasi, Raynar akan terus mencari rezeki tapi tidak dengan menjual harga diri.

***

Tak beda jauh dari sang kawan, Pamungkas turut berperang dengan matahari siang ini. Dia menarik gerobak air yang cukup berat dengan tekad penuh.

Hidup terus berjalan. Hari-hari yang buruk akan berlalu. Lelah dan luka akan terbiasa, membentuk jiwa kuat yang tertanam dalam diri Pamungkas.

"Tolong angkut ke kamar mandi ya, Kas." pinta seorang Ibu-ibu.

Lima buah dirigen berisi air itu bolak-balik Pamungkas angkat ke kamar mandi, mengisi bak air yang memang sudah kering.

Jangan heran di wilayah mereka masih banyak yang tak memasang air. Tidak ada uang untuk membayar iuran tiap bulan, jalan pintas adalah membeli pada orang tiap hari.

Mereka berpikir hal itu bisa lebih dijangkau, harganya murah. Padahal, jika dipikir-pikir membayar air perbulan lebih membuat hemat.

Apa daya, mereka tak bisa untuk itu, perbulan membutuhkan uang yang cukup besar. Kalau tidak mampu dan terus nunggak, aliran air akan diputus. Tidak apalah mereka membayar seharga Rp. 5000-10.000 tiap hari.

"Nih, buat jajan." sang Ibu yang iba sekaligus takjub memberi bonus yang bagi Pamungkas cukup. "Makasih ya, Kas."

"Sama-sama, Bu." Pamungkas tersenyum tipis.

Tarikan gerobaknya kini lebih cepat karena isi dirigen kosong. Ia menyapa orang-orang di sekeliling.

"Pamungkas! Emak isi air, nanti ke sini ya!" seseorang berteriak dengan cempreng.

"Iya, Mak!" balas Pamungkas tak kalah keras. "Ambil dulu, ya!"

"Lima dirigen, Kas!"

"Siap!"

Pekerjaan Pamungkas dari pagi hingga petang memang seperti ini, cukup berat untuk anak seusianya.

Kemiskinan Yang Tak TerlihatWhere stories live. Discover now